PARIWISATA

Mengenal Lebih Dekat Konsep Pengembangan 3ECNC di Parapuar

FLORESGENUINE.com- Sebagai destinasi baru yang akan dikembangkan di Labuan Bajo Flores, pembangunan Parapuar tentu membutuhkan kehatian-hatian. Konsep Harmoni dengan Alam 3ECNC (Ethno – Eco – Edu – Culture & Nature Conservation) akan menjadi pendekatan pembangunan Destinasi (Atraksi, Amenitas dan Aksesibilitas, Masyarakat, Citra dan Pengelolaan) yang dikerjakan Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) di Kawasan Parapuar. Mari kenali konsep ini secara lebih mendalam!

Ethnography/Etnografi

Konsep ini memiliki peran penting dalam pengembangan kawasan pariwisata terutama di Kawasan Parapuar karena dapat memberikan pemahaman yang mendalam tentang budaya lokal, tradisi, dan kehidupan masyarakat setempat. Pengembang kawasan pariwisata dengan konsep ini dapat mendorong peningkatan pemahaman budaya lokal karena etnografi dapat membantu wisatawan untuk lebih dalam memahami nilai-nilai budaya yang dipegang oleh masyarakat setempat.

Selain itu, pendekatan ini juga dapat menjadi sarana preservasi warisan budaya, karena etnografi membantu dalam mendokumentasikan dan melestarikan warisan budaya. Hal ini penting untuk memastikan bahwa pengembangan pariwisata tidak merusak atau mengaburkan kekayaan budaya yang ada. Muara dari konsep ini adalah  terciptanya pengalaman wisata yang berkualitas bagi wisatawan.

Pemahaman mereka akan lebih dalam tentang budaya lokal melalui pengalaman wisata yang autentik dan bermakna. Hal ini dapat membantu mempertahankan keaslian budaya sambil meningkatkan penghargaan dan pendapatan bagi komunitas lokal.

Ecology/Ekologis

Pengembangan Kawasan Parapuar juga mengedepankan konsep ekologis. Konsep ini sangat penting untuk memastikan bahwa pengembangan Kawasan Parapuar berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan alamiah.

BACA JUGA:  Sebagai Pendatang Baru di Pilkada Mabar, Mario Pranda Raih Elektabilitas Mendekati Incumbent Berdasarkan Survei Charta Politika

Beberapa prinsip dan praktik terkait dengan konsep ekologis adalah mulai dari pengurangan jejak karbon hingga pengelolaan sampah dan limbah. Pepres Nomor 32 Tahun 2018 sendiri juga mengamanatkan BPOLBF untuk mengelola Lahan seluas 400 Hektar di Kawasan Hutan Nggorang Bowosie, namun tidak semua areal di dalam kawasan dibangun.

Untuk saat ini, tepatnya per tanggal 12 September 2023, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah mengeluarkan Sertifikat HPL untuk total luasan lahan 129,60 Ha yakni Zona 1 kepada BPOLBF. Dari Total lahan HPL ini, hanya 20,05% dari seluruh kawasan yang akan dimanfaatkan pada zona ini. Hal ini dilakukan untuk tetap menjaga keseimbangan ekologis di sekitar Kawasan Parapuar.

Education/Edukasi

Edukasi memainkan peran krusial dalam pengembangan kawasan pariwisata Parapuar karena dapat meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang berbagai aspek penting seperti budaya lokal, lingkungan, dan keberlanjutan.

Melalui integrasi edukasi yang baik dalam pengembangan kawasan pariwisata, BPOLBF dapat mencapai tujuan berkelanjutan yang melindungi dan meningkatkan lingkungan serta budaya setempat, sambil menyediakan pengalaman wisata yang bermakna dan berdampak positif bagi semua pihak yang terlibat.

Lebih lanjut, beberapa area yang akan dibangun di Parapuar juga seperti Green House, Forest Restaurant, Boutique Premium Resort, Cliff Eco Restaurant, Cultural Centre, Worship Hill Centre, Forest Hiking/Jogging/Running Centre, Outbound Area, Eco Child Friendly Playground, Traditional Cultural Village, Natural Reserve Park Centre, Mini Zoo, Botanic Garden, Eco MICE, Healing Forest, Premium Eco-Glamping, dan Eco Meditation/Yoga dapat menjadi sarana edukasi bagi para pengunjung.

BACA JUGA:  Percepat Transformasi Pariwisata Labuan Bajo, Jaminan Keselamatan Wisatawan

Culture/Budaya

Pengembangan Destinasi Parapuar menggunakan pola dimensi Budaya yakni Filosofi “Gendang One Lingko Pe’ang” yang merupakan ruang hidup orang Manggarai yang mencerminkan kedalaman nilai-nilai warisan leluhur. Ruang ini secara umum mencakup lima bagian, yaitu Kampung ( Beo Bate Elor/ Natas Bate Labar ), Rumah Adat (M baru Bate Kaeng, Mbaru Gendang ), Altar Persembahan ( Compang Bate Takung ), Kebun ( Uma Bate Duat/ Lingko ), dan Sumber Air ( Wae Bate Teku ).

Dalam pengembangan Kawasan nantinya, folosofi ini akan dimanifestasikan dalam Pedoman Pembangunan dalam Kawasan. Parapuar akan menampilkan kekhasan lokal dalam bentuk bangunan maupun desain arsitektur (interior dan eksterior) sehingga menciptakan ruang yang merefleksikan keindahan dan identitas budaya setempat, serta setiap bangunan di Parapuar wajib mematuhi batas ketinggian maksimum yang ditetapkan yakni 15 meter atau setara bangunan dua lantai (setinggi pohon munting atau pohon teno).

Nature Conservation/Konservasi Alam

Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) berkomitmen menerapkan prinsip “satu berbanding sepuluh”  atau 1 Pohon Ditebang Dikonversi dengan 10 Pohon. Selain itu, Kawasan Parapuar sendiri sangat terbuka untuk dijadikan lokus bagi seluruh stakeholder yang ingin melakukan aksi penghijauan/ green action.

BACA JUGA:  Kronologi Tawuran Antar Pelajar di Labuan Bajo

Parapuar telah beberapa kali dijadikan sebagai lokus Green Action seperti pada saat kegiatan Floratama Executive Learning Center (08 Maret 2024), Peringatan Hari Ulang Tahun  Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (25 April 2024), Komodo Travel Mart Edisi V (8 Juni 2024), dan Kunjungan Duta Besar dari 23 Negara ke Labuan Bajo (29 Juni 2024). Selain itu, Parapuar sendiri merupakan nama yang diambil dari bahasa setempat (Manggarai) yaitu “Para” yang berarti Pintu/Gerbang dan “Puar” yang berarti Hutan.

Pemilihan nama ini didasari oleh prinsip bahwa kawasan ini mengedepankan nilai-nilai keberlangsungan lingkungan dan akan tetap mempertahankan keaslian kawasan yang merupakan hutan produksi, Hutan Nggorang Bowosie.

Plt. Direktur Utama BPOLBF, Frans Teguh menyampaikan, konsep pengembangan Parapuar selalu mengedepankan asas keseimbangan ekologi melaui pendekatan keseimbangan ekologi 3ECNC.

“Pengembangan destinasi di Parapuar akan didasari pada asas keseimbangan ekologi lingkungan, budaya, dan sosial masyarakat. Atraksi baru di Parapuar, baik itu atraksi alam, atraksi sosial, atraksi budaya, dan atraksi buatan akan mengedepankan asas keseimbangan ini.

Selain itu, ketersediaan amenitas dengan entitas lokal yang menyatu dengan alam juga diharapakan akan menambah daya tarik wisata karena akan menjadi sesuatu yang unik,” jelas Frans.* [kis/fg]

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button