Selama 12 tahun P. Budi Kleden menjadi warga kota Roma. Sebentar lagi beliau meninggalkan kota yang pertama dibangun oleh Remus dan Romulus tahun 753 SM. Beragam kisah tertulis di kota seluas 1,285 km2 dan berpenduduk 2,9 juta itu. Aneka kenangan terukir di kota tua berusia 1775 tahun. Luar biasa!
Bulan Juni 2019 saya pernah ke Roma mengunjungi RD. Efraim Pea dan RD. Albert Dedon yang sedang studi di sana. Saya juga bertemu Mgr. Sensi yang menghadiri pertemuan lima tahunan para Uskup Indonesia dengan Paus Fransiskus. Kami melihat Vatikan dan sejumlah bangunan antik, indah dan eksotik. Kami berjalan sambil berbagi ceritera dan mendengarkan peneguhan Sang Gembala. Menyenangkan! Tapi semuanya tinggal kenangan!
Kota Roma mendapat banyak gelar. Salah satunya “Caput Mundi atau Kepala Dunia”. Roma pernah menjadi pusat kekaiseran Romawi. Juga salah satu pusat peradaban terbesar di dunia. Wilayahnya meliputi hampir seluruh Eropa, Afrika Utara dan Timur Tengah. Pemerintahan Romawi mempengaruhi dunia melalui seni, hukum, agama, filsafat dan bahasa Latin. Saya ingat ungkapan kesombongan imperium Romawi: “Roma locuta causa finita est. Roma berkata habis perkara”.
Roma merupakan pusat gereja katolik. Di sana ada Vatikan, Basilika dan kubur Santo Petrus dan para penggantinya. Ada lembaga-lembaga kepausan, universitas-universitas terkenal dan pusat ordo-ordo religius sedunia. Salah satunya Generalat SVD yang dipimpin P. Budi Kleden SVD.
- Budi harus menerima “Perutusan Jalan Turun”. Turun dari “Caput Mundi, Roma” menuju “Ende, Gereja Lokal KAE”. Saya pernah ditanya: “Apakah P. Budi turun jabatan?” Saya katakan tidak! Dalam pelayanan gerejani, pergantian jabatan selalu dimaknai sebagai perutusan baru. Saya pernah bertemu mantan Uskup Albania. Setelah pensiun dia menjadi kapelan di paroki. Dia sharing: “Saya tidak pernah merasa turun pangkat atau degradasi jabatan. Itu perutusan pelayanan”.
Mgr. Budi diutus ke Ende! Kota sejarah, pusat kerajaan, pemerintah daerah Flores dan ibu kota kabupaten Ende. Ende juga pusat awal Serikat Sabda Allah di Flores dan kepulauan Sunda Kecil. Dan selanjutnya pusat Keuskupan Agung Ende. Ende adalah “Caput Flores, Caput Sunda Kecil”. Tak lupa “Caput Indonesia” karena di Ende Soekarno menggagas Pancasila.
Saat tiba di Eiken-Swiss awal Desember 2014, Dewan Paroki terkesan dengan nama “Erzbistum Ende atau Keuskupan Agung Ende”. Kata benda “das Ende” dalam bahasa Jerman artinya akhir, ujung, selesai. Sementara kata kerja “enden” artinya berakhir, mengakhiri, menyelesaikan. Mereka menanyakan letak Keuskupan Agung Ende: “Wo liegt das Erzbistum Ende?” Saya menjawab: “Erzbistum Ende liegt am Ende der Welt! Keuskupan Agung Ende terletak di ujung timur dunia!”
Jaraknya 16.000 an kilometer dari Eiken. Saya memuji mereka: “Swiss termasuk kelompok dunia pertama. Kamu sangat maju, moderen, kaya dan makmur. Sedangkan Ende berada di wilayah dunia ketiga. Kami miskin, penghasilan rendah, tertinggal dan terkebelakang. Tapi kami kaya panggilan. Buktinya saya berada di tengah-tengah kalian”. Uskup Budi akan meninggalkan Roma, dunia pertama dan menerima perutusan baru ke kawasan dunia ketiga: Ende, Flores. Perutusan jalan turun!
Secara geografis medan perutusan baru hanya seluas 5.084 km2, terbentang dari Kotabaru hingga Riung Barat dan dari Watuneso hingga Aimere. Dari sisi administrasi pemerintahan, Keuskupan Agung Ende meliputi kabupaten Ende, Nagekeo dan Ngada. Secara budaya terdapat empat sub kultur yaitu Bajawa, Riung, Nagekeo, Ende, Lio.
Gereja KAE memiliki tiga kevikepan yaitu Ende, Mbay, Bajawa, 68 paroki, 12 kuasi paroki, 429 Stasi, 1206 lingkungan, 5679 KUB, 103.107 kk dan 486.028 jiwa. Ada 239 imam yang terdiri dari 170 imam projo, dan sisanya SVD, O. Carm, OCD, Claret, Fransiskan, Capusin dan Pasionis. Selain itu gereja lokal KAE juga dilayani 39 konggregasi religius. Umat beriman, para imam dan kaum religius adalah kawanan sekaligus rekan-rekan perutusan jalan turun.
Jangkauan karya SVD mendunia dan beranggotakan 5754 orang. Luas wilayah KAE 5.084 km2. Tapi jumlah umatnya 480 an ribu jiwa. Hampir semua anggota SVD berpendidikan baik. Sesuatu yang kontras dengan ribuan umat KAE. Uskup Budi akan menjumpai mereka dengan segala suka dukanya. Di sana gagasan “Teologi Terlibat” beliau diuji.
Uskup Budi bertemu para imam, religius dan fungsionaris pastoral. Mayoritas mereka belum dikenal. Saya kira ini tugas terpenting seorang Uskup baru: “Mengenal dan merawat kolegialitas dengan para imam”. Tugas ini sulit tapi mulia. Saya optimis dengan kesahajaan Uskup Budi dan kebesaran jiwa para imam.
Saya merefleksikan empat harapan. Pertama, Uskup Budi berada di Roma hampir bersamaan dengan Paus Fransiskus. Paus Fransiskus tidak datang dari “lingkaran dalam Vatikan”, tapi dari ujung selatan dunia ketiga. Uskup Budi tentu sering melihat figur Paus dari dekat, gaya hidup, kecerdasan dan terobosannya. Kita berharap Uskup Budi membawa semangat baru untuk menganimasi kecerdasan, kualitas personal dan pelayanan demi pertumbuhan gereja lokal.
Kedua, saya terkesan saat bertemu Uskup Budi di Sankt Agustin Jerman tahun 2014. Tampilannya bersahaja. Beliau mengalami hidup di Eropa 20-an tahun. Salah satu kekhasan hidup di Eropa adalah “self-service atau melayani diri sendiri” dalam banyak hal. “Self-service” mensyaratkan kerendahan hati. Saya percaya Uskup Budi tetap ugahari di tengah menguatnya “godaan hidup parlente seperti manajer dan luxus” para petinggi gereja kita. Beliau minta ditahbiskan di gereja Katedral Ende. Saya kira ini langkah perdana yang penting untuk memerangi pemborosan yang bermuara pada kemiskinan.
Selama 11 tahun di Eropa saya belajar dan membiasakan diri dengan kultur ini. Budaya “self-service” menjauhkan saya dari “mentalitas dilayani dan gaya tuan besar” seperti dulu di Flores. Saya bisa mandiri, tampil rendah hati, menghemat untuk menolong yang susah. Saya bisa mengelola diri dan menjalani hidup dengan sukacita.
Ketiga, Paus dan para Uskup selalu menjaga kontinuitas dengan para pendahulunya. Latar belakang, karakter, kemampuan dan gaya kemimpinan mereka berbeda. Tapi mereka menduduki tahta yang sama secara berkesinambungan yakni mengepalai gereja lokal, menjaga ajaran iman dan tradisi-tradisi suci, mewartakan injil dan menggembalakan umatnya.
Saya mencatat benang merah proses pastoral ketiga pendahulu Uskup Budi. Mgr. Donatus Djagom SVD menggagas Musyawarah Pastoral KAE tahun 1987. Beliau menyelenggarakan Muspas I sd III. Uskup Longinus menyelenggarakan Muspas IV dan V. Terakhir Uskup Sensi menyelenggarakan Muspas VI sd VIII. Muspas bertujuan membenahi karya pastoral gereja lokal, yang berproses dari Komunitas umat Basis hingga tingkat Keuskupan.
Umat dilibatkan untuk memahami persoalan pastoral. Mereka mengevaluasi, merefleksikan, menentukan arah dasar pastoral, penyusunan program, strategi, pembenahan perangkat dan fungsionaris pastoral. Ketiga Uskup terdahulu memerhatikan penguatan keluarga dan Komunitas umat Basis. Mereka juga menganimasi pendidikan umat, penguatan kapasitas para fungsionaris pastoral, formasi calon imam, pembinaan dan pendidikan lanjut para imam. Semoga Uskup Budi berjalan dalam semangat ini.
Keempat, Paus Fransiskus sangat memerhatikan karya misi. Pada hari hidup bakti ke 26 tanggal 2 Pebruari, beliau mengingatkan krisis panggilan di Eropa. Secara mengejutkan, beliau menyebut Indonesia. “Coba tengok ke pulau-pulau di Indonesia karena di sana panggilan bertumbuh subur”. Paus sendiri mau menengok Indonesia Indonesia, berdialog dan menganimasi panggilan bulan September nanti.
Uskup Budi memahami situasi gereja Eropa dan belahan dunia lainnya. Kita diperkaya oleh wawasan dan pengalaman misinya. Kita bertanggungjawab menumbuhkan panggilan baru memerhatikan kualitasnya. Uskup Budi menjembatani para Uskup dan konggregasi religius untuk menyiapkan proses formasi yang menjawabi tantangan jaman.
Beliau memiliki akses jaringan luas ke Roma dan negeri asal para misionaris SVD masa lalu. Akses jaringan membawa rahmat tersendiri bagi kaderisasi awam, peningkatan kapasitas imam-imam gereja lokal dan religius. Saya kira ini rahmat dan anugerah kasih bagi kita. Beliau rela menerima “Perutusan Jalan Turun”. Jalan turun menyiapkan generasi baru menjalani “perutusan jalan naik, membawa Fidei Donum atau karunia iman” ke seluruh dunia. Selesai!
Penulis adalah Imam Projo KAE, Misionaris Fidei Donum Di Keuskupan Basel Swiss.