Sekitar pukul 06.13, sebuah motor beat 110 cc berwarna merah menepi di halaman SMKS Stella Maris Labuan Bajo. Lelaki bertubuh gempal segera turun dari motor, sambil menenteng tas berisikan buku dan perangkat ajar, ia berjalan perlahan menuju ruangan operator. Namanya Vinsensius Patno, 44 tahun.
Pak Vinsen sendiri sudah 12 tahun mengabdikan hidupnya sebagai guru dan operator di sekolah tersebut.
“ Ini tahun yang ke-12 saya berada di sini. Angkatan kami hanya tersisa saya dan Pak Sil. Sementara, teman-teman guru lainnya sekitar 3,5 atau 7 tahun mengabdi.” ujar pria yang kerap disapa Pa Incen.
Walaupun begitu, ia tidak merasa uzur, malah Pa Incen kerap menjadi kakak bagi para juniornya. Buktinya, ia selalu membantu mereka ketika menghadapi kesulitan.
“ Hidup itu harus bermakna bagi orang lain.” katanya bijak.
Pa Incen ingat betul, bagaimana getirnya di masa silam. Ketika itu, Labuan Bajo belum masyur seperti sekarang. Sekolah, tempatnya mengabdi selalu menjadi terpinggir. Bahkan, tidak jarang juga dipandang sebelah mata.
“ Muridnya tidak sebanyak sekarang. Dulu, programnya hanya dua. Nautika Kapal Penangkap Ikan dan Teknik Kendaraan Ringan. Muridnya sekitar 200-an. Saya menjadi guru banyak mata pelajaran. Saya mengajar Bahasa Indonesia, Agama, Bahasa Inggris, Bahasa Jerman.” jelasnya sambil terkekeh.
“ Mau bagaimana lagi, waktu itu kekurangan guru.” tuturnya lanjut.
Namun matanya kemudian sembab, ketika teringat akan masa suram. Kala itu, sempat ia mendengar kabar bahwa sekolah, tempatnya mengabdi hendak dialihkan ke SMA biasa.
“ Saya terpukul ketika mendengar kabar itu. Sekolah ini harus dialihkan ke SMA biasa lantaran minat siswanya sedikit. Namun, saya tetap meyakinkan Romo Ferdi sebagai Kepala Sekolah bahwasannya sekolah ini harus tetap menjadi sekolah vokasi.” ucapnya sambil menghela napas.
Atas saran itu, SMKS Stella Maris menambah satu program baru di bidang pariwisata yakni Usaha Layanan Pariwisata.
Saya yakin sekali, kata dia, bahwa dengan dibukanya program ULP, siswa yang berasal dari kampung yang hendak bersekolah di Labuan Bajo tidak patah semangat. Karena pada masa itu, satu-satunya program ULP hanya ada di SMKN 1 Labuan Bajo. Kalau siswanya sudah penuh di sana, banyak siswa yang pulang dengan hampa. Pa Incen melihat peluang tersebut. Berkat jerih payahnya bersama kepala sekolah, mereka mulai merintis program usaha perjalanan wisata di SMKS Stella Maris.
Pa Incen sadar betul bahwa berbicara kesejahteraan guru, masih jauh panggang dari api. Jika dibandingkan dulu, upahnya sangat melarat. Sementara, ayah dari tiga orang anak ini harus memenuhi kebutuhan keluarganya, padahal di sisi lain harga barang di Labuan Bajo kian mencekik.
“ Waktu itu, tahun 2012, kami menerima 300 ribu per bulannya. Selang beberapa tahun, gajinya menjadi lima ratus”, ujarnya.
Dirasa kebutuhannya belum tercukupi, Pa Incen tak kehabisan ide. Ia kemudian giat menulis di media lokal. Hasil tulisan ia kumpulkan perlahan. Untunglah, berkat kepiawaiannya menjadi kuli pena, ia memperoleh rejeki yang dapat menutupi keperluannya sehari-hari. Selain itu, ia juga banyak dibantu sang istri yang saban hari bekerja di salah satu hotel di Labuan Bajo.
“ Sekarang memang upah sebagai guru masih terbilang baik meski belum sepenuhnya memenuhi harapan. Akan tetapi, bagi saya, rejeki selalu datang ketika kita melakukannya dengan tulus.” ucap alumnus Sekolah Tinggi Pastoral Adma Reksa, Ende.
Kini, Pa Incen tetap menjadi guru sekaligus operator pada lembaga tersebut. Ia bangga ketika sekolahnya itu kian hari kian gemilang. Minat siswa untuk bersekolah di lembaga bukan kepalang banyaknya. Tercatat, ada 1709 siswa yang bersekolah di tempat ini. Ia lebih berbangga lagi, ketika banyak alumni jebolan SMKS Stella Maris yang telah berkiprah di bidangnya masing-masing.
“ Mereka sudah punya agent dan bengkel masing-masing. Ada juga yang bekerja di Kapal Laut.” jelasnya sambil tersenyum.*
Penulis adalah guru di SMPK Stella Maris Labuan Bajo, Juara III lomba menulis feature HUT PGRI 2024