BUMI MANUSIA

Menyelaraskan Pertanian, Ekosistem dan Ekonomi Keluarga

FLORESGENUINE.com- Sebagian besar petani di Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) punya alasan kuat untuk merasa lebih tenteram dengan tumpangsari. Kemungkinan terguncangnya perekonomian rumah tangga akibat kegagalan panen, lebih kecil dengan sistem tumpangsari ketimbang sistem monokultur.

Dalam tumpangsari, kegagaan salah satu komoditas, dapat diatasi dengan komoditas lain. Sementara sistem monokultur hanya bergantung pada satu komoditas. Itulah, mengapa walaupun pemahaman petani tentang program pertanian dari pemerintah sejak gerakan revolusi hijau diperkenalkan cukup memadai, sebagian besar petani tetap memakai sistem tumpangsari.

Dari sis ekologi, pertanian tumpangsari juga paling selaras dengan karakter Flores. Karakter yang berbukit-bukit dengan tanah yang kurang subur membuat potensi tanah menyimpan air menjadi terbatas dan tidak memungkinkan dibangunnya sumur pompa atau sumur ladang. Karenanya, hampir 70 persen petani Flores mengolah lahannya dengan sistem tadah hujan.

Hanya sedikit petani yang mengunakan sistem irigasi teknis. Maka model pertanian yang paling sesuai dengan lahan tadah hujan mereka adalah tumpangsari. Dengan sistem tadah hujan, para petani telah menerapkan pola pertanian tumpangsari di lahannya sejak ratusan tahun.

BACA JUGA:  Pesona Kawaliwu, Potensi Pariwisata dan Pertanian Lahan Kering

Tumpangsari lebih mendukung ketahanan pangan keluarga-keluarga di Flores. Sudah menjadi tradisi setempat bahwa hasil produksi padi tidak dijual seluruhnya karena sebagian dipakai untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga.

Untuk mendapatkan uang tunai, petani menjual sebagian komoditas unggulan seperti jagung, padi, singkong, ubi dan kacang-kacangan. Sebagian petani mengaku tak mengalami kekurangan pangan dengan sistem tumpangsari ini.

Petani rata-rata makan tiga kali sehari. Kadangkala nasi dicampur dengan kacang atau ubi. Mereka merasa kenyang dan tidak pernah rasa malu. Maka jika ada orang mengatakan bahwa “belum makan nasi berarti bukan makan” hanyalah satu permainan politis kebijakan pemerintah yang selama ini mendudukan beras seolah sebagai simbol kemakmuran.

Sistem tumpangsari lebih menguntungkan dari sistem monokultur dari sisi efiensi waktu. Tumpangsari tidak menuntut perawatan intensif seperti sistem monokultur. Dengan begitu, petani punya waktu lebih untuk melakukan pekerjaan lain di luar sektor pertanian.

BACA JUGA:  Mgr Maksimus Regus Umumkan Badan Kuria Keuskupan Labuan Bajo

Banyak dari petani yang bekerja juga sebagai buruh, tukang kayu atau pedagang makanan. Pekerjaan sampingan ini mereka kerjakan untuk memenuhi kebutuhan non pangan seperti kesehatan dan pendidikan. Dengan beragam sumber pendapatan, petani bisa mendapatkan penghidupan yang baik. Mereka menjadi kuat dari sisi ekonomi.

Seorang petani kacang tanah di Maumere, Kabupaten Sikka sedang membersihkan lahan kebun miliknya. (Foto : Kornelis Rahalaka/Floresgenuine)

Salah satu alasan mereka tetap bertahan dengan cara tradisional adalah kesadaran bahwa input pertanian seperti bibit, pupuk dan obat-obatan dari luar justru memberatkan petani karena mahal. Terlebih lagi keberadaannya seringkali nihil saat dibutuhkan.

Agar menjadi mandiri, para petani yang memiliki lahan sempit kurang dari 0,5 ha misalnya mencoba dengan pupuk kandang atau kompos. Untuk mendukung ketersediaan pupuk kompos, petani memelihara ternak seperti sapi, kerbau, babi, ayam dan kambing.

BACA JUGA:  Pengembangan Wisata Bahari yang Bertanggung Jawab

Peternakan menduduki peran penting dalam usaha tani mereka. Kebutuhan pupuk kandang dapat terpenuhi dari kotoran ternak mereka. Selain menggunakan pupuk kandang, petani dapat menggunakan bibit lokal. Padi hibrida yang oleh pemerintah disebut sebagai bibit unggul ternyata sangat rentan terhadap serangan penyakit. Petani dapat menggunakan bibit lokal karena mudah didapat dan tidak perlu penanganan khusus.

Jagung lokal cukup diberi pupuk kandang satu kali, selanjutnya, hanya perlu penyiangan saja. Dihitung dari biaya produksi, jagung lokal lebih mahal dibanding jagung hibrida. Dilihat dari pemasaran, harga jagung lokal lebih tinggi dibanding jagung hibrida.

Konsistensi pada sistem pertanian tradisional yang selaras dengan alam tempatnya dikembangkan dan setia pada pangan lokal membuat petani di Flores bisa mandiri dan mengusahakan penghidupan yang lebih baik bagi keluarganya. Maka benarlah pilihan petani Flores bahwa yang modern itu belum tentu lebih baik. *[Kornelis Rahalaka]

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button