
Kader pemimpin (Katolik) yang militan, visioner dan progresif itu, tidak ‘turun begitu saja dari langit’, tetapi resultante dari ketelatenan dalam mengikuti ‘proses formasi’ dalam sebuah wadah organisatoris yang bercorak transformatif. Dengan perkataan lain, pemimpin itu, terutama yang bercorak politis, bukan bakat bawaan sejak lahir, tetapi buah dari ‘proses penggemblengan yang serius’ dalam sebuah organisasi.
Jika kaum klerus dan biarawan-biarawati (hidup bakti) ‘ditempa’ dalam institusi Pendidikan yang khusus sebelum menjadi ‘pemimpin/pelayan rohani’, maka ‘kaum awam’ pun ‘seharusnya dibentuk’ dalam ‘wadah pengkaderan’ yang khas. Ruang gerak dari kelompok klerus relatif terbatas. Mereka hanya menjadi ‘pemimpin’ di dalam lingkungan gereja. Sedangkan kaum awam punya ‘ruang kebebasan’ yang luas untuk menjadi ‘garam dan terang’ dunia.
Sebetulnya, yang lebih banyak berperan di ‘panggung dunia’ adalah kaum awam. Karena itu, menurut saya, gereja institusional lebih banyak memberi atensi pada misi kaderisasi pemimpin awam Katolik. Mungkin baik kalau gereja ‘mengutus banyak awam’ untuk mengikuti pendidikan pasca sarjana (jenjang magister dan doktoral) dan pelatihan kepemimpinan dalam berbagai jenjang.
Seksi kerasulan awam (Kerawam), mulai dari tingkat paroki hingga Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), semestinya ‘bergelut’ dengan urusan kaderisasi pemimpin awam katolik semacam ini. Bukan hanya soal ‘keterlibatan awam’ dalam kehidupan menggereja yang menjadi bidang tugas Kerawam, tetapi juga soal ‘strategi dan metode memberdayakan awam’, agar tampil lebih percaya diri di medan sosial-politik.
Penguatan kapasitas organisasi kemasyarakatan (Ormas) Katolik, tidak hanya relevan, tetapi sangat urgen diterapkan oleh seksi Kerawam saat ini. Ormas Katolik yang dimaksud adalah Ikatan Sarjana Katolik (ISKA), Pemuda Katolik (PK), Wanita Katolik Republik Indoesia (WKRI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Perkumpulan Alumni Margasiswa Republik Indonesia (PATRIA).
Berita gembiranya adalah lima Ormas Katolik ini sudah, sedang dan akan terus bergerak di Keuskupan Labuan Bajo ini. Sebagian dari ‘pemimpin politik’ yang ada di Manggarai Barat (Mabar) ini, merupakan ‘jebolan’ dari lima Ormas tersebut. Itu berarti, lima Ormas itu, telah berperan sebagai ‘kawah candradikuma’ pencetak kader pemimpin yang andal, tangguh dan militan.
Niat baik dari gereja institusional yang diwakili oleh komisi Kerawam KWI dan Keuskupan Labuan Bajo untuk ‘berkolaborasi’ sekaligus memperkuat kapasitas lima Ormas itu, patut diapreasiasi. Setidaknya, kita menangkap sebuah sinyal positif bahwa gereja sangat serius memperhatikan proses kaderisasi pemimpin awam Katolik. Selain itu, boleh jadi Gereja sangat menyadari keberadaan lima Ormas itu sebagai ‘mitra strategis’ baik dalam urusan internal Gereja maupun berkaitan dengan ‘misi Gereja’ di tengah dunia.
Rancang-bangun klerus-awam dalam ‘menata dunia’ ke arah yang lebih baik, terutama ‘tata kelola politik’ di Mabar, sudah mulai dirintis. Tepat di hari peringatan Santo Yosef sebagai ‘pelindung keluarga Katolik’, tonggak ‘lahirnya kolaborasi konstruktif’ itu, telah terpancang. Kemarin, Rabu (19/3/2025) ketua Kerawam KWI, Rm. Hans Jebarut dan ketua Kerawam Keuskupan Labuan Bajo, P. Peter Simon, SDB ‘berbincang’ untuk pertama kalinya dengan perwakilan dari empat Ormas Katolik (minus WKRI).
Dr. Bernadus Barat Daya sebagai ‘penggerak, koordinator, dan inisiator’ agenda pertemuan ini, telah merangkum butir-butir ide yang meluncur dalam ruang diskusi terbatas yang berlangsung di Noas Kafe, Labuan Bajo itu. Saya mengutip secara utuh ‘resume’ percakapan yang diunggah sang doktor di grup WA “ISKA Mabar’ (20/3/2025) tersebut.
“Pertama, pertemuan semalam dihadiri oleh: Ketua Komisi Kerawam KWI Romo Hans, Ketua Kerawam Keuskupan Labuan Bajo, Pater Simon, Korwil ISKA Bali & Nusra, Yakobus S. Muda, perwakilan ISKA Mabar, perwakilan PK, perwakilan PMKRI, (WKRI berhalangan).
Kedua, telah disepakati bahwa ormas katolik yang ada di Mabar yaitu, ISKA, PK, PMKRI, WKRI dan PATRIA, membentuk “rumah bersama” atau semacam “Sekretariat Bersama (Sekber)” di mana sekber tersebut memungkinkan ke-5 ormas, dapat lebih mudah berkumpul, berdiskusi, berbagi, membahas isu-isu sosial, lingkungan, kemanusiaan, dll serta dapat merekomendasukannya kepada berbagai pihak baik pemerintah, dunia usaha dan gereja. Fisik (gedung) sekretariat itu akan dibicarakan lagi dengan pimpinan gereja lokal (Uskup).
Ketiga, bulan Juni kita akan selenggarakan “Seminar Nasional” bertempat di Labuan Bajo. Seminar tersebut diselenggarakan oleh 5 ormas/sekretariat bersama. Seminar tersebut menghadirkan sejumlah pembicara dari Jakarta sesuai pilihan tema seminar. Direncanakan kita akan menghadirkan a.l Menteri HAM, Menteri ATR, Menteri Parekraf, Menteri Kelautan/maritim, Dirjen Bimas katolik, Ombudsman RI, Komisi Nasional Disabilitas, Gubernur NTT, Bupati Mabar, Bupati Flotim, dll.
Keempat, dalam waktu dekat, kita akan audiensi dengan pimpinan gereja lokal, Bapak Uskup Labuan Bajo serta unsur pemerintah daerah (bupati dan DPRD).
Kelima, “hari jadi” rumah bersama adalah tanggal 19 Maret yang bersamaan dengan peringatan Santo Yosep pelindung keluarga.
Keenam, para pengurus Ormas dalam waktu 2 atau 3 hari ke depan, harus berkumpul untuk menyusun DIM (daftar inventaris masalah) yang menjadi isu-isu aktual di Mabar untuk dibahas bersama dan dikomunikasikan dengan stakeholders lain.”
Menarik sekali bahwa dalam ‘pertemuan terbatas dan singkat’ itu, para peserta berhasil menelurkan beberapa ‘ide awal’ terkait dengan kiprah lima Ormas Katolik di Mabar ke depan yang mendapat dukungan penuh dari gereja institusional. Kelima Ormas itu sepakat untuk membentuk ‘rumah bersama’ agar energi perjuangan dan pergerakan mereka tidak terpencar dan sporadis. Ini gagasan hebat yang menurut saya ‘sangat mendesak’ untuk dibuat.
Ketika ‘energi untuk perubahan’ itu disatukan, maka kegiatan akbar seperti ‘Seminar Nasional’, menjadi lebih mudah terlaksana. Aspek ‘soliditas’ dalam Sekber itu bisa menjadi ‘modal’ untuk menuntaskan pelbagai ‘proyek idealisme’ di Mabar. Sabda yang melengking dari ‘ruang diskusi’, mesti dikonversi menjadi ‘daging kebijakan politik’ yang pro pada dimensi kemaslahatan publik. Karena itu, komunikasi yang efektif dengan pengambil kebijakan seperti bupati dan DPRD, menjadi isu prioritas.
Gagasan yang berkualitas itu, lahir dari ‘penciuman’ yang tajam terhadap bau amis persoalan sosial. Untuk itu, para anggota diminta untuk ‘mengendus’ pelbagai realitas patologis di Mabar untuk dibedah secara kritis dalam ‘rumah bersama’. Hasil kajian para aktivis yang tergabung dalam Sekber itu, menjadi semacam ‘rekomendasi’ untuk para penentuk kebijakan dalam meremuskan dan melaksanakan program politik.
Akhirnya, sebagai warga Mabar kita ucapkan selamat kepada lima Ormas Katolik yang ‘mau berkontribusi optimal’ dalam menata Mabar. Kita tidak sabar untuk menyaksikan ‘sepak terjang’ Sekber lima Orma itu, dalam membawa ‘terang keselamatan’ untuk publik Mabar melalui performa dari ‘pemimpin politik awam’ yang lahir dari rahim lima Ormas situ.
Penulis adalah warga Mabar, tinggal di Watu Langkas