OPINI

Lingkaran Setan Literasi Dasar

Oleh : Dr. Marselus R. Payong, M.Pd.

Saya pernah beberapa kali mendapat sharing dari guru-guru baik di SD maupun SMP bahwa kemampuan baca tulis hitung (calistung) atau literasi dasar anak-anak kita saat ini parah. Bahkan ada yang sudah sampai SMP belum bisa baca dan tulis yang lancar.

Saya sendiri juga beberapa kali mengembalikan pekerjaan mahasiswa yang tidak bisa saya koreksi karena tulisannya tidak bisa dibaca. Boleh dikatakan, dalam setiap tahun 3 dari 10 mahasiswa yang punya masalah besar dalam menulis. Ini baru problem dasar menulis huruf yang baik agar bisa dibaca oleh orang lain. Belum kalau omong menulis dalam arti merangkai kata dan kalimat untuk menyampaikan maksud tertentu melalui tulisan.

Ketika memberikan kuliah tentang Ilmu Pendidikan Teoretik beberapa waktu lalu, salah satu mahasiswa mengangkat lagi persoalan ini. Ketika membahas tentang filsafat pendidikan esensialisme. Salah satu problem besar yang dihadapi oleh keaksaraan atau literasi dasar karena esensialisme sangat menekankan penguasaan keterampilan-keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh manusia agar bisa hidup.

Mengapa literasi dasar kita masih parah meskipun saat ini fasilitas belajar sudah semakin mudah diakses dan disediakan untuk para siswa? Kita tahu bahwa setiap tahun pemerintah juga mengalokasikan BOS yang sebagian diantaranya dialokasikan untuk pembelian buku, baik buku pelajaran maupun buku-buku lain untuk koleksi pustaka.

BACA JUGA:  Lembata dan Memori Jangka Pendek

Saya teringat tahun 2006 lalu, mantan Gubernur NTT Ben Mboi dalam sebuah ceramah di STKIP Santu Paulus Ruteng pernah mengangkat masalah baca tulis ini. “Banyak anak sekarang tidak tahu baca tulis yang baik, mungkin karena guru-guru kita terlalu baik. Mereka berpikir, kalau tidak bisa baca tulis di kelas I (SD) naik dulu di kelas II, barangkali di kelas II bisa baca tulis. Ketika di kelas II belum tahu baca tulis, guru juga berbaik hati, naik dulu ke kelas III, barangkali di kelas III bisa baca tulis. Kalau di Kelas III belum bisa baca tulis, lagi-lagi guru berbaik hati, naik dulu ke kelas IV, barangkali di kelas IV bisa baca tulis…. begitu seterusnya. Dan tidak sadar, anak sudah harus tamat SD. Karena masalah wajib belajar, ya anak terpaksa diluluskan dengan kemampuan baca tulis yang tidak memadai.”

Problem literasi dasar ini menyerupai lingkaran setan karena tidak hanya terkait dengan faktor-faktor yang ada disector pendidikan saja tetapi melibatkan juga faktor-faktor di luar sektor pendidikan. Masalah ini terkait juga dengan masalah kependudukan terutama pengendalian penduduk.

Sampai saat ini, angka pertumbuhan penduduk secara nasional berdasarkan sensus penduduk 2020 adalah 1,25% lebih rendah dibandingkan angka pertumbuhan periode sebelumnya (2000-2010) sebesar 1,49% (BPS, 2021). Angka pertumbuhan ini termasuk tinggi apalagi dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini sebesar 270 juta jiwa, yang menggambarkan bahwa pengendalian penduduk belum berjalan optimal. Jika pengendalian penduduk belum berjalan optimal maka angka kelahiran belum bisa dikontrol dengan baik.

BACA JUGA:  Mgr. Budi Kleden : Jawaban Doa Umat dan Perutusan Baru (1)

Dampaknya adalah anak-anak yang hendak memasuki usia sekolah setiap tahun selalu meningkat sehingga proses pendidikan di sekolah juga tidak bisa berjalan dengan selektif untuk mempertahankan mutu. Sebab, jika sekolah ingin mempertahankan mutu maka ia harus berlaku selektif terhadap kompetensi-kompetensi yang dicapai siswa. Jika siswa belum kompeten maka mereka harus ulang kelas. Namun jika mengulang kelas maka akan menghambat hak-hak anak usia sekolah yang akan masuk sekolah.

Katakanlah, jika sebuah kelas I di sebuah SD dengan jumlah siswa 30 orang dan 10 orang diantaranya belum bisa baca tulis, maka jika 10 orang ini harus ulang kelas di kelas I, maka sekolah harus  menahan 10 siswa untuk ulang kelas di kelas I. Dengan kebijakan ulang kelas di kelas I maka akan menghambat 10 anak usia sekolah yang seharusnya masuk di kelas itu pada tahun berikutnya. Bayangkan, jika ini dilakukan secara konsisten maka hak-hak anak usia sekolah untuk menikmati layanan pendidikan di sekolah banyak yang terhambat.

BACA JUGA:  Mengukur Kualitas Debat Pilpres: Rasionalitas dan Etika

Pembukaan sekolah baru sebagai strategi pemerintah untuk memperluas jangkauan dan layanan pendidikan bagi masyarakat tidak akan bisa menyelesaikan masalah, jika laju pertumbuhan penduduk tidak bisa dikendalikan. Saatnya, edukasi terhadap masyarakat terutama terhadap remaja-remaja perlu digencarkan untuk mencegah perkawinan usia dini yang menjadi salah satu faktor penyebab tingginya laju pertambahan penduduk.

Penulis adalah Dosen FKIP Unika Santu Paulus Ruteng

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button