Sebatang ‘lidi’, secara kebetulan, saya bawa ke ruang guru setelah selesai melaksanakan proses pembelajaran di Kelas X-01 program Usaha Perjalanan Wisata (UPW). Jelang akhir pekan, (23/9/2015) terjadi sebuah ‘perdebatan’ antara saya dan seorang guru sukarela (volunteer) dari Inggris, Ibu Emily.
Jarum jam tepat berada di angka 11.30. Bunyi lonceng untuk break time baru saja terdengar. Udara siang itu begitu panas. Tak pernah kuduga bahwa ibu guru cantik dari benua biru itu, begitu reaktif dan kesal dengan sebatang lidi itu.
Saya belum duduk, Emily langsung melakukan serangan.
“ Pak Sil, untuk apa lidi itu?”
Saya tarik nafas dan coba tersenyum.
“ Salah satu alat peraga dalam pembelajaran ibu”, jawab saya sekenanya.
Tetapi, rupanya ibu bermata biru itu tak puas.
“ Jangan sampai kamu pukul anak-anak dengan lidi itu?” sergah Emily dengan raut muka serius. Saya ‘tersentak’. Rupanya lidi ini menjadi ‘masalah besar’ bagi ibu yang energik itu.
“ Sesekali ibu. Saya coba menyadarkan anak-anak dengan bantuan lidi ini”, jawab saya dengan nada polos. Tak disangka, justru jawaban yang jujur itu, menjadi pemicu ‘kemarahan’ sang ibu. Beliau menghardik saya dengan kalimat pedas ini.
“ Pak Sil keliru. Mereka bukan binatang. Anak-anak tidak akan berubah seketika dengan lidi anda itu. Anda telah merendahkan martabat perserta didik kita”.
Saya terdiam. Karena tak tahan dengan litani kritik itu, saya coba membela diri.
“ Emily, cukup…! Kamu jangan samakan situasi di Inggris dengan Manggarai. Kamu dibesarkan di negara yang peradabannya sudah sangat maju dan tingkat kecerdasan anak sudah di atas rata-rata. Tentu, beda dengan kami di sini. Untuk kami, dalam kasus tertentu lidi masih sangat berguna”.
Ibu itu tidak mau kalah. Dengan sangat berani dia mengambil lidi itu dan mematahkannya di depan saya serta memperlihatkan lidi yang remuk itu ke kepala sekolah dan guru yang lain.
“ Lihat ini Romo, Pak Sil sudah merendahkan martabat anak-anak”, ujarnya sambil menitikkan air mata.
Kepala Sekolah, Rm. Ferdinandus Usman, Pr coba memberikan tanggapan agar ibu itu tenang. Namun, upaya itu sia-sia. Dirinya tidak terima terhadap setiap penjelasan yang terkesan membenarkan penggunaan lidi dalam mendidik siswa.
Kemarahannya semakin menjadi-jadi. Dia menghindar dari romo dan para guru yang lain. Sambil menangis, dia pergi ke jalanan, meminta tanggapan dan dukungan dari para pengguna jalan. Lidi yang patah itu, dibawa dan diperlihatkan kepada setiap orang yang lewat di jalan raya yang terletak di depan kompleks SMK Stella Maris.
“ Apakah kamu setuju kalau anak kamu dipukul dengan lidi ini?”
Itulah sepotong kalimat yang diucapkannya saat bersua dengan para pengguna jalan. Dari kajauhan, saya melihat sejumlah pengendara sepeda motor dan pejalan kaki menggelengkan kepala pratanda mereka tidak setuju. Tentu, ibu itu semakin percaya diri, sebab semakin banyak orang yang searah dengan pikirannya.
Tak ada guru yang coba mengajak ibu itu pulang ke ruangan guru lagi. Sepertinya kami memberi dia kebebasan dan kesempatan untuk mencurahkan perasaannya kepada siapa saja yang dia temui di jalanan itu.
“Biar dia puas dan legah. Jangan halangi dia”, ungkap Rm. Ferdi.
Saya pun tak mau ‘repot’ dengan ibu itu lagi. Meski begitu, saya coba mengambil hikmah dari adegan itu. Saya berjalan menuju pohon beringin yang tumbuh rindang di salah satu sudut sekolah. Sebelum pulang ke rumah di Lancang, saya duduk merenung seorang diri di bawah pohon itu.
“ Ibu Emili itu ada benarnya”, guman saya dalam hati.
Hukuman fisik dengan cara memukul rasanya sebuah metode kuno yang bersifat barbaristik. Emili benar bahwa peserta didik itu, bukan binatang. Hukuman fisik itu tak efektif untuk memanusiakan manusia. Lidi itu bisa menjadi bencana, sebab timbul demdam dan amarah dalam diri siswa.
“ Saya telah melakukan semacam ‘dosa pedagogi’ selama ini”, desisku sambil menitikkan air mata.
Terima kasih Emili, engkau telah menyadarkan saya akan ‘pedagogi hitam’ yang telah saya dan guru yang lain lakukan selama ini.
Keesoknnya, saya memberanikan diri untuk bertemu dengan ibu itu. Dengan tulus saya menyampaikan rasa sesal dan niat saya untuk ‘bertobat’.
“ Emili, dari lubuk hati yang paling dalam, saya minta maaf. Saya berjanji pada diri saya sendiri untuk tidak lagi menggunakan hukuman fisik dalam mendisiplinkan siswa”, ungkapku dengan nada merendah.
“ Tidak apa-apa pak guru. Saya hanya ingin agar para guru di sekolah ini tidak boleh pukul siswa lagi. Memukul siswa itu sebuah tindakan biadab”, balas Emili.
Pasca kejadian itu, saya berusaha ‘tahan diri’ untuk tidak pukul siswa. Sejumlah cara alternatif saya adopsi dalam menyadarkan siswa yang melakukan tindakan tidak terpuji baik di dalam maupun di luar kelas. Mulai saat itu, hingga detik ini, saya tidak pernah menerapkan sanksi fisik kepada peserta didik.
Lidi itu sudah patah. Itu adalah simbol ‘patahnya’ naluri kekerasan dalam mendidik siswa. Pendekatan yang lebih manusiawi jauh lebih efektif dan selaras dengan martabat anak, ketimbang cara-cara represif. Guru adalah ‘cahaya manusiawi’ yang menyinari relung kemanusiaan anak. Guru bukan ‘panglima’ yang siap menghajar setiap siswa yang melanggar aturan di sekolah.
Penulis adalah Guru SMK Stella Maris, Labuan Bajo/ Juara I lomba menulis feature HUT PGRI 2024