FLORESGENUINE.com- Sosok aktivis perempuan sekaligus pelaku pariwisata yang satu ini telah lama malang melintang di dunia kepariwisataan di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Ia mempunyai segundang pengalaman mengenai pariwisata Labuan Bajo dari masa sulit hingga di era super premium.
Perempuan kelahiran Pulau Papagarang, dalam bilangan Taman Nasional Komodo (TNK) ini, sudah lama terjun ke dunia pariwisata. Ia merupakan salah seorang pelaku wisata yang berkontribusi memajukan pariwisata Manggarai Barat.
“ Saya mulai bergelut di dunia pariwisata sejak tahun 1995 lalu. Sampai sekarang, saya masih setia menekuni profesi ini. Saya lebih banyak bergerak dibidang kuliner lokal dan terlibat dalam berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat,” ujar Ibu Nur, ketika berbincang-bincang dengan Floresgenuine akhir pekan lalu.
Anak kedua dari tujuh bersaudara, hasil ikatan kasih antara Bapak Haji Alwi dan Ibu Hajah Hamida ini mengisahkan lika liku hidupnya. Ibu Nur, demikian ia biasa disapa pernah mengenyam pendidikan tinggi. Ia pernah berkuliah di Mataram dan mengambil jurusan Sastra Inggris.
Namun, ia hanya menempuh kuliah sampai pada semester tujuh. Ia lalu memilih berhenti kuliah lantaran terbentur masalah ekonomi keluarga dan kondisi kesehatan kedua orang tuanya yang kerap sakit-sakitan.
Memasuki semester tujuh, Ibu Nur terpaksa berhenti kuliah. Ia kemudian pulang ke kampung halamannya di Papagarang. Menyaksikan keadaan ekonomi keluarga dan masalah kesehatan yang dialami oleh kedua orang tuanya yang kerap sakit-sakitan, ia berjuang untuk membantu kedua orang tua dan adik-adiknya.
Ibu Nur memilih bekerja sebagai nelayan. Setiap hari ia bersama warga sekampungnya turun ke laut untuk mencari dan mengumpulkan hasil laut seperti ikan, cumi, kerang laut dan berbagai jenis hasil laut lainnya. Hasil usahanya itu, sebagian untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan sebagian lainnya dijual ke pasar.
Penyesalan tentu saja terpatri dibenaknya. Ia menyesal karena harus rela meninggalkan bangku kuliah dan kembali ke kampung halamannya. Namun, setiap usaha dan niat baik selalu ada jalan keluarnya. Berbekalkan bahasa Inggris yang ia pelajari selama dibangku kuliah, ia mulai mencoba untuk masuk ke dunia pariwisata.
Pada suatu waktu, Ibu Nur mencoba melamar di beberapa hotel yang ada di Labuan Bajo. Kala itu, belum banyak hotel atau restaurant di Labuan Bajo. Jumlahnya pun masih sangat sedikit, tidak sebanyak seperti sekarang. Setahun kemudian, tepatnya tahun 1996, Ibu Nur diterima untuk bekerja di dua hotel sekaligus. Bukan hanya sebagai karyawan biasa, tetapi ia langsung dipercaya oleh pemilik hotel sebagai manajer yakni di Hotel Kanawa dan Wae Cicu.
Berkat perjuangan dan kepercayaan yang diberikan oleh pemilik hotel, jabatan manajer hotel ia jalani hingga memasuki tahun 2000-an. Masa-masa itu boleh dibilang adalah masa-masa paling sulit karena Labuan Bajo, masih merupakan kota kecamatan sehingga masih serba kekurangan baik terkait infrastruktur jalan, listrik, air maupun sarana telekomunikasinya, belum sebaik dan selancar seperti sekarang.
Kondisi serba kekurangan ini tak menyurutkan langkah Ibu Nur untuk terus berjuang dab mendedikasikan diri di dunia pariwisata. Dikemudian hari ia merintis masuknya internet komersial pertama ke wilayah Labuan Bajo. Maklum, pada masa itu, belum ada provider local di Labuan Bajo. Jaringan internet masih bersifat interlokal yakni melalui Mataram.
Kehadiran jaringan internet di Labuan Bajo tentu saja sangat membantu aktivitas kepariwisataan khususnya bagi para wisatawan mancanegara untuk mengakses berbagai informasi yang mereka butuhkan. Tarif internet kala itu pun boleh dibilang relative mahal yakni Rp.150.000/jam, karena harus melewati interlokal ke Mataram.
“ Meskipun tarif internetnya mahal, namun sangat membantu wisatawan. Mereka sangat senang karena bisa berkomunikasi dengan teman atau keluarganya di negaranya,” ujar Ibu Nur bangga.
Pejuang Pemekaran Manggarai Barat dan Usaha Kuliner Pangan Lokal
Ibu Nur bukan hanya dikenal sebagai pegiat pariwisata tetapi juga sebagai salah satu aktivis perempuan yang ikut membidani lahirnya Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), pada tahun 2003 silam.
Dia bersama teman-teman aktivis lainnya ikut berjuang dalam upaya pemekaran Manggarai Barat menjadi daerah otonom. Maklum, kala itu, proses menuju pemekaran Manggarai Barat menjadi kabupaten tersendiri ternyata menghadapi banyak hambatan dan tantangan.
Berbagai aksi unjuk rasa pun digelar guna menuntut pemerintah Manggarai agar menerbitkan rekomendasi terkait proses pemekaran Manggarai Barat menjadi kabupaten otonom. Perjuangan ini ternyata tidak semudah membalikan telapak tangan. Sejumlah aktivis bahkan pernah ditangkap oleh aparat dan dijebloskan ke penjara.
Singkat ceritra, pada tahun 2003, Manggarai Barat akhirnya berhasil dimekarkan dan menjadi daerah otonom baru, terpisah dari kabupaten induknya, Manggarai. Tak berselang lama, Ibu Nur bersama sejumlah rekan kerjanya mulai merintis usaha yang bergerak dibidang pariwisata khsusunya usaha kuliner berbasis pangan local khas Labuan Bajo, Manggarai Barat.
Kawasan Pantai Pede yang selama bertahun-tahun dibiarkan mubazir oleh Ibu Nur mulai disulap menjadi salah satu destinasi wisata. Pantai Pede yang sebelumnya adalah hutan belukar dan dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah ia tata menjadi kawasan yang bersih dan indah.
Atas ijin pemerintah daerah, Ibu Nur diberi hak untuk mengelola kawasan tersebut. Ia membangun rumah makan sederhana secara swadaya. Selain melayani wisatawan, warung makan itu juga sering digunakan sebagai tempat untuk pertemuan bagi organisasi-organisasi massa termasuk partai politik. Maklum saat itu, Ibu Nur juga pernah terjun di dunia politik sebagai kader dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Sayang, usahanya di lokasi Pantai Pede hanya berjalan beberapa bulan saja. Meskipun masa kontrak kerjasamanya dengan pemerintah belum habis, namun pemerintah secara sepihak mendesak Ibu Nur untuk keluar dari Pantai Pede atau meninggalkan lokasi Pantai Pede tanpa suatu alasan yang jelas.
Sikap pemerintah yang terkesan arogan itu membuat Ibu Nur memilih mengalah. Ia rela keluar dari Pantai Pede dan semua fasilitas yang telah ia bangun dengan susah payah ia biarkan dibongkar paksa oleh aparat pemerintah dengan tanpa adanya ganti rugi. Tindakan pemerintah yang sewenang-wenang tersebut tak membuat Ibu Nur putus asa.
“ Kalau dibilang kecewa, jelas saya sangat kecewa dengan pemerintah kala itu, karena Pantai Pede dulunya dijadikan tempat sampah tidak terurus. Saya sulap menjadi indah dan banyak wisatawan yang dating, pemerintah secara sepihak mengambil kembali, tanpa ganti rugi atas bangunan yang sudah saya dirikan,” ungkap Ibu Nur dengan nada kecewa.
Meskipun merasa kecewa dan marah terhadap sikap pemerintah, namun tidak menyrutkan semangat Ibu Nur untuk terus berjuang meraih cita-citanya. Memasuki tahun 2010, Ibu Nur kemudian mulai mengembangkan wisata kuliner di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Ide membuka usaha dibidang wisata kuliner berawal dari keprihatinannya melihat kondisi Labuan Bajo khususnya belum ada orang lokal yang berani membuka usaha kuliner berbasis pangan lokal.
Ibu Nur melihat bahwa potensi sumber daya alam di daerah ini sangat kaya khususnya pangan lokal yang bisa dikembangkan menjadi bagian dari wisata kuliner. Menurut Ibu Nur, beraneka pangan lokal tersedia di kebun-kebun para petani dan beragam jenis hasil laut yang dapat diolah untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat baik local pun para tamu yang berkunjung ke daerah ini.
Kondisi ini kemudian mendorong Ibu Nur untuk memulai mencoba membuka usaha kuliner berbasis pangan lokal. Ia mulai mencoba masakan pangan lokal seperti dodol rumput laut, jely rumput laut, abon ikan, bolu kandora, dendeng ikan cahara, keripik pisang, kue ikan, kampalo kukusan dan beragam jenis menu masakan lainnya.
Perlahan tapi pasti, usaha kuliner yang ia rintis mendapat apresiasi banyak kalangan, baik pemerintah maupun swasta terutama para wisatawan. Wisatawan banyak yang tertarik untuk menikmati menu masakan yang dihidangkannya.
Berkat dedikasi dan karya usahanya ini, Ibu Nur bahkan pernah diundang oleh salah satu stasiun televisi nasional yakni Trans7 untuk mengisi acara sekaligus mendemontrasikan proses masakan khas Labuan Bajo di Jakarta beberapa tahun lalu.
Usaha kuliner yang ia rintis dengan susah payah beberapa tahun lalu, kini mulai berkembang pesat dan mendapat sambutan banyak kalangan. Peluang bisnis kuliner berbasis pada pangan lokal pun terus merangkak naik, seiring dengan semakin majunya perkembangan industri pariwisata di Labuan Bajo dan sekitarnya.
Guna memudahkan dan memperlancar usahanya, beberapa tahun lalu, Ibu Nur menyewa sebidang tanah terletak di pinggiran jalan raya kawasan Cowang Dereng, Labuan Bajo. Di lokasi ini ia membangun sebuah warung sederhana yang ia beri nama Pondok Flores. Di warung ini dtersaji berbagai menu hidangan khas Labuan Bajo, Flores.
Di Pondok Flores ini pula Ibu Nur bersama keluarga, saban hari setia melayani tamu-tamu yang datang ingin menikmati hidangan khas pangan lokal Labuan Bajo, Flores.[Kornelis Rahalaka]