OPINI

Petani Indonesia di Persimpangan Jalan

Oleh : Kornelis Rahalaka*

Di mana-mana, di setiap ruang kehidupan, di halaman-halaman surat kabar, di podium-podium pidato pejabat, di mimbar-mimbar agama dan di setiap momentum politik perebutan kekuasaan, petani selalu menempati nomor prioritas  untuk disebutkan, ditulis dan dipropagandakan.

Bahwa negara ini adalah negara agraris, telah turut memungkinkan berbagai ruang kampanye yang mempropagandakan kesejahtraan petani. Lalu petani hanya sekedar menjadi obyek propaganda, obyek jualan politik dan iklan-iklan penarik minat dan simpati.

Benarkah petani berada pada posisi obyek? Dapat dibenarkan. Petani dalam sejumlah hal dan event menjadi penting di atas kertas. Sebab sejauh perjalanan panjang memperjuangkan kedaulatan petani, sampai titik ini petani tetaplah obyek.

Ruang kedaulatan yang niscaya akan memposisikan petani  sebagai subyek masih jauh dari perjuangan. Bahkan di hari-hari kampanye pemilu legislatif dan pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024, kurang ada kampanye konkrit tentang petani kecuali Calon Presiden Parbowo Subianto yang bicara tentang swasembada pangan. Setelah ia terpilih dan dilantik menjadi presiden, Prabowo kini mulai berjuang untuk mewujudkan komitmennya itu dengan menggalakan program menanam pangan sejuta hektar.

Program Presiden Prabowo tentu bertujuan untuk mengatasi krisis pangan yang tengah melanda dunia. Krisis pangan yang saat ini dihadapi oleh masyarakat dunia membuktikan bahwa sistem produksi pangan di negara-negara penghasil pangan  atau negara agraris seperti Indonesia sedang tidak baik-baik saja dan mengalami kegagalan dalam mengendalikan sistem produksi pangan secara berkelanjutan.

Kegagalan ini dampaknya dirasakan secara luas oleh masyarakat dunia, khususnya petani produsen dan keluarga miskin di Indonesia. Pangan sebagaimana diketahui merupakan hak dasar semua orang. Ini artinya kekurangan pangan berarti pelanggaran atas hak asasi manusia akan pangan.

Rendahnya produksi, lemahnya posisi petani dalam rantai produksi dan terus meningkatnya harga-harga bahan pangan adalah masalah utama yang dihadapi oleh petani produsen dan keluarganya. Oleh karena itu, tindakan strategis untuk keluar dari masalah tersebut tak bisa ditunda lagi.

Penguatan pangan lokal dan pengembangan rantai produksi pertanian yang adil merupakan salah satu alternatif yang memungkinkan dikembangkan agar masyarakat produsen berkecukupan pangan dan mampu memasarkan hasil mereka.

BACA JUGA:  Menyelaraskan Pertanian, Ekosistem dan Ekonomi

Ketergantungan petani terhadap inputan luar seperti benih, pupuk dan pestisida saat ini cukup tinggi. Banyak petani menjerit karena hasil panennya hanya cukup untuk menutup biaya produksi bahkan kurang. Oleh karena itu, ketergantungan seperti itu harus segera diakhiri dengan menjalin kolaborasi dan kerjasama semua pihak. Kerja sama itu perlu dibangun antara pemerintah, dunia usaha dana petani selaku produsen pangan.

Pemerintah sebagai pembuat regulasi dan pengusaha sebagai penyedia alat-alat produksi antara lain alat-alat kerja, benih dan pupuk serta petani sebagai pekerja dan penyedia pangan. Kerjsama kolaborasi antara ketiga pihak sangat penting guna mewujudkan cita-cita kemandirian, kedaulatan dan ketahanan pangan yang berkelanjutan.

Berkat kemajuan teknologi digital, ketahanan pangan dapat diwujudkan dengan segera. Petani dapat mengembangkan teknik budidaya tanaman, menyediakan benih, pupuk dan pestisida secara mandiri. Pemerintah dan pengusaha penyedia inputan luar seperti benih, pupuk dan pestisida dapat membantu petani dengan mengembangkan demo plot untuk uji coba benih dan pupuk serta penguatan pengetahuan serta keterampilan petani dalam hal seleksi, pemurnian dan penyimpanan benih. Selain itu, pengembangan ternak sebagai sumber pupuk bagi tanaman-tanaman lokal.

Penggunaan inputan lokal   alami seperti pupuk kompos dan kandang, tidak hanya dapat menekan biaya produksi tetapi sekaligus mempertahankan dan memperbiki kesuburan lahan dan menjaga keseimbangan ekosisten secara berkelanjutan. Siapa yang menguasa benih dan pupuk maka menguasai kehidupan adalah sebuah paradigma penting untuk masa kini dan masa mendatang.

Namun realitasnya, banyak petani yang tidak menguasai benih dan pupuk, sehingga pada setiap musim tanam, mereka harus membeli benih dan pupuk. Oleh karena itu, setiap petani berupaya untuk bisa menghasilkan benih dan pupuk sendiri agar pada setiap musim tanam, petani tidak kesulitan atau kekurangan benih dan pupuk.

Mengenai ketersediaan benih dan pupuk, pada zaman dulu petani-petani sudah pandai menyimpan benih dan memproduksi pupuk sendiri. Petani-petani kita sangat pandai memilih dan memilah mana bibit-bibit tanaman yang layak disimpan sebagai benih. Selain kemampuan untuk memilih dan memilah benih, mereka juga membangun lumbung-lumbung pangan.

BACA JUGA:  Pengelolaan Hutan dan Mimpi Besar Kemandirian Pangan dan Energi

Fungsi lumbung-lumbung pangan, selain untuk menjamin ketersediaan pangan, tentu untuk menyimpan benih yang akan ditanam pada musim tanam berikutnya. Keberadaan lumbung pangan juga sangat penting untuk membantu petani yang kekurangan pangan dikala musim paceklik. Sayang, kini lumbung pangan tinggal ceritra. Jika gagal panen, petani harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk membeli benih.

Ceritra hilangnya lumbung pangan sesungguhnya ceritra tentang semakin lunturnya solidaritas dan hilangnya modal sosial masyarakat atau petani. Kini, lumbung pangan seharusnya dikembangkan kembali sehingga ketika petani gagal panen maka petani tidak harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk pengadaan pangan. Demikian pula dengan ketersediaan pupuk yang oleh petani masih menjadi persoalan yang tak kunjung berakhir.

Masalah ketiadaan dan kelangkaan pupuk bagi petani adalah persoalan krusial. Sementara pupuk bersubsidi dari pemerintah seringkali tidak memenuhi kebutuhan petani. Pupuk bersubsidi yang disalurkan kepada petani sering tak mencukupi kebutuhan petani. Pasalnya, jumlah pupuk tak sebanding dengan jumlah petani dan luasnya lahan.

Sebagai contoh, setiap tahun ribuan petani di desa-desa di Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)  mengeluh kekurangan pupuk bahkan ketiadaan pupuk untuk memupuk tanaman mereka. Sementara pupuk subsidi yang disediakan oleh pemerintah jumlahnya sangat terbatas padahal, petani yang membutuhkan sangat banyak dan dengan lahan yang luas.

Kelangkaan dan keterbatasan pupuk tentu berdampak besar bagi petani dan hasil panennya. Tak jarang, sebagian petani mengalami gagal panen atau hasil panenannya menurun drastis. Selain kelangkaan dan kekurangan pupuk, akses untuk mendapatkan pupuk bersubisid pun cukup sulit.

Banyak petani di desa-desa terpencil yang jauh dari kota tidak mendapatkan pupuk karena sulitnya akses. Kerapkali pupuk bersubsidi hanya diperuntukan bagi petani-petani di wilayah yang mudah terjangkau oleh pusat-pusat distributor pupuk bersubsisi. Itu pun terkadang para petani harus berjuang keras untuk mendapatkannya karena petani dan masalah pupuk kerapkali bersinggungan dengan kepentingan politik kekuasaan dan ekonomi.

Dari seluruh uraian di atas setidaknya menggambarkan secara gamblang beberapa persoalan yang dihadapi para petani produsen.

BACA JUGA:  Mitreka Satata Spirit Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan

Pertama, masalah ketahanan pangan. Ketahanan pangan menurut UU nomor 7/1996 yaitu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. (Pasal 1 ayat 17, UU No.7/1996, tentang pangan). Untuk mewujudkan penyediaan pangan dilakukan dengan pengembangan sistem produksi pangan yang bertumpu pada sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal (pasal 2 ayat 2.a, PP No. 68/2002 tentang ketahanan pangan). Pasal 9 (1) penganekaragaman pangan dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal.

Kedua, masalah kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan berarti kekuasaan tertinggi atas pangan. Artinya, petani menentukan dan mengatur sendiri tentang pangan dan pertaniannya, melindungi dan mengatur produksi, termasuk menghasilkan benih, pupuk dan pestisida secara mandiri dan mengatur perdagangan pertanian untuk mencapai  pembangunan yang berkelanjutan.

Konsep kedaulatan pangan sesungguhnya merupakan kritik terhadap realitas di mana petani selaku produsen pangan tetapi merupakan kelompok termiskin terutama petani di desa-desa di Indonesia. Petani di desa-desa sering mengalami kelaparan dan  tanpa perlindungan ekonomi dan sosial yang memadai.

Pemerintah mengedepankan program ketahanan pangan tetapi kelaparan, kemiskinan, kekurangan gizi, kesenjangan sosial, kualitas kehidupan  dan lingkungan hidup atau ekosistem pedesaan berlangsung semakin parah. Realitas tersebut menunjukan bahwa pembangunan pertanian gagal mensejahtrakan petani.

Di titik ini, persoalan petani dan dunia pertanian bukan sekedar persoalan ketiadaan benih, kelangkaan pupuk dan pestisida. Bukan pula sebatas minimnya ilmu pengetahuan mengenai teknik budidaya tanaman, modal usaha, pendistribusian benih, pupuk, pestisida dan atau mata rantai pemasaran produk-produk pertanian, melainkan persoalan petani dan pertanian lebih bersifat struktural dan kultural.

Di tengah tantangan krisis pangan dunia seperti sekarang ini, semua pihak mesti memberikan perhatian yang lebih serius kepada para petani dan dunia pertanian kita. Petani sebagai ujung tombak produsen pangan perlu mendapatkan dukungan terutama pada aspek pengetahuan, teknologi dan inputan seperti pupuk, benih dan pestisida yang memadai guna meningkatkan produktifitas pertanian. Hanya dengan demikian, kemandirian, kedaulatan dan ketahanan pangan Indonesia  senantiasa terjaga dan berkelanjutan.*

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button