SOSOK

Elsye Pranda dan Pesona Tenun Ikat Mata Manuk

Oleh Kornelis Rahalaka [Labuan Bajo]

Siang yang terik. Suasana di gedung berlantai dua itu tampak sepih. Di pojok kiri rumah bercat putih itu, sebuah galeri tenun baru selesai dibangun. Di ruangan berukuran sekitar 4 x 5 itu terpajang berbagai jenis tenun ikat, hasil karya ibu-ibu dari sejumlah kampung di Manggarai Barat. Ada sarung, selendang, tas, jas, baju kemeja dan beberapa asesoris tenun lainnya.

“Tempat ini saya bangun untuk tempat jualan tenun ikat mata manuk,” ujar Maria Elisabeth Pranda,istri mendiang Bupati Manggarai Barat periode 2005-2010, Wilfridus Fidelis Pranda.

Mama Elsye, demikian ibu empat anak ini biasa disapa, kini ia lebih banyak menghabiskan waktunya bersama anak dan cucu-cucunya di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Selama mendampingi suaminya sebagai Bupati Manggarai Barat, Mama Elsye telah banyak berkontribusi untuk kemajuan daerah ini.

Pahit getir kehidupan di masa-masa awal sebagai pemimpin Manggarai Barat mereka lalui dengan penuh tawakal. Maklum, saat itu Manggarai Barat baru saja dimekarkan sebagai sebuah daerah otonom baru, lepas dari kabupaten induknya Manggarai. Kondisi Manggarai Barat umumnya, dan kota Labuan Bajo khususnya, belum seperti sekarang ini. Pada periode awal yakni 2003 sampai 2010, keadaan Manggarai Barat masih seperti kampung besar yang penuh dengan beragam masalah. Mulai dari masalah infrastruktur yang belum tersedia seperti jalan, listrik, air minum hingga telekomunikasi.

Boleh dibilang kondisi umum Manggarai Barat masih morat marit dan tak terurus. Realita ini mau tidak mau, harus dihadapi oleh pemerintahan dan masyarakat dibawah kepemimpinan Fidelis Pranda. Meskipun menjabat kurang lebih enam tahun, (satu tahun sebagai penjabat bupati dan lima tahun sebagai bupati defenitif-Red), namun kiprah Fidelis Pranda dan Mama Elsye selaku Ketua Penggerak PKK patut diapresiasi.

Banyak fasilitas publik dibangun terutama membuka akses jalan di wilayah-wilayah yang masih terisolir baik jalan antar kecamatan maupun antar kampung dan desa. Dalam kurun waktu yang relatif singkat itu, Bupati Pranda telah meletakan dasar-dasar pembangunan di mana karya-karyanya hingga kini masih dinikmati oleh masyarakat Manggarai Barat.

Sebagai istri bupati sekaligus Ketua Penggerak PKK, Mama Elsye telah berkontribusi signifikan untuk memajukan daerah ini. Banyak program kegiatan yang ia lakukan bersama para ibu penggerak PKK di seluruh pelosok Manggarai Barat. Bersama bupati, ia keliling dari kampung ke kampung, bertemu dengan warga untuk memberi motivasi dan pendampingan terutama kaum ibu di berbagai bidang usaha seperti  usaha sayur mayur, ternak hingga ibuibu yang bergerak dibidang tenun ikat.

Semasa menjadi Ketua penggerak PKK, Mama Elsye banyak membidani terbentuknya banyak komunitas. Selain kelompok dasawisama dan PKK juga membentuk kelompok tenun ikat dan budidaya tanaman hortikultura. Berkat dedikasi dan pengorbanan yang ia berikan, sejumlah prestasi gemilang diraihnya dalam rentangan waktu yang singkat.

“Selama saya ketua PKK, kami pernah mendapat penghargaan baik di tingkat regional juga nasional. Selama saya menjadi ketua PKK, aktivitas kami memang sangat banyak. Padahal, anggaran saat itu sangat terbatas. Tapi PKK sangat hidup dan bergairah. Saya turun langsung ke kampung-kampung mendampingi petani dan kelompok ibu-ibu penenun,”ceritra Mama Elsye dengan mata berkaca-kaca, mengenang kembali masa-masa sulit kala itu.

Berkat kedekatan dengan masyarakat dengan sering turun ke bawah, ke kampung-kampung dan desa, mama Elsye bersama suaminya sering diundang oleh masyarakat untuk menghadiri berbagai acara pesta atau kedukaan seperti acara pernihakan, sambut baru atau pun kematian. Mama Elsye dan suaminya nyaris tak pernah alpa mengahdiri setiap undangan, bilamana tak ada halangan.

BACA JUGA:  Agustinus Hama : Berkomitmen Perjuangkan Kepentingan Rakyat

“Kami hampir tak pernah tinggal di rumah. Kami selalu turun ke masyarakat. Kika tak ada halangan, kami pastikan hadir. Bapak memang kehidupan kemasyarakatannya luar biasa. Saya pun termotivasi oleh gaya hidupnya. Meskipun ia telah tiada, tetapi spirit hidupnya tetap memotivasi saya untuk terus menjalani sisa hidup saya,”ujarnya dengan nada sedih.

Jejak-jejak karya Mama Elsye masih dapat ditemukan di pelosok Mabar. Meskipun telah lama pensiun dari urusan pemerintahan, namun jejak karyanya masih terpeliharan sampai sekarang. Mama Elsye masih mendampingi sejumlah komunitas tenun di Kampung Perang, Desa Ponto Ara, Kecamatan Lembor. Kampung ini termasuk salah satu kampung tenun terkenal di Mabar. Di tempat ini aktivitas menenun masih terus berjalan karena sudah merupakan warisan para leluhur. Berkat pendampingan dan ketekunan ibu-ibu penenun, komunitas ini pernah meraih prestasi gemilang di tingkat nasional.

Prestasi lain yang tak kalah gemilang yakni mewakili Propinsi NTT dalam ajang kejuaraan nasional tentang tatalaksana PKK desa. Kala itu PKK Desa Golo Desat, Kecamatan Sano Nggoang mewakili kejuaraan tingkat nasional dengan menerima sejumlah penghargaan bergengsi di Jakarta. Berbagai raihan prestasi tidak lalu membuat Mama Elsye berpuas diri atau berhenti berkarya untuk daerah Manggarai Barat.

Di usia senja, Mama Elsye masih terus berkarya. Selain menjalani aktivitas rutin sebagai ibu rumah tangga, ibu empat anak ini masih rela turun ke kampung-kampung. Selain mendampingi komunitas di Kampung Perang, ia juga mendampingi sekelompok perempuan penenun di Kampung Pusut, Desa Nampar Mancing, Kecamatan Sano Nggoang.

Terkadang Mama Elsye relah merogoh uang pribadinya guna memfasilitasi kegiatan para penenun. Ia kerap menyumbangkan uang untuk membeli benang atau fasilitas lain yang dibutuhkan para penenun. Hasil karya mereka kemudian ia ambil untuk dijual ke pasar atau dipajangkan di galeri miliknya yang terletak di Golo Koe, Labuan Bajo.

Nama Mama Elsye masih sangat familiar di tengah masyarakat Manggarai Barat. Tak heran, ia sering diundang untuk hadir sebagai nara sumber atau pembicara diberbagai acara, baik di lembaga pemerintahan pun kalangan aktivis sosial. Belakangan Mama Elsye mengaku ia ditawarkan untuk terlibat dalam dunia politik.

“Beberapa kali saya diminta oleh orang-orang partai untuk bergabung dan maju menjadi caleg. Saya bilang, waduh, saya ini sudah tua. Cukup kamu yang masih muda-muda saja,”ujarnya dengan senyum yang khas. Meskipun menolak terjun ke dunia politik praktis, namun belakangan, hatinya luluh juga dan bersedia menerima tawaran menjadi salah satu calon anggota legislatif (Caleg) dari Partai Demokrat.

Hak Paten Tenun Ikat Mata Manuk, Karya Fenomenal Mama Elsye Pranda

Salah satu karya fenomenal Mama Elsya adalah perjuangan Mama Elsye sampai mendapatkan hak cipta atau hak paten tenun ikat khas Manggarai Barat. Perjuangan itu tidak mudah dan melelahkan. Pasalnya, untuk memperoleh hak cipta atau hak paten atas suatu produk tertentu, ternyata tidaklah mudah semudah membalikkan telapak tangan.

Untuk ini, Mama Elsye berceritra panjang lebar, betapa sulitnya memperjuangkan hak paten dari negara untuk sebuah produk. Namun, berkat kegigihan dan perjuangan yang tak kenal lelah, cita-cita Mama Elsye untuk mendapatkan hak patet atas tenun ikat khas Manggarai Barat akhirnya terwujud juga. Hak patet tenun ikat “Mata Manuk” sebagai simbol tenunan Manggarai Barat akhirnya diterbitkan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia. Hak cipta Tenun Ikat Mata Manuk diberikan kepada Mama Elsye Pranda dengan Nomor Hak Cipta 000209325.

BACA JUGA:  Wakapolres Manggarai Barat Diganti Mantan Kasatreskrim Libartino Silaban

Raihan kesuksesan ini membuat Mama Elsye bangga. Ia bangga karena dengan mendapatkan hak paten dari negara, karya ibu-ibu Manggarai Barat ini diakui oleh negara. Untuk memperoleh hak paten memang tidaklah mudah. Diawali dengan permenungan mendalam yang berangkat dari realitas sosial, budaya, ekonomi, politik dan nilai-nilai luhur yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat.

Mengapa Mata Manuk menjadi atau dijadikan sebagai simbol tenun ikat khas Manggarai Barat? Mama Elsye punya ceritra panjang tentang pertanyaan di atas. Mama Elsye sadar, ia bukan orang asli Manggarai Barat, namun ia bersuamikan orang Manggarai Barat maka pilihan mata manuk sebagai simbol tenun ikat khas Manggarai Barat bukan tanpa dasar kajian mendalam.

Menurut Mama Elsye, simbol mata manuk mengandung nilai-nilai filosofis, sosial budaya dan mistis-religius yang tinggi. Inilah yang mendasari, mengapa mata manuk sangat cocok menjadi simbol tenun ikat Manggarai Barat dan layak mendapatkan hak cipta dari negara.

Simbol mata manuk lahir dari pengalaman perjalanan hidup ketika Mama Elsye menjabat sebagai Ketua Penggerak PKK mendampingi suaminya Fidelis Pranda yang menjabat sebagai bupati Manggarai Barat kala itu. Simbol mata manuk merupakan hasil refleksi panjang tentang sebuah pengalaman perjalanan hidup masyarakat Manggarai Barat yang sangat terikat oleh nilai-nilai budaya.

Ia menuturkan, setiap kali berkunjung ke desa, masyarakat Manggarai Barat selalu menyambut kedatangan mereka dengan upacara adat kapu manuk lele tuak. Manuk atau ayam merupakan salah satu unsur penting dalam setiap ritual adat. Manuk itulah yang kemudian menginspirasi  Mama Elsye hingga berjuang meraih hak paten dari negara.

 “Dalam setiap kunjugan, kami selalu diterima secara adat. Ayam adalah salah satu unsur penting dalam ritual itu. Saya lalu mencari tahu lebih mendalam tentang simbol dan makna dibalik ritual adat dan ayam ini,”ujar Mama Elsye.

 Menurut Mama Elsye, mata manuk sangat tepat menjadi simbol tenun ikat khas Manggarai Barat. Pasalnya, dibalik simbol mata manuk, ada pesan-pesan yang bersifat moral spiritual dan mistik juga. Dalam kepercayaan orang Manggarai Barat, kokokan ayam misalnya dapat memberikan tanda atau petunjuk tertentu tentang berbagai fenomena alam serta dunia alam gaib yang tak terjangkau oleh indrawi manusia. Ayam memberikan signal waktu menjelang malam atau menjelang pagi hari.

 Induk ayam misalnya, ia selalu melindungi anak-anaknya manakala ada ancaman bahaya. Insting ayam sangat tajam untuk membaca tanda-tanda alam. Hawan yang satu ini juga mampu memberi tanda, isyarat atau petunjuk terhadap fenomena alam di sekitar kita, entah mendatangkan kebaikan atau pun keburukan. Melalui bunyiannya, seperti berkokok atau berkotek, ayam memberi pesan tertentu kepada anak-anaknya termasuk kepada mansia.

 Pada umumnya, ayam biasa menjaga anak-anaknya hingga berusia dewasa. Ia memberi makan dan setia melindungi anak-anaknya hingga mereka mandiri seperti mampu mencari makan sendiri. Induk ayam baru akan melepaskan anak-anaknya pergi jika anak-anak ayam sudah mencapai usia tertentu atau sudah mampu mencari makan sendiri.

 Insting dan intuisi ayam boleh dibilang sangat tajam yang mampu memberi sinyal atau pesan-pesan tertentu kepada manusia. Ayam tentu mengetahui pasti lingkungan atau tempat tinggalnya. Tidak heran, ayam tidak pernah lupa akan tempat, di mana ia bertelur atau bertengger pada malam hari. Ayam juga biasa digunakan sebagai hewan kurban bagi para leluhur di setiap upacara adat.

 Adapun jenis dan warna ayam juga memiliki makna tertentu dalam kebudayaan masyarakat Manggarai. Ayak berwarna putih merupakan simbol kesucian jawa raga dan niatan tulus dari tuan rumah menyambut kedatangan para tamu. Sedangkan ayam berwarna hitam biasa digunakan tanda penolak bala atau simbol ancaman bahaya bagi kehidupan masyarakat atau komunitas. Warna hitam merupakan simbol duka cita, keburukan atau kutukan. Ayam hitam juga bisa menunjukkan relasi yang terputus antara kekuataan jahat dan kekuatan baik, antara roh yang menyelamatkan dan roh yang mencelakaan.

 Mata manuk juga sebagai simbol kepemimpinan. Mata manuk biasanya lebih tajam dan lebih cermat melihat segala masalah yang terjadi. Ia mudah mendeteksi berbagai hal yang terjadi di sekitarnya. Maka simbol mata manuk diyakini memiliki nilai filosofis dan nilai sosial yang tinggi yakni sebagai perekat hubungan kekerabatan dan persaudaraan antar anggota keluarga atau antar sesama warga.

 Seperti kisah Mama Elsye, proses untuk mendapatkan hak patet mata manuk, berbagai prosedur harus ia lewati. Salah satu kegiatan yang ia lakukan yakni menggelar seminar. Kegiatan itu diselenggarakan pada tahun 2008 silam. Seminar itu dihadiri banyak tokoh baik tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan, tokoh muda dan para akitivis LSM.

BACA JUGA:  Kapal Wisata Jenis Phinisi Tenggelam di Perairan Pulau Padar

Mama Elsye tampil sebagai pembicara tunggal sekaligus selaku inisiator pertemuan. Ceritra Mama Elsye, waktu itu, banyak aspirasi dan masukan disampaikan oleh para peserta. Selain mata manuk, ada sejumlah simbol lain diusulkan oleh sebagian peserta seperti rumah adat, tanduk kerbau, bunga kemiri, gelombang laut dan lain-lain. Simbol-simbol tersebut tentu saja berangkat dari realitas kehidupan sosial budaya masyarakat Manggarai Barat. Namun, forum sepakat merekomendasikan mata manuk sebagai simbol tenun ikat Manggarai Barat.

Usai seminar digelar, aktivitas menenun di beberapa komunitas mulai bergairah menenun dengan mendapat suport penuh dari Mama Elsye yang juga Ketua PKK Manggarai Barat. Beberapa komunitas penenun mulai didorong untuk terus meningkatkan produksi hasil tenun mereka. Dalam kesibukannya mendampingi Bupati Fidelis Pranda, Mama Elsye tak lupa turun ke komunitas-komunitas untuk memberikan motivasi kepada ibu-ibu penenun hingga mereka berkembang dan terus memproduksi kain tenunan mata manuk.

Mama Elsye tidak sebatas mendampingi dari aspek produksinya, tetapi ia juga membantu dalam bidang pemasaran.  Ia sadar, akses pasar adalah salah satu mata rantai yang harus disiapkan dengan baik agar produk mereka laku dipasaran. Untuk itu, Mama Elsye dan anggota terlibat aktif di setiap ajang pameran, baik ditingkat lokal, nasional bahkan internasional.

Beberapa ajang pameran ia melibatkan kelompok-kelompok dampingannya seperti di Jakarta, Bali Kendari dan beberapa tempat lain. Terbaru, ia berpartisipasi dalam ajang Konferensi internasional Polisi Wanita (Polwan) di Labuan Bajo, dan Festival Golo Koe yang diadakan di Labuan Bajo, awal Agustus 2023 lalu.

Harapan Mama Elsye, kiranya mata manuk tidak hanya menjadi simbol tenun ikat Manggarai Barat tetapi tenun ikat Manggarai Barat harus terus dilestarikan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Ia menyadari bahwa mempertahankan kearifan-kearifan lokal di tengah zaman yang terus berubah tidaklah mudah. Namun, ia berharap agar nilai-nilai budaya dan kearifan lokal harus terus dipertahankan dan dilestarikan.

Kiranya mata manuk sebagai simbol tenun ikat khas Manggarai Barat agar terus ‘dihidupkan’ dalam denyut nadi kehidupan masyarakat Manggarai Barat. Mama Elsye telah memulai karya besar ini. Tugas generasi, khususnya kaum perempuan muda adalah melestarikan dan meneruskan karya agung para leluhur ini.*

 

 

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button