
FLORES GENUINE –Awal Januari 2025, sebuah agen perjalanan wisata mengundang saya untuk melakukan perjalanan wisata ke kawasan Taman Nasional Komodo (TNK). Perjalanan ini terasa istimewa karena sejak pandemi virus corona melanda dunia, baru kali ini saya berkunjung lagi ke destinasi wisata paling favorit di kawasan ini.
Saya bersama rombongan yang terdiri dari sejumlah tour guide dan beberapa siswai/i sekolah kejuruan pariwisata yang tengah menjani praktik lapangan di kantor travel agen ini. Jumlah kami sebanyak 15 orang plus kru kapal.
Kapal Motor (KM) Monalisa 03 yang kami tumpangi mulai bergerak perlahan meninggalkan Dermaga Pink yang terletak di Kampung Tengah, Labuan Bajo. Sekitar 15 menit perjalanan, gerimis kecil mulai mengiringi pelayaran kami siang itu. Memasuki kawasan Pulau Pungu, tampak cuaca mulai tak bersahabat.
Cuaca kala itu boleh dibilang mulai tak bersahabat. Tanda-tanda terjadinya hujan badai akan segera datang. Melewati Pulau Pungu, tepatnya di antara perairan segitiga yakni Pulau Sebayur, Pulau Kukusan dan Pulau Mesa, awan hitam mulai mengepung kami dari berbagai arah. Hanya hitungan detik, hujan, badai disertai angin kencang menerpah kapal kami.
Gelombang setinggi kira-kira 2 meter mulai menghantam kapal kami dari arah samping. Menurut seorang ABK, kapal kami terjebak di tengah badai dan arus yang berlawanan arah. Tak lama kapal kami oleng dan nyaris tenggelam.
Beberapa penumpang tanpak panik lalu berlarian keluar kabin menuju buritan. Sejumlah penumpamg lainnya bergegas memakai live jacket yang dibagikan oleh seorang anak buah kapal. Sedangkan saya bersama beberapa guide yang berada di lantai 2 kapal kayu itu hanya bisa berdiri termangu sambil mengamati situasi yang tak menentu.
Seorang ABK tiba-tiba bergegas menuju ke lantai bawah sambil memegang sebuah bungkusan Sesaat kemudian, ia terlihat membuang bungkusan hitam tersebut ke dasar laut. Entah apa yang ia buang, tidak tahu.
“ Mungkin sesajian barangkali. Biasanya dalam situasi begini, ada ritus yang mereka biasa lakukan untuk memberi makan penguasa alam agar kita selamat”, ujar seorang guide yang wajahnya kelihatan panik.
Situasi semakin tak menentu. Badai belum juga berlalu. Beberapa waktu lamanya, kami sepertinya berada dalam kepungan arus laut yang dasyat disertai hujan yang belum juga redah. Atas saran beberapa penumpang, kapten kapal segera memutar haluan agar posisi kapal berjalan searah dengan arus laut yang masih mengganas.

Beruntung sang kapten mampu mengendalikan kapal yang kami tumpangi sehingga luput dari ancaman bahaya. Meskipun fasilitas yang disediakan oleh kapal cukup lengkap seperti live jacket, namun siapakah yang menjamin bahwa kami akan selamat bila kapal benar-benar celaka? Maklum, sebagian penumpang tidak pandai berenang. Apalagi di saat-saat genting begini pikiran dan perasaan kami tentu saja takut dan cemas lebih-lebih mengingat ceritra-ceritra piluh tentang beberapa kejadian tragis di perairan TNK.
Mungkin itu pula yang menjadi pertimbangan sang kapten untuk memutar haluan daripada mengambil resiko yang tak perlu. Kapal lalu berbalik arah melewati selat Kelor dan Kukusan. Memasuki kawasan ini, hujan dan badai tampak perlahan-lahan redah dan menjauh. Gelombang dasyat dan angin kencang mulai redah. Wajah-wajah yang lesuh dan panik pun pelan-pelan kembali ceria.
Kapal Monalisa yang kami tumpangi pun terus melaju menuju perairan Pulau Rinca dan Papagarang. Di mana kawasan di perairan ini cukup bersahabat. Beberapa kru kapal berceritra, kalau terjadi hujan dan badai di kawasan Sebayur dan sekitarnya maka banyak kapal yang memilih untuk melewati kawasan ini karena kenyamaman lebih terjamin.
Memasuki kawasan Batu Tiga yang terkenal dengan arusnya yang deras, kali ini kondisinya relatif tenang. Kapal yang kami tumpangi pun melaju hingga memasuki kawasan pink beach, salah satu pantai terindah yang paling diganduringi para wisatawan. Biasanya, setiap hari pantai ini sangat ramai dikunjungi. Namun, hari itu, pantai berpasir merah dilatari perbukitan hijau dikala hujan dan gersang di musim panas ini tampak sepi. Hanya sejumlah pondok kuliner berdiri berjejer di sepanjang pantai itu.
Pantai yang selama musim turis biasa dijejali banyak pengunjung itu, kali ini tampak sepih. Hanya desiran ombak kecil memecah pantai. Beberapa ekor rusa terlihat tidur-tiduran di pantai nan cantik itu, seolah rusa-rusa tersebut ingin menikmati sensasi pantai berpasir merah, tempat para wisatawan melepaskan lelah.
Keesokan harinya, sebuah kapal cruise tiba di Loh Liang. Kapal bernama Regatta membawa ratusan penumpang yang berasal dari sejumlah negara. Seperti biasa, wisatawan didampingi para pemandu wisata menelusuri jalan setapak menuju beberapa spot untuk menyaksikan binatang purba komodo.

Beberapa waktu kemudian hujan turun dengan derasnya. Ratusan wisatawan tersebut harus memakai mantel dan sebagian lainnya terpaksa kehujanan. Para tamu itu seolah tak peduli. Dari wajah mereka tampak ceria menikmati perjananan wisata ini. Saat komodo melintas, mereka segera mengabadikannya dengan kamera mereka masing-masing. Tak hanya itu, mereka pun berselfi-ria bersama komodo, tentu dengan penjagaan ketat oleh petugas jagawana.
Para wisatawan yang dibagi dalam beberapa grup menyusuri jalan setapak, memasuki hutan belukar di tengah guyuran hujan di kawasan Loh Liang, Pulau Komodo. Setiap grup menghabiskan waktu sekitar 1,5 jam perjalanan hingga kembali ke area semula di pesisir Pantai Loh Liang.
Di area pantai ini tersedia berbagai jenis kuliner dan barang dagangan seperti souvenir, patung komodo, pakaian dan barang dagangan lainnya. Para wisatawan dipersilakan untuk berbelanja sesuai dengan minat dan kebutuhan masing-masing. Namun banyak pula wisatawan yang memilih untuk langsung kembali ke kapal.
Usai para tamu kembali ke kapal, kami pun beranjak naik ke kapal untuk melanjutkan perjalanan kembali pulang ke Labuan Bajo. Tak lama kemudian, Kapal Monalisa yang kami tumpangi menarik jangkar dan perlahan-lahan meninggalkan germaga. Perjalanan pulang kali ini terasa lebih nyaman.
Sore itu, langit di kawasan TNK sangat cerah. Secerah hati kami usai menikmati keindahan panorama alam Loh Liang. Sepanjang jalan pelayaran pulang, arus dan gelombang tampak tenang. Hujan dan badai seolah sudah berlalu. Pergi entah ke mana.
Kapal Monalisa pun terus meluncur mulus hingga merapat di dermaga kayu Kampung Tengah. Kami pun tiba kembali dengan selamat. Puji syukur kepada Sang Pencipta, hujan dan badai telah berlalu.*[Kornelis Rahalaka]