OPINI

Kampanye Pangan Lokal

Oleh : Yulius Rudi Haryatno*

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak pangan lokal. Hampir di setiap daerah, dari Sabang sampai Merauke ada banyak jenis pangan lokal. Sebut saja talas, jagung, sagu, pisang, singkong, dan masih banyak lagi.

Namun, ironisnya, di tengah kelimpahan pangan lokal seperti itu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut, Indonesia tengah mengalami ancaman krisis pangan sebagai dampak dari perubahan iklim (bmkg.go.id, 7 Juli 2023).

Salah satu daerah yang memgalami krisis pangan adalah NTT. Dalam pemberitaan Kompas (13/03/2023), NTT disebut tidak baik-baik saja, karena mengalami krisis pangan, beras. Pada titik ini, beras menjadi tumpuan pangan utama di NTT. Karena itu, ketika mengalami gagal panen, NTT yang berkelimpahan pangan lokal berada dalam situasi “yang tidak baik-baik saja”.

Keberadaan beras yang hadir sejak orde baru seakan berhasil mengabaikan keberadaan jenis pangan lokal yang melimpah ruah. Jika pangan lokal tidak diabaikan sebagai sumber asupan karbohidrat di NTT, mungkin krisis beras tidak menjadikan NTT “tidak baik-baik saja”, sebagaimana diberitakan Kompas.

Tulisan ini menyoroti upaya membangun kesadaran masyarakat untuk tidak mengabaikan pangan lokal. Saya akan mengambil lokus daerah Manggarai sebagai salah satu daerah di NTT yang bisa menjadi pintu masuk untuk membangun kesadaran dan kampanye akan pentingnya membudidaya dan mengonsumsi pangan lokal. Mengapa Manggarai? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita akan melihat terlebih dahulu pemaknaan atas jenis pangan lokal.

Pemaknaan atas Jenis Pangan 

Sudah sejak zaman pra kolonial, masyarakat Manggarai mengonsumsi pangan lokal seperti umbi-umbian, pisang, dan jagung. Pisang dan jagung mungkin muncul kemudian saat masa kolonial. Pangan lokal yang banyak dikenal dan dikonsumsi pada zaman prakolonial adalah mbutak, jenis umbi-umbian yang tumbuh liar di hutan.

BACA JUGA:  Mgr. Budi Kleden: Jawaban Doa Umat dan Perutusan Baru (2)

Pengolahannya membutuhkan waktu lama, mulai dari pencariannya di hutan, direndam dalam air, kemudian dijemur. Setelah dijemur, baru bisa diolah atau direbus untuk dikonsumsi. Namun, jenis pangan lokal umbi-umbian itu sudah tidak dikonsumsi lagi karena proses pembuatannya membutuhkan waktu yang lama.

Di luar itu, pangan lokal seperti jagung, pisang dan umbi-umbian masih eksis sampai sekarang. Namun, sebagaimana dalam catatan di Kompas, pangan lokal mengalam inferioritas. Pangan lokal tidak lagi menjadi pilihan utama untuk dikonsumsi. Saat acara-acara akbar di kampung-kampung dan bahkan saat menerima tamu, pangan lokal bukan menjadi pilihan utama masyarakat Manggarai untuk dikonsumsi. Peserta pesta dan tamu di rumah selalu dihidangkan dengan pangan modern, seperti nasi. Keberadaan pangan lokal seakan dinafikan oleh kehadiran beras.

Keberadaan pangan lokal yang tidak diperhitungkan dalam ranah konsumsi terjadi karena jenis pangan juga mempunyai makna sosial dan budaya tertentu. Jenis pangan yang dikonsumsi memberi status sosial dan nilai budaya tersendiri. Misalnya, konsumsi nasi menandakan status ekonomi dan posisi sosial yang diperhitungkan. Sedangkan hidangan pangan lokal dianggap terbelakang secara ekonomi dan sosial. Lebih jauh, hidangan pangan modern – seperti nasi – kepada tamu, lebih dilihat sebagai tanda hormat dan respek terhadap tamu, daripada hanya menghidangkan pangan lokal. Karena itu, pangan modern selalu menjadi pilihan utama dalam menerima tamu dan dalam acara apapun di Manggarai.

BACA JUGA:  Mengukur Kualitas Debat Pilpres: Rasionalitas dan Etika

Dalam kacamata kritis, nilai-nilai atau makna-makna yang dibawa oleh jenis pangan di atas hanya merupakan hasil konstruksi masyarakat sendiri. Dalam paham konstrukvisme, makna itu dibangun oleh oleh masyarakat secara arbitrer. Tidak ada dalil dasar atau referensi budaya lokal yang memberikan makna status sosial dan moral terhadap jenis pangan. Karena itu, makna atau perspektif yang berakibat pada peminggiran pangan lokal di atas perlu didekonstruksi agar eksistensi pangan lokal semakin diperhitungkan.

Harapan Akan Pangan Lokal

Meskipun pangan lokal tidak menjadi pilihan utama dalam ranah konsumsi, tidak serta merta mematikan semangat para petani Manggarai untuk terus melestarikannya. Di daerah dataran tinggi, kita masih bisa menyaksikan beberapa jenis tanaman pangan lokal, seperti pisang dan umbi-umbian.

Di Watu Langkas, Desa Nggorang, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat misalnya, pangan lokal masih terlihat pada lahan-lahan warga. Pangan lokal yang paling banyak adalah umbi-umbian dan pisang. Pangan lokal ini sengaja ditanam, selain bernilai ekonomi (dijual ke pasar), juga untuk dikonsumsi.

BACA JUGA:  Geopark Kelimutu Memperkuat Promosi Wisata Ideologi

Semangat para petani yang masih menjaga eksistensi tanaman pangan lokal, patut mendapat apresiasi. Apa jadinya jika para petani tidak menyediakan lahannya untuk ditanami umbi-umbian, pisang dan jagung? Tanaman pangan lokal hanya akan menjadi kenangan. Pada titik ini, negara yang menyerukan ancaman krisis pangan mesti kembali memberdayakan dan menggaungkan wacana terkait pentingnya pangan lokal. Pangan lokal harus dilihat sebagai pangan utama untuk dikonsumsi, bukan hanya nasi.

Momen pengembangan pariwisata super premium di Labuan Bajo, Manggarai Barat merupakan momen apik dalam mengampanyekan pentingnya budidaya dan konsumsi pangan lokal. Momen yang dimaksud terpresentasi melalui banyak kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah serta lembaga Gereja untuk mempromosikan pariwisata Labuan Bajo.

Kegiatan-kegiatan seperti festival yang sering dilakukan beberapa tahun terakhir sejatinya menjadi momen untuk membangun kesadaran atas keberadaan pangan lokal hari ini. Pangan lokal, misalnya, diwajibkan sebagai menu pilihan utama dalam pameran-pameran UMKM. Atau, pemerintah pusat dan daerah membuat sebuah festival khusus bertema “pangan lokal”. Cara ini menjadi kampanye bagi pentingnya pangan lokal. Bukan dengan siaran pers tentang krisis pangan. *

Penulis adalah Pengajar di Fakutas Teknologi, Informasi dan Komunikasi Institut Teknologi dan Bisnis Kristen Bukit Pengharapan Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button