Hadirnya Marsianus Jawa sebagai salah satu kandidat Bupati Lembata menjadi hal menarik. Tak mempersoalkan asal seseorang, itulah ciri khas orang Lembata. Siapapun yang memiliki kompetisi dan dianggap bisa memimpin, bisa diakomodir untuk menjadi calon bupati. Ini baru lembata. Tapi apakah hal ini merupakan tanda kematangan politik orang Lembata ataukah berkaitan dengan gejalah psikologis yang disebut sebagai ‘short term memory’ atau memori jangka pendek? Analisis terhadap hal ini bisa jadi bukan jawaban sempurna dari pertanyaan ini. Tetapi menjadikan memori jangka pendek sebagai salah satu pisau analisis bisa membantu menjernihkan persoalan atau minimal membuka diskusi lebih luas dengan memungkinkan hadirnya analisis yang lebih tajam terpercaya.
Memori jangka pendek dan memori jangka panjang biasanya lebih didiskusikan dalam konteks pendidikan anak. Ia disebut juga ‘working memory’ karena berkiatan dengan ingatan tentang fakta, kata, bilangan, huruf, atau informasi kecil lainnya yang biasanya bertahan hanya beberapa detik sampai satu menit atau lebih pada suatu waktu.
King, L. A., dalam Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif, 2014 menulis bahwa short term memory hanyalah 30 detik dengan jumlah item yang dapat diingat antara 5 sampai 9 item, namun pada umumnya adalah 7 item. Mengapa memori menjadi begitu singkat? Karena kapasitas penyimpanan pada otak terbatas. Juga karena adanya trauma, aneurisma, tumor otak, stroke, menjadi jenis penyakit yang menyebabkan hilangnya short term memory. Agar memori bisa diingat lebih lama maka perlu adanya pengelompokkan materi sesuai bidangnya dan diperlukan pengulangan.
Memori jangka panjang atau long term memory justru berbeda. Ia merupakan tipe ingatan yang dapat menyimpan informasi dengan jumlah yang sangat banyak dan cenderung menetap secara permanen. Yang jadi pertanyaan, bagaimana mengaitkan memori jangka pendek (dan jangka panjang) dengan pilkada di Lembata? Hal ini tentu tidak saja dikaitkan dengan hadirnya Marsianus Jawa, tetapi juga dengan Thomas Ola dan Sinun Petrus Manuk.
Tentang Marsianus, ia belum setahun lalu pamit dari Lembata sebagai Penjabat Bupati. Kini masyarakat mengingat cara pendekatan dan profesionalisme yang ditampilkan jauh dari sekat wilayah. Dalam waktu dekat banyak politisi yang melihat figurnya sebagai seorang pemimpin. Bahwa ia kini diorbitkan menjadi salah satu calon bupati Lembata maka hal itu bisa dimengerti. Tetapi apakah hal ini hanya pada Marsianus Jawa? Ternyata tidak. Pada masanya meski hanya 9 bulan, Thomas Ola menjadi begitu populer.
Di hari-hari awal menjadi penjabat, Thomas jebolan doktor ekonomi terlihat lebih menggunakan pendekatan adat untuk membangun lembata. Ritual-ritual adat dilakukan I hari pertama menjabat. Ia kemudian melaksanakan upacara sare dame mengeliling Lembata untuk ‘mendinginkan lewo tana’ yang oleh banyak orang disebut cukup panas atau begitu ‘dipanas-panasi’ oleh Elias Yentji Sunur. Andaikata selesainya Thomas Ola langsung diadakan pilkada maka kemungkinan besar dosen Unwira ini akan lolos.
Tidak hanya itu. Pada periodenya, Sinun Petrus Manuk atau yang biasa disapa Piter Manuk melakukan hal-hal bisa disebut jauh dari cemerlang. Pelaksanaan Harnus, pola pendekatan yang sangat humanis dengan bawahan, dialognya yang sangat cair dan menjadi pemimpin yang cepat tanggap (tidak sekadar berwacana) menjadikan Piter Manuk sangat populer pada masanya. Banyak orang masih merasakan bahwa pola kepemimpinan seperti ini sangat cocok untuk Lembata.
Sayangnya, periode kepemimpinan Piter Manuk sudah agak lama tahun 2016-2017. Kalau mengaitkan dominasi memori jangka pendek yang dimiliki oleh mayoritas Lembata maka bisa saja banyak yang telah melupakannya. Kini memori itu harus diulangi, disadarkan kembali untuk bisa menghadirkan tidak saja Thomas dan Piter Manuk dan bahkan pejuang otonomi daerah seperti Paulus Doni Ruing yang pada masanya menjadi pendekat memperjuangkan otonomi Lembata.
Hal ini penting agar kandidat yang dihadirkan tidak hanya terkesan karena memori jangka pendek, tetapi juga dihidupkan dalam kompetisi sehat dengan mengombinasikan dengan memori jangka Panjang.
Melihat dominasinya short term memory dalam cara berpikir orang Lembata, maka apa yang semestinya dilakukan untuk mendapatkan pemimpin terbaik Lembata?
Pertama, perlu kematangan berpolitik dari politisi partai. Artinya yang dikejar politisi (kalau memang benar-benar politisi) adalah menempatkan calon secara seimbang dan mengadakan rekrutmen yang kompetitif. Itu berarti semua calon tidak hanya ‘diverifikasi berapa besaran mahar’ (yang katanya sudah tidak diminta lagi), tetapi menguji kemampuan para calon baik yang baru berkuasa tetapi terutama yang sudah lama mematerikan jasa-jasanya.
Hal seperti ini menarik dan selalu didengung-dengungkan. Tetapi apakah proses ini diwujudkan dalam pola rekrutmen di level partai? Banyak parpol sudah menunjukkan profesionalismenya tetapi tidak sedikit yang lebih mementingkan ingatan jangka pendek daripada masuk dalam ruang dialog dan diskusi yang alot. Lihat saja. Ada parpol yang ‘boro-boro ingin mengajukan kandidatnya sebagai calon bupati tetapi dari awal hanya mau memajukan calonnya jadi wakil bupati. Mengapa bisa begitu? Karena yang dikejar adalah memenangkan pilkada terlepas dari siapa yang paling kompeten.
Kedua, dominasi memori jangka pendek di Lembata, kalau sesuai teori, berkaitan dengan akumulasi trauma yang dialami masyarakat. Hidup di daerah bencana seperti Lembata dengan 3 gunung berapi dan bisa menggoyang Lembata dengan gempa setiap saat membuat rakyat berpikir secara sangat pendek. Hal itu juga memengaruhi pola pikir orang Lembata termasuk pemimpinnya yang lebih mengutamakan kepentingan jangka pendek. Hal ini akan sangat berbahaya hingga terus menempatkan Lembata sebagai ‘Terdepan, Terluar dan Tertinggal’. ‘Gelar’ ini sebenarnya memalukan (kalau kita bandingkan dengan saudara tua Flotim yang sudah bebas). Tetapi di Lembata justru ‘dibanggakan’ agar tetap mengeruk dana dari pusat.
Kalau pola ini dikembangkan maka sebenarnya percuma Lembata menjadi kabupaten tersendiri. Pasalnya, pemimpin yang dipilih hanyalah orang yang bisa memenuhi kebutuhan jangka pendek tanpa perhatian terhadap kebutuhan jangka panjang.
Penulis berada dalam perjuangan agar Lembata bisa memiliki perguruan tinggi sehingga bisa menghadirkan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul. Sayangnya, cara berpikir jangka panjang ini jauh dari pikiran pemimpin eksekutif dan legislatif yang hanya mampu mengekor cara berpikir jangka pendek mayoritas.
Kalau demikian maka mengharapkan politisi yang didominasi cara berpikir jangka pendek, disertai masyarakat yang ‘traumatis’ hingga lebih suka pola berpikir jangka pendek, maka mengharapkan dalam waktu dekat terjadi perubahan akan menjadi perjuangan yang sangat berat. Hal terbaik adalah melalui persiapan SDM unggul yang harus kita persiapkan lewat pendidikan tinggi yang berkualitas. Dengan cara berpikir seperti ini, meski lambat, tetapi kita bakal memperoleh kemajuan secara gradual.
Untuk sampai pada proses ini tentu pilkada kali ini jadi kesempatan agar kita mencari figur-figur yang kompeten jauh dari sekadar ingatan jangka pendek. Kita berharap parpol di Lembata memiliki waktu untuk menyeleksi kandidat terbaik, membina masyarakat untuk berpikir jangka panjang yang harus dimulai dari politisinya yang berpikir lebih panjang sedikit dari masyarakat. Tapi apakah itu mungkin?
Penulis adalah Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Fakultad Ciencia Politicia, Universidad Complutense de Madrid Spanyol