Mengintip Rantai Oligarki di Labuan Bajo, 17 Pulau Riung dan Taman Laut Teluk Maumere
Oleh : Heribertus Ajo *

Barusan viral dan heboh tentang Raja Ampat, mirip seperti hebohnya demonstrasi melawan korporasi TNC dan PT Flobamor di Labuan Bajo beberapa waktu yang lalu. Sebuah cerminan yang amat jelas tengah terbentang di hadapan kita.
Kita menyaksikan kerakusan tambang nikel yang mencengkeram Raja Ampat, Papua Barat Daya, sebuah kawasan konservasi yang selama ini dikenal sebagai simbol keindahan dan keanekaragaman hayati dunia.
Atas nama investasi, wilayah yang dulu dijaga dengan penuh kehati-hatian kini perlahan tergerus. Apa yang terjadi di Raja Ampat bukan sekadar pelanggaran ekologis, tetapi juga bentuk pemaksaan kehendak yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Antara Raja Ampat dan Flores, terbentang benang merah yang tak bisa diabaikan: logika pembangunan yang lebih berpihak pada elite ekonomi dan politik dibandingkan pada keberlanjutan dan keadilan sosial.
Labuan Bajo, dengan label “Destinasi Super Premium”, menjadi contoh nyata. Slogan itu tidak lahir dari proses partisipatif masyarakat, melainkan muncul dari kebijakan top-down yang sarat kepentingan politik dan bisnis.
Bahkan jauh sebelum slogan itu digaungkan, berbagai perusahaan sudah mulai melirik dan mencoba masuk ke dalam pengelolaan Taman Nasional Komodo (TNK). Mereka datang membawa narasi manis: ingin menjadikan konservasi lebih profesional, lebih hebat. Namun masyarakat lokal mampu membaca yang tersembunyi: yang sesungguhnya hendak dikendalikan bukanlah konservasi itu sendiri, melainkan ruang dan aliran ekonomi wisata.
Kasus kerja sama pemerintah dengan entitas seperti TNC, Putri Naga Komodo dan PT Flobamor sempat memantik reaksi keras. Aksi demonstrasi masyarakat adalah bentuk perlawanan terhadap upaya-upaya terselubung tersebut. Namun seperti pola yang jamak di berbagai tempat lain, ketika perlawanan muncul, strategi berubah: perubahan tata ruang dijadikan pintu masuk yang legal untuk melanggengkan kepentingan investasi.
Ironisnya, dalam retorika para pemegang kekuasaan, semua ini tetap dibingkai sebagai pembangunan yang “berwawasan lingkungan.” Namun di lapangan, konservasi sejati justru digantikan oleh semangat developmentalis—pembangunan yang abai terhadap daya dukung lingkungan dan hak masyarakat lokal.
Jika perubahan tata ruang disahkan tanpa transparansi dan akuntabilitas, maka konservasi yang selama ini melindungi ruang hidup rakyat akan lenyap. Kawasan konservasi tak lagi menjadi benteng ekologis, melainkan berubah menjadi ladang bisnis yang bisa dinegosiasikan nilainya. Inilah wajah baru penjajahan: berkedok legalitas, disahkan oleh regulasi dan dibungkus dalam narasi nasionalisme.
Kalau keteguhan melawan peran busuk dari kasus semacam ini kita pegang teguh maka kelak kita mungkin akan menyaksikan figur-figur yang sebelumnya tampil sebagai “penyelamat pembangunan” mulai memperlihatkan wajah aslinya atau setidaknya selubung topeng akan bisa tersingkap dengan sendirinya. Mereka datang membawa program, investasi dan janji kesejahteraan. Namun di balik senyum mereka tersembunyi jaringan kepentingan yang siap mencengkeram.
Taman Nasional Komodo sudah mengalami pengelaman ini namun masih terbuka beberapa kerawanan ke depan. Kawasan Konservasi lain seperti taman Laut 17 Pulau Riung dan teluk Maumere juga adalah target berikutnya. Saya mendapat beberapa informasi bahwa sudah ada tanda tanda pengkaplingan beberapa wilayah di Riung dan Maumere.
Ketiganya menyimpan potensi wisata dan sumber daya alam yang tinggi, namun juga sangat rentan untuk dijadikan komoditas investasi. Bila ketahanan sosial masyarakat lemah, bila suara adat dibungkam dan bila agama tidak difungsikan sebagai kekuatan moral yang kritis, maka kehancuran tinggal menunggu waktu.
Melawan wabah kerakusan investasi seperti ini tidak bisa hanya mengandalkan jalur hukum atau prosedur administratif. Ia memerlukan kekuatan sosial dan budaya yang kokoh. Kita butuh langkah bersama yang berpijak pada prinsip keadilan, keberlanjutan dan keberpihakan terhadap rakyat kecil.
Tatanan adat harus diperkuat. Pemerintah lokal harus berpihak kepada rakyat, bukan tunduk pada tekanan pemodal. Lembaga-lembaga keagamaan:gereja, masjid, pura, klenteng harus menjadi pelita pencerdasan umat, bukan sekadar tempat ibadah ritualistik. Nilai-nilai iman harus bersuara lantang: membela tanah air, melindungi sesama dan melawan kerakusan yang berselubung wajah malaikat.
Jika kita gagal membangun kesadaran kolektif dan membiarkan janji-janji kesejahteraan memecah belah solidaritas rakyat, maka kita sedang menyerahkan tanah ini untuk dimangsa oleh kekuatan yang tak mengenal belas kasihan. Mereka datang dengan seribu wajah—kadang sebagai proyek wisata, kadang dalam skema konservasi dan di waktu lain sebagai penyelamat ekonomi lokal.
Namun jika kita tidak waspada, semua itu hanyalah topeng dari kerakusan. Kita harus dapat mendektsi mana investor yang baik dan mana yang busuk.Maka, mari kita jaga tanah ini. Jaga ruang hidup kita. Jaga masa depan anak cucu kita. Flores bukan untuk dijual, tetapi untuk dinikmati oleh anak cucu Flores.
Penulis adalah Dosen praktisi di Program Studi Ekowisata Politeknik Cristo Re Maumere. Pernah mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) di Amerika Serikat dalam tema Economic, Tourism and Environment Protection