SOSOK

Ketua PHRI Mabar Silvester Wanggel, Siap Berbakti untuk Kepentingan Bersama

FLORESGENUINE.com– Sosok yang satu ini, sudah tak asing lagi bagi sebagian warga Kota Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat. Dunia pariwisata telah ia geluti selama puluhan tahun, jauh sebelum gegap gempita pembangunan pariwisata di kota ini dilakukan secara masif.

Sebagai seorang yang telah lama bergelut di dunia pariwisata, bapak tiga anak bernama lengkap Silvester Wanggel, S.Kom ini boleh dibilang sudah malang melintang dan banyak ‘makan garam’ di dunia kepariwisataan. Pengalaman dan pengetahuannya  yang luas mengenai pariwisata membuat dirinya kerap diundang menjadi nara sumber atau pembicara di berbagai kesempatan.

Pria kelahiran Satar Mese ini memulai karirnya dari bawah. Setelah menamatkan Sekolah Kejuruan di SMK Sadar Wisata Ruteng, ia menetap di Labuan Bajo dan bekerja menjadi guide atau pemandu wisata untuk beberapa waktu lamanya, hingga diangkat menjadi manajer disejumlah hotel. Belakangan, ia pun dipilih menjadi Ketua Perhimpunan Hotel dan Restauran Republik Indonesia (PHRI) Cabang Manggarai Barat.

Selain menjadi pimpinan PHRI, ia dipercaya menjadi Direktur Utama Ecolodge di Moni, Kabupaten Ende dan Ecolodge di Ceko Nobo, Manggarai Barat. Berkat kerja keras dan perjuangan ia berhasil membangun sebuah hotel yang diberi nama Hotel Sesilia yang terletak di Wae Sambi, Desa Batu Cermin, Labuan Bajo.

Ditemui Floresgenuine pada Selasa, {12/12/2023) lalu, Sil demikian ia biasa disapa berceritra panjangan lebar mengenai perjalanan hidup dan suka duka dunia pariwisata di wilayah ini. Dunia pariwisata bagi Om Sil merupakan dunia yang mengalami perkembangan paling cepat dibandingkan dengan bidang lainnya.

“Zaman sekarang, banyak sekali kemudahan-kemudahan yang didapatkan oleh mereka yang bergerak di dunia usaha pariwisata dibandingkan zaman dulu,”ujarnya.

Perkembangan teknologi sudah sangat luar biasa. Izin-izin usaha sangat mudah dan hanya dalam hitungan menit izin usaha apa saja sudah bisa diterbitkan oleh pemerintah. Ini salah satu dampak kemajuan itu. Namun, bagi Om Sil, kemajuan teknologi saat ini bukan tanpa membawa dampak negative atau dampak buruk bagi perkembangan dunia pariwisata kita.

Banyaknya investasi yang masuk ke daerah ini, di satu sisi memang sangat membantu masyarakat local seperti penyerapan tenaga kerja yang berdampak langsung atau tidak langsung bagi perbaikan dan peningkatan ekonomi masyarakat, peningkatan pendapatan daerah (PAD) termasuk untuk devisa negara, namun  serentak memicu berbagai konflik seperti konflik tanah, pelanggaran hukum atau aturan yang berlaku dan lain sebagainya.

“Kalau kita mau jujur, banyak bangunan, entah perhotelan atau reatauran yang melanggar aturan seperti melanggar sepadan pantai dan merusak ekologi dan lingkungan hidup,” ungkap Silvester yang juga aktivis lingkungan hidup ini.

BACA JUGA:  Kopi Flores dan Pemberdayaan Petani

Bagi Silvester, semua fasilitas pendukung pariwisata yang dibanun secara massif di wilayah ini bukan tanpa dampak negative bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Namun, terkadang kita tidak punya kemampuan untuk menyikapi semua persoalan yang terjadi karena keterbatasan sumber daya manusia dan teknologi.

Apalagi banyak kemudahan yang diberikan oleh pihak berwenang dalam hal ini pemerintah seperti pemberian izin-izin pembangunan fasilitas pendukung pariwisata. Untuk mendirikan bangunan hotel atau restaurant misalnya, sekarang ini bisa dilakukan secara online sehingga memudahkan para investor untuk menanamkan modalnya di wilayah ini.

“tak heran, tiba-tiba kita lihat sudah ada hotel atau restaurant yang dibangun di suatu lokasi tanpa kuta tahu apa sudah ada izin atau belum, sesuai aturan atau melanggar aturan,”ujarnya.

Sementara, kewenangan Pemerintah daerah (Pemda) juga sangat terbatas atau dibatasi seperti hanya untuk mengurusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) tanpa memiliki kemampuan untuk melakukan pengawasan dan kontrol terhadap seluruh proses pembangunan di daerah ini.

Kondisi demikian, tak terlepas dari adanya peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti undang-undang ketenagakerjaan yang memberikan akses dan keleluasaan kepada para pengusaha, koorporasi atau individu untuk berinvestasi di sutau wilayah.

Meskipun banyak kemudahan yang diperoleh namun, dibalik kemudahan-kemudahan ini masih tersimpan banyak kelemahan, tantangan dan masalag yang mesti harus dicarikan jalan keluar terbaik. Sebab, tak jarang, banyak pelanggaran dilakukan, tetapi pemerintah daerah seakan tak berdaya untuk mengatasinya lantaran tak punya kewenangan atau kemampuan untuk mengontrol dan mengawasi setiap aktivitas pembangunan.

Contoh sederhana, ada resort yang dibangaun di atas laut. Banyak masyarakat protes. “Kok mereka bisa bangun di atas laut, kenapa kita tidak boleh,”.

Praktik pembangunan seperti ini tentu saja memunculkan kecemburuan social dan diskriminatif. Ada pula hotel yang dibangun sudah sekian tahun tapi belakangan tiba-tiba pemerintah menyatakan ada melanggaran karena hotel itu dibangun di area sepandan pantai atau menyalahi aturan tata ruang wilayah.

“Kenapa pada saat awal dibangun, pemerintah diam saja, tidak mencegah atau melarang. Setelah bangun, baru pemerintah bilang ada pelanggaran dan melarang?”tanya Sil dengan nada retoris.

Sebagai contoh, beberapa tahun lalu pemerintah secara tiba-tiba menertibkan belasan hotel yang disinyalir melanggar aturan dan tata ruang kota. Ketika pemilik hotel menggugat ke pengadilan, pemerintah kemudian dinyatakan kalah. Ini akibat dari lemahnya tata kelola pemerintahan di daerah ini. Jika bangunan itu masih bermasalah, pemerintah mestinya tidak keluarkan IMB atau memberikan izin usaha lainnya.

BACA JUGA:  Agustinus Hama : Berkomitmen Perjuangkan Kepentingan Rakyat

Untuk memajukan suatu daerah tentu saja daerah itu membutuhkan adanya investasi dan pasar. Namun, peran pemerintah daerah dan DPRD sebagai wakil rakyat menjadi sangat penting guna memastikan investasi berjalan baik dan agar pembangunan apapun di daerah ini tidak berdampak pada mengorbankan masyarakat kecil dan lingkungan hidup.

Pembangunan pariwisata di daerah ini terus masif namun sejak Manggarai Barat menjadi daerah otonom, pemerintah dan DPRD baru menghasilkan satu Peraturan daerah (Perda) yakni Perda tentang olahraga air. Perda ini pun disinyalir hanya copi paste dari daerah lain sehingga tidak diimplementasikan secara efektif. Padahal, menurut Sil. daerah ini sangat kaya akan destinasi wisata, bukan hanya wisata alam dan budaya tetapi juga wisata tirta seperti arum jerami, diving, snorkeling liverboard dan lain-lain.

Pemerintah juga belum membuat Perda tentang retribusi moda angkutan laut atau perairan seperti kapal-kapal wisata yang menyediakan kamar bagi para wisatawan termasuk retribusi parkir di pelabuhan. Sil memprediksi jika semua potensi yang kita miliki ini digali dan diberdayakan maka mimpi pemerintah untuk meningkatkan PAD hingga Rp1,4 Triliun per tahun bukan suatu yang mustahil untuk dicapai.

Di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) saja misalnya, pemerintah daerah hanya menjadi penonton. Padahal, pemerintah daerah melalui undang-undang otonomi daerah punya posisi tawar yang tinggi untuk bisa berkolaborasi dengan pihak pengelola TNK untuk bersama-sama mengelola TNK.

Seperti PT Flobamora yang kini beroperasi di TNK adalah milik pemerintah propinsi. Pemerintah daerah Mabar mestinya dapat mengambil bagian dalam pengelolaan TNK dan bukan hanya sebagai penonton semata. Pemda dan BTNK dapat membangun bekerja sama dengan melahirkan berbagai regulasi.

“Ruang itu ada yakni  UU Otonomi Daerah, tapi justru ruang ini tidak dimanfaatkan oleh Pemerintah daerah dan DPRD untuk terlibat aktif dalam pengelolaan TNK,”kritik Sil.

Terkait pengelolaan TNK, Sil berpendapat bahwa TNK bisa dikelola oleh daerah hanya saja Pemda tidak punya kemampuan untuk kelola sendiri sehingga dikelola oleh TNK. Padahal, Pemda bisa ambil alih untuk kelola sendiri TNK. Tinggal, bangun mekanisme dan skema bagi hasil misalnya, sehingga dengan begitu, Pemda tidak terus menerus mengemis uang ke pemerintah pusat.

Ia memberi contoh, Kabupaten Badung, Provinsi Bali yang mampu memajukan pembangunan di daerah itu tanpa terlampau bergantung pada pemerintah pusat. Lihat saja, pendapatan asli daerah Badung bisa mencapai Rp3 Triliun per tahun. Karena PAD-nya tinggi, Kabupaten Badung bisa mandiri dan tidak terlalu bergantung pada bantuan dari pemerintah pusat karena mereka sendiri sudah mampu berdiri sendiri. Hal ini dapat dilakukan di daerah ini. Jika pemerintah daerah mampu mengelola asset-aset yang ada, ia yakin daerah ini mampu menggajii para PNS dan memfasilitasi pembangunan untuk kemajuan daerah ini.

BACA JUGA:  Jelang Kegiatan HDCM RI-RRC di Labuan Bajo, Polres Mabar Gelar Patroli Malam

Contoh lain, guna meningkatkan PAD, Pemerintah Manggarai Barat dibawah kepemimpinan Edi-Weng tidak harus menetapkan NJOP tanah yang tinggi sehingga memberatkan masyarakat. Sementara masih banyak upaya lain yang bisa dilakukan untuk mendongkrak PAD seperti menerbitkan IMB massal bagi penduduk kota Labuan Bajo.

“Hitung saja, berapa ribu rumah di kota ini yang butuh IMB. Pemerintah bisa buat program penerbitan IMB massal bagi warga kota, nanti masyarakat tinggal membayar. Tapi kalau tunggu masyarakat yang inisiatif untuk urus IBM, jangan banyak berharap,” ujarnya.

Persoalan-persoalan di atas menurut Sil mesti diselesaikan oleh pemerintah dan DPRD Mabar. Selain persoalan yang berkaitan dengan masalah ekologi seperti sampah dan limbah. Sil meyakini, masih banyak hotel dan restaurant yang belum lolos uji kelayakan baik kelayakan bangunan seperti bestek, standar SNI, syarat pengelolan limbah, emisi karbon yang memicu pemanasan global dan lain-lain.

Menurut Sil, pemanasan global yang terjadi juga akibat dari emisi karbon. Semakin banyak hotel dibangun dan kendaraan yang menggunakan energy fosil akan semakin memicu dampak perubahan iklim. Air limbah yang dibuang sembarang tanpa daur ulang, merupakan persoalan sepele tetapi sangat berdampak buruk bagi manusia dan lingkungan.

Semua persoalan di atas juga yang mendorong Om Sil untuk terjun ke dunia politik praktis, Kini, ia mencalonkan diri sebagai salah satu calon anggota legislative (Caleg) dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Ia bertekad mengabdikan diri untuk kepentingan rakyat. Ia ingin berjuang untuk menyuarakan persoalan-persoalan yang dihapai rakyat terutama dibidang pariwisata yang makin timpang dan merugikan masyarakat lokal.

“Saya punya satu komitmen, berbakti untuk kepentingan bersama,”ujarnya.

Slogan ini pula yang menjadi branding kampanye pada pemilu anggota legislatif pada pemilu 2024 mendatang. Dengan masuk menjadi wakil rakyat, Sil yakin dapat memperjuangkan kepentingan rakyat. Ia ingin agar pariwisata Labuan Bajo, Manggarai Barat berkembang lebih baik, lebih beradab dan lebih berbudaya. [kis/fg]

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button