BUMI MANUSIA

Penyandang Disabilitas adalah Kita Juga, Mari Saling Berbela Rasa

Catatan Hari Peringatan Disabilitas Internasional

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Resolusi Nomor A/61/106 mengenai Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas) pada tanggal 13 Desember 2006.

Resolusi tersebut memuat hak-hak penyandang disabilitas dan menyatakan akan mengambil langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan konvensi tersebut. Konvensi mengakui bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk menikmati standar kesehatan tertinggi yang tersedia tanpa diskriminasi atas dasar disabilitas mereka. Negara-Negara penandatangan konvensi harus mengambil semua kebijakan yang diperlukan untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas terhadap pelayanan kesehatan yang sensitif gender termasuk rehabilitasi kesehatan.

Pemerintah Indonesia sendiri telah menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Penandatanganan tersebut menunjukan kesungguhan Negara Indonesia untuk menghormati, melindungi, memenuhi dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas, yang pada akhirnya diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan para penyandang disabilitas. Dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, Pemerintah Indonesia telah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur pelindungan terhadap penyandang disabilitas, termasuk di antaranya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang memuat mengenai Kesehatan Lanjut Usia dan Penyandang Cacat. Di beberapa daerah lain di Indonesia juga telah dibuat peraturan daerah (Perda) yang bertujuan untuk menjamin hak-hak asasi kaum disabilitas.

Hingga kini belum ada satu rumusan definisi final tentang disabilitas meskipun demikian menurut konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, disebutkan bahwa disabilitas merupakan suatu konsep yang terus berkembang dimana penyandang disabilitas mencakup mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama dan ketika berhadapan dengan berbagai hambatan yang mana dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektivitas mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan orang lain.Timbulnya disabilitas pun dapat dilatarbelakangi oleh beragam sebab seperti masalah kesehatan yang timbul entah sejak lahir, penyakit kronis maupun akut atau cedera yang dapat diakibatkan oleh kecelakaan, perang, kerusuhan, bencana alam dan sebagainya.

Disamping masih adanya perbedaan pengertian disabilitas juga dari sisi jumlah kaum disabilitas masih belum dipastikan karena pendekatan dan pemahaman tentang kaum disabilitas itu sendiri masih belum utuh dan lengkap. Namun demikian, disabilitas erat kaitannya dengan kesehatan baik fisik maupun mental. Disabilitas banyak dilatarbelakangi masalah kesehatan dan sebaliknya kondisi disabilitas juga dapat mempengaruhi kesehatan. Sektor kesehatan berperan penting dalam upaya pencegahan hingga rehabilitasi. Dalam upaya pelayanan kesehatan, penyandang disabilitas juga perlu mendapatkan pelayanan khusus dan terjangkau sesuai kebutuhan khusus dari disabilitas yang dimilikinya.

Oleh karena itu, dibutuhkan data dan kondisi penyandang disabilitas dalam perspektif kesehatan untuk memahami dan mengukur kebutuhan penyandang disabilitas dalam kaitannya dengan penyediaan pelayanan kesehatan serta monitoring dan evaluasi pelayanan kesehatan. Namun, kesehatan bukanlah satu bidang yang dapat berdiri sendiri. Derajat dan pelayanan kesehatan juga dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya serta pelayanan dan penyediaan fasilitas sektor lain. Dengan kata lain, disabilitas mencakup kondisi yang luas dan kompleks. Mengingat kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh para disabilitas menuntut peran aktif seluruh elemen masyarakat baik pemerintah, masyarakat, dunia usaha dan keluraga atau orang tua dari para menyandang disabilitas.

Gambaran permasalahan

Beberapa permasalahan umum yang dihadapi dalam upaya memberikan pelayanan optimal terhadap para disabilitas antara lain:

Pertama, masalah data jumlah para penyandang disabilitas. Selama ini pihak yang rutin atau terlibat langsung melakukan pendataan antara lain oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan kementerian/lembaga lain yang berkepentingan seperti Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan dan Kementerian Kesehatan. Data yang dihasilkan pun dapat berbeda karena konsep dan definisi yang berbeda tergantung tujuan dan kebutuhan masing-masing lembaga/institusi. BPS misalnya, mengumpulkan data penyandang disabilitas sejak tahun 1980 melalui kegiatan sensus dan survei yang dilakukan secara periodic.

Dalam Susenas tahun 1998, 2000, 2003 dan 2009 misalnya digunakan istilah kecacatan dengan definisi kecacatan sebagai hilangnya atau abnormalitas dari fungsi atau struktur anatomi, psikologi maupun fisiologi. Sedangkan pada Susenas 2006 menggunakan istilah disabilitas dan cacat. Disabilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan melaksanakan sesuatu aktivitas atau kegiatan tertentu.

Populasi penyandang disabilitas menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012 adalah sebesar 2,45% (6.515.500 jiwa) dari 244.919.000 estimasi jumlah penduduk Indonesia tahun 2012. Sementara menurut Program Perlindungan dan Layanan Sosial (PPLS) tahun 2012 jumlah penyandang disabilitas secara nasional adalah sebanyak 3.838.985 jiwa. Perbedaan jumlah ini disebabkan oleh definisi operasional atau instrumen yang digunakan dalam survei berbeda.

Kedua, selain masalah data dan definisi disabilitas yang masih berbeda, kondisi kaum disabilitas itu sendiri masih berbeda sehingga mempengaruhi cara pandang dan cara tindak kita terhadap pelayanan kaum disabilitas. Misalnya, gangguan atau kerusakan organ dan fungsi fisik dan atau mental sebagai akibat kelainan dan kerusakan organ menyebabkan berbagai hambatan dalam kehidupan penyandang disabilitas. Gangguan, hambatan atau kesulitan dalam orientasi, mobilitas, komunikasi, aktivitas, penyesuaian diri, penyesuaian sosial, kepercayaan diri, gangguan belajar, keterampilan dan pekerjaan.

Permasalahan lain yang ditemukan yakni masih rendahnya pemahaman masyarakat terhadap masalah disabilitas, stigma (kutukan, nasib), isolasi dan perlindungan yang berlebihan, kurangnya peran keluarga dan masyarakat terhadap masalah disabilitas dan penanganannya,  kurangnya upaya pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas dalam berbagai aspek kehidupan, masih banyaknya penyandang disabilitas yang hidup di bawah garis kemiskinan dan tingkat pendidikan yang masih sangat rendah.  Masih banyaknya keluarga penyandang disabilitas yang menyembunyikan atau menutupi bila memiliki anggota keluarga disabilitas. Masih kurangnya peran dunia usaha dalam mendukung pelayanan kaum disabilitas.

BACA JUGA:  Uskup Max Regus : Kemajuan Ekonomi dari Pariwisata, Tidak Selalu Dibarengi Akselerasi Kultural

Untuk menangani penyandang disabilitas tentu tidak hanya diperlukan rehabilitasi, melainkan juga aksesibilitas, kesetaraan dan keadilan untuk berperan secara penuh sebagai warga masyarakat dan warga negara. Oleh karena itu, pemerintah itu harus terus berupaya untuk memberikan kepedulian terhadap penyandang disabilitas, terutama mengedepankan kesetaraan, peluang dan hak dalam segala aspek kehidupan. Artinya, kepentingan penyandang disabilitas ditangani secara simultan dalam program pembangunan secara umum.

Dalam rangka meningkatkan kualitas hidup anak penyandang disabilitas, perlu dikembangkan dan dilaksanakan berbagai upaya program kesehatan tanpa adanya diskriminasi. Ini berarti memberikan pelayanan kesehatan kepada semua anak termasuk anak dengan disabilitas. Walaupun mereka memiliki perbedaan karena kecacatannya, tetapi mereka mempunyai hak sama dengan anak lainnya untuk mendapat pelayanan yang berkualitas.

Anak dengan disabilitas merupakan bagian dari anak Indonesia yang perlu mendapat perhatian dan perlindungan oleh pemerintah, masyarakat dan keluarga sesuai dengan amanah dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, sehingga upaya pelayanan kesehatan perlu dikembangkan untuk memberikan akses bagi anak dengan disabilitas sesuai dengan permasalahannya.

Upaya perlindungan bagi anak dengan disabilitas adalah sama dengan anak lainnya, yaitu upaya pemenuhan kebutuhan dasar anak agar mereka dapat hidup, tumbuh, dan berkembang secara optimal serta berpartisipasi sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Kebutuhan dasar anak tersebut meliputi asah, asih dan asuh yang dapat diperoleh melalui upaya di bidang kesehatan maupun pendidikan dan sosial.

Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu mekanisme agar anak dengan disabilitas terjamin dalam mendapatkan akses pelayanan kesehatan dan terpenuhi kebutuhan pemeliharaan kesehatan sesuai kondisinya. Kewajiban untuk memberikan kemudahan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan tidak hanya dibebankan kepada pemerintah saja, tetapi masyarakat yang berada di sekitar anak dengan disabilitas juga harus ikut berpartisipasi dalam mendukung anak dengan disabilitas untuk mencapai kondisi kesehatan dan kemandirian yang optimal.

Data tentang anak disabilitas masih sangat terbatas, oleh karena kurangnya penelitian yang dilakukan. Berdasarkan data Susenas tahun 2003, jumlah anak dengan disabilitas sebanyak 679.048 anak, dimana sebagian besar anak dengan disabilitas (85,6%) berada di masyarakat. Hal ini dapat dipahami karena, sebagian masyarakat masih menganggap anak dengan disabilitas sebagai aib keluarga sehingga orangtua/keluarga cenderung menyembunyikan dan kurang memperhatikan kebutuhan anak sesuai hak anak, baik di bidang pendidikan maupun kesehatan. Hanya sebagian kecil anak dengan disabilitas (14,4%) berada di institusi yaitu sekolah, panti, dan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA). Di Indonesia terdapat 1.314 Sekolah Luar Biasa (SLB) dengan jumlah siswa sebanyak 70.501 orang (Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2009). Sementara itu data badan dunia WHO memperkirakan jumlah anak dengan disabilitas adalah sekitar 7-10% dari total populasi anak di dunia dan khusus di Indonesia, gambaran data anak dengan disabilitas sangat bervariasi.

Menurut data Badan Pusat Statistik Nasional tahun 2007, terdapat 8,3 juta jiwa anak dengan disabilitas dari total populasi anak di Indonesia (82.840.600 jiwa anak), atau sekitar 10%. Berdasarkan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011, terdapat 130.572 anak penyandang disabilitas dari keluarga miskin, yang terdiri dari: cacat fisik dan mental (19.438 anak); tunadaksa (32.990 anak); tunanetra (5.921 anak); tunarungu (3.861 anak); tunawicara (16.335 anak); tunarungu dan tunawicara (7.632 anak); tunanetra, tunarungu, dan tunawicara (1.207 anak); tunarungu, tunawicara, dan tunadaksa (4.242 anak); tunarungu, tunawicara, tunanetra, dan tunadaksa (2.991 anak); retardasi mental (30.460 anak); dan mantan penderita gangguan jiwa (2.257 anak). Data ini tersebar di seluruh Indonesia dengan proporsi terbanyak di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.

Demikian pula belum ada data tentang gambaran penyakit pada anak dengan disabilitas, namun mereka merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap penyakit. Masalah anak dengan disabilitas sangat kompleks, setiap anak dengan disabilitas memiliki masalah yang spesifik sesuai dengan jenis dan derajat disabilitas/kecacatannya. Anak dengan disabilitas adalah bagian dari anak Indonesia yang mempunyai hak yang sama dengan anak lainnya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas dalam rangka meningkatkan kesehatan dan optimalisasi kemampuan mereka sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, penyediaan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi anak dengan disabilitas merupakan hal yang perlu mendapat perhatian untuk dilaksanakan.

Pembinaan kesehatan bagi anak dengan disabilitas merupakan bagian integral dari program pembinaan kesehatan anak secara menyeluruh dengan menggunakan pendekatan continuum of care untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan. Kebijakan program pembinaan kesehatan anak dengan disabilitas diarahkan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas sesuai kebutuhannya di tingkat dasar maupun rujukan, yang dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan berbagai sektor terkait, organisasi profesi, LSM, pihak swasta dan upaya pemberdayaan keluarga dan masyarakat.

Arah kebijakan pembinaan kesehatan anak dengan disabilitas difokuskan pada upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas hidup anak dalam rangka pemenuhan hak-hak anak khususnya kaum disabilitas.

Pembahasan, Strategi  dan kebijakan

Strategi yang digunakan untuk pembinaan kesehatan anak dengan disabilitas meliputi :

Pertama, meningkatkan pengetahuan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan tidak terbatas pada mereka yang mendapatkan pendidikan khusus di sekolah-sekolah formal tetapi juga masyarakat terkhusus orang tua para penyandang disabilitas yang dilatih secara khusus agar memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai guna membantu, merawat dan melayani anak mereka yang berkebutuhan khusus.Keterlibatan akstif orang tua atau keluarga para penyandang disabilitas merupakan kunci utama pemberdayaan kaum disabilitas.

BACA JUGA:  Berikut 5 Orang Penguasa Batu Bara di Indonesia dengan Kekayaan Spektakuler

Kedua, meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan bagi anak dengan disabilitas di pelayanan dasar dan rujukan.

Ketiga, meningkatkan kerjasama Lintas Program dan Lintas Sektor (LP/LS), kelompok masyarakat peduli anak dengan disabilitas, serta organisasi profesi terkait lainnya.

Keempat, meningkatkan upaya pembiayaan melalui BPJS, Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), sumber dana lainnya.

Kelima, meningkatkan upaya pemberdayaan masyarakat, sekolah, dan keluarga dalam penjaringan/deteksi dini, perawatan dan pemeliharaan kesehatan anak dengan disabilitas.

Keenam, meningkatkan manajemen program.

Ketujuh, meningkatkan sistem informasi, pencatatan, dan pelaporan terkait program anak dengan disabilitas.

Mengingat kondisi kesehatan anak dengan disabilitas sangat kompleks, terdiri dari berbagai jenis disabilitas dengan permasalahan yang cukup spesifik sehingga memerlukan pendekatan secara khusus dalam penanganannya. Mereka merupakan kelompok yang rentan dan rawan terhadap paparan penyakit maupun ancaman kekerasan.

Beberapa tantangan yang dihadapi dalam implementasi konvensi, yaitu:

  1. Alokasi penganggaran yang belum memadai bagi penanganan isu disabilitas.
  2. Masih adanya cara pandang yang stereotipikal terhadap penyandang disabilitas sebagai individu yang cacat dan tak berdaya.
  3. Adanya kesenjangan pehamaman utuh tentang disabilitas tingkat pusat dan daerah, juga terkait proses otonomi daerah, dan lain-lain.
  4. Keterampilan tenaga kesehatan dalam berkomunikasi dengan anak di SLB pada saat pemeriksaan masih kurang sehingga perlu didukung pendampingan oleh guru dan orang tua sebagai pendamping.
  5. Koordinasi LP/LS belum berjalan dengan optimal.
  6. Materi komunikasi, informasi, dan edukasi bagi anak dengan disabilitas di SLB masih terbatas.

Saat ini pemerintah gencar menjalankan pogram kesehatan bagi Anak Dengan Disabilitas (ADD) sebagai salah satu program inovasi yang dikembangkan sejak lahirnya Direktorat Bina Kesehatan Anak pada tahun 2006. Searah dengan amanah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan khususnya Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 133 dan 139 terkait dengan upaya kesehatan bagi penyandang cacat.

Program ADD merupakan salah satu program kesehatan bagi penyandang disabilitas oleh Kementerian Kesehatan melalui Kementerian Luar Negeri di tingkat internasional setiap 4 tahun, mengingat Indonesia telah ikut meratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (Convention of The Right of People with Disability).

 

Pengembangan program yang dilakukan bagi ADD melalui dua pendekatan yaitu melalui program UKS di SLB dan melalui pembinaan kesehatan ADD di tingkat keluarga. Pembinaan kesehatan ADD di tingkat keluarga dikembangkan, mengingat sebagian besar ADD berada di masyarakat sehingga perlu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat (community awareness) tentang hak-hak anak dengan disabilitas dan upaya pemberdayaan masyarakat/keluarga/orangtua, agar dapat melakukan pengasuhan yang benar apabila memiliki anak dengan disabilitas.

Sedangkan dalam rangka menyediakan akses layanan kesehatan bagi anak dengan disabilitas, maka strategi yang tepat untuk memberikan pelayanan kesehatan melalui pelayanan kesehatan tingkat dasar di Puskesmas, rujukan di rumah sakit dan memperkuat upaya pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan peran orang tua dan masyarakat. Program yang dilakukan mencakup upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif melalui pelayanan kesehatan.

Diharapkan program ini dapat menumbuhkan kemandirian orangtua/keluarga untuk mampu membimbing dan melatih anak tentang aktivitas hidup sehari-hari seperti toilet training, kebersihan diri termasuk menyikat gigi sendiri, memperhatikan tumbuh kembang anak dengan memberikan asupan gizi yang memadai, mengenal tanda-tanda penyakit dan upaya pencegahannya serta memberikan latihan sederhana bagi anak agar dapat mencapai kemampuan optimal sesuai potensi yang dimiliki.

Target pembinaan SLB oleh Puskesmas adalah Puskesmas yang melakukan satu atau lebih pelayanan kesehatan melalui UKS di SLB, antara lain penyuluhan tentang kesehatan anak, penyuluhan tentang kesehatan lingkungan, penjaringan kesehatan, pemberantasan sarang nyamuk, imunisasi, pengobatan, dan upaya lainnya. Pengembangan program yang dilakukan bagi ADD melalui dua pendekatan yaitu melalui program UKS di SLB dan melalui pembinaan kesehatan ADD di tingkat keluarga.

Pembinaan kesehatan ADD di tingkat keluarga dikembangkan, mengingat sebagian besar ADD berada di masyarakat sehingga perlu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat (community awareness) tentang hak-hak anak dengan disabilitas dan upaya pemberdayaan masyarakat/keluarga/orangtua, agar dapat melakukan pengasuhan yang benar apabila memiliki anak dengan disabilitas.

Sedangkan dalam rangka menyediakan akses layanan kesehatan bagi anak dengan disabilitas, maka strategi yang tepat untuk memberikan pelayanan kesehatan melalui pelayanan kesehatan tingkat dasar di Puskesmas, rujukan di rumah sakit dan memperkuat upaya pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan peran orang tua dari anak dengan disabilitas. Program yang dilakukan mencakup upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif melalui pelayanan kesehatan sejak di tingkat Puskesmas dan rujukan di rumah sakit.

 

Diharapkan program ini dapat menumbuhkan kemandirian orangtua/keluarga untuk mampu membimbing dan melatih anak tentang aktivitas hidup sehari-hari seperti toilet training, kebersihan diri termasuk menyikat gigi sendiri, memperhatikan tumbuh kembang anak dengan memberikan asupan gizi yang memadai, mengenal tanda-tanda penyakit dan upaya pencegahannya, serta memberikan latihan sederhana bagi anak agar dapat mencapai kemampuan optimal sesuai potensi yang dimiliki.

Target pembinaan SLB oleh Puskesmas adalah Puskesmas yang melakukan satu atau lebih pelayanan kesehatan melalui UKS di SLB, antara lain penyuluhan tentang kesehatan anak, penyuluhan tentang kesehatan lingkungan, penjaringan kesehatan, pemberantasan sarang nyamuk, imunisasi, pengobatan, dan upaya lainnya.

Pembinaan pelayanan kesehatan anak dengan disabilitas (penyandang cacat) saat ini difokuskan pada pembinaan UKS di SLB, sedangkan bagi anak dengan disabilitas yang berada di masyarakat yang belum banyak terjangkau pembinaan, perlu ditingkatkan pengetahuan dan kemampuan petugas kesehatan agar dapat membantu keluarga dan masyarakat mampu secara mandiri mengasuh, membina dan memberi kesempatan kepada anak dengan disabilitas untuk dapat hidup layak, bermartabat dan dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya.

BACA JUGA:  Manfaat Statistik untuk Bangun Pariwisata yang Inklusif dan Berkelanjutan

Mengingat sebagian besar anak dengan disabilitas berada di masyarakat, maka perlu ditingkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat terutama orang tua dan keluarga dalam penanganan anak dengan disabilitas dan peningkatan kemampuan petugas dalam memfasilitasi orang tua dalam peningkatan pengetahuan dan keterampilan penanganan dan perawatan anak dengan disabilitas.

Pada masa lalu, secara tradisional, pengetahuan masyarakat tentang kecacatan masih dikuasai oleh mitologi-mitologi tertentu yang berkaitan dengan kepercayaan lokal. Dalam pandangan masa itu, kecacatan dipandang sebagai sebuah retribusi (bayar kembali/karma atau balasan) akibat perbuatannya di masa lalu.

Sesuai pandangan tradisional, kecacatan dinilai dan dikaitkan sebagai bentuk pelanggaran atau dosa masa lalu yang dilakukan seseorang atas ajaran agama, keyakinan lokal atau pantangan nenek moyang, sehingga kecacatan dipandang sebagai imbalan atau balasan yang harus ditanggung dalam kehidupan sekarang sebagai penebusan dosa.

Perkembangan pengetahuan modern barat, khususnya dalam bidang medis, turut berkontribusi membentuk pemahaman masyarakat tentang kecacatan yang terfokus kepada keterbatasan fungsi sebagai konsekuensi abnormalitas organ tubuh manusia. Dan sesuai dengan berkembangnya pengetahuan bidang medis, maka perspektif tentang kecacatan didominasi oleh sebuah pendekatan yang dinamakan medical model.

Pada era ini, individu dengan kecacatan diasosiasikan sebagai “penderita” atau pasien yang mengalami disfungsi, tidak berdaya, defisiensi, pasif, dan merupakan target intervensi para profesional akibat kecacatannya (Smith, 2008, h. 16). Titik berat perspektif ini diletakkan pada personal atribut individu dan sekaligus menjadi fase penanda penting berkembangnya intervensi profesional berbasiskan teknologi medis, diantaranya menciptakan alat bantu dengar dan tangan palsu. Bahkan, dalam konteks perkembangan teknologi informasi terkini, perspektif medical model hadir dalam bentuk software JAWS (Job Access with Speech/komputer layar baca) dan TALK untuk program handphone bagi orang dengan gangguan penglihatan.

Dalam perspektif tersebut, lingkungan sosial didudukkan sebagai pihak yang turut berkontribusi menciptakan halangan-halangan sosial dan kultural bagi orang dengan disabilitas untuk hidup setara sebagai anggota masyarakat. Inilah fase penanda lahirnya persektif social model of disability, buah dari gerakan politik aktivis disabilitas dan hasil refleksi pada sarjana disabilitas berdasarkan pengalamannya masing-masing (Brownlee & Cureton, 2009, h. 86).

Tuntutannya kemudian adalah, masyarakat pun harus bertanggung jawab menghilangkan hambatan-hambatan tersebut, sehingga ruang gerak orang dengan disabilitas menjadi lebih lapang untuk mengakses sumber-sumber potensial di lingkungannya, yang dapat dimanfaatkan bagi pengembangan potensi dirinya demi kemandiriannya.

Indonesia pada saat ini dapat dikatakan telah memiliki cukup banyak instrumen kebijakan sosial yang pada intinya mengatur tentang hak-hak orang dengan disabilitas, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, pekerjaan, aksesibilitas.

Pada satu sisi, perkembangan ini tentu harus direspon secara positif sebagai bentuk keseriusan pemerintah Indonesia untuk mensejahterakan warga negaranya. Dan dalam posisi seperti inilah maka sangat relevan untuk mengajukan pertanyaan kritis sebagai bahan refleksi bersama, yaitu “Bagaimana situasi kesejahteraan orang dengan disabilitas di Indonesia?”.

Pembangunan bidang kesehatan apabila mengacu kepada pembangunan fasilitas fisik kesehatan sebagai tolok ukurnya, maka dapat dinyatakan bahwa kondisinya telah jauh lebih baik dibandingkan dengan sepuluh tahun silam.

Modernisasi sarana dan prasarana pendukung layanan terus menerus diperbaharui, jumlah tenaga kesehatan, baik dokter maupun paramedis semakin bertambah, dan partisipasi masyarakat sebagai relawan kesehatan untuk mendukung program-program pemerintah di tingkat lokal pun semakin tinggi. Hal ini tentu patut diapresiasi sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah untuk meningkatkan derajat kualitas kesehatan masyarakatnya.

Keluarga yang miskin terkadang menunda untuk mendapatkan pertolongan ketika salah seorang anggotanya mengalami masalah kesehatan, dan membutuhkan bantuan medis guna pemulihan kondisinya. Keterlambatan mendapatkan pertolongan medis itulah yang mengakibatkan seseorang mengalami cacat permanen. Penundaan untuk memperoleh pengobatan juga dipengaruhi oleh jarak yang relatif jauh dengan fasilitas kesehatan terdekat, yang dikombinasikan juga dengan terbatasnya kemampuan finansial untuk membayar biaya transportasi. Kemiskinan turut pula berperan terhadap terbatasnya akses terhadap sumber informasi. Keluarga miskin cenderung hidup dalam kondisi lingkungan dengan tingkat higienitas yang rendah, yang dicirikan dengan minimnya fasilitas pembuangan limbah manusia dan fasilitas air bersih.

Hal itu pun masih diperparah dengan rendahnya kualitas makanan bergizi keluarga-keluarga miskin. Dalam situasi lingkungan sosial seperti itu, maka keluarga-keluarga miskin sangat rentan untuk terpapar virus dan bakteri yang berpotensi menyebabkan terjadinya kecacatan akibat buruknya imunitas tubuh.

Dari potret singkat kondisi disabilitas di atas beberapa kesimpulan dan rekomendasi yang kiranya patut diperhatikan oleh para pihak baik pemerintah, masyarakat, orang tua, lembaga pendidikan da kesehatan serta semua komponen masyarakat lainnya antara lain sebagai berikut:

Memperluas akses terhadap fasilitas pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan; mendorong dan memperluas upaya ekonomi kreatif orang dengan disabilitas melalui program kemitraan dengan pihak swasta dan masyarakat untuk menyerap hasil produksi sampai ke konsumen; memperluas layanan kesehatan pada layanan spesifik sesuai kebutuhan orang dengan disabilitas, melibatkan keluarga dan atau orangtua anak penyandang disabilitas sebagai motor penggerak utama pelayanan kesehatan demi mewujudkan kemandirian dan keberdayaan para penyandang disabilitas. [sumber : Sankita]

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button