EDUKASI

Mendidik Dengan Hati, Melayani Dengan Iman

FLORES GENUINE – Para guru dibawah naungan Majelis Pendidikan Katolik (MPK) keuskupan Labuan bajo mengadakan dialog dan diskusi dengan Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus di Aula SMA Ignatius Loyola Sabtu (17/05/2025.

Ada sembilan yayasan dibawah naungan MPK Keuskupan Labuan Bajo mengutus perwakilan para gurunya untuk menghadiri pertemuan ini. Pertemuan bertajuk: “Mendidik dengan hati, melayani dengan iman ini merupakan sebuah panggilan yang mendalam dan menantang.

Pater Fabianus Ngama, SVD pengurus MPK Keuskupan Labuan Bajo mengungkapkan bahwa kehadiran Uskup Labuan Bajo merupakan sumber semangat dan motivasi bagi semua yang terlibat dalam dunia pendidikan. Ia juga menyambut gembira kehadiran para kepala sekolah dan guru serta para pengurus yayasan yang rela datang untuk mengikuti kegiata ini. Ia menyatakan para guru dan pengurus yayasan adalah ujung tombak pendidikan katolik yang setiap hari menanamkan nilai-nilai iman, cinta kasih dan kebijaksanaan dalam diri anak didik.

Ia menjelaskan, di tengah berbagai dinamika  zaman dan kompleksitas dunia pendidikan, kita diajak untuk kembali menegaskan identitas kita sebagai pendidik katolik. Menghadirkan pendidikan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga membentuk hati yang penuh kasih dan semangat melayani.

“ Pertemuan ini menjadi momentum untuk membangun sinergi, mempererat komunikasi dan merumuskan arah bersama demi kemajuan pendidikan katolik di Keuskupan Labuan Bajo,” ujarnya seraya berharap agar MPK Keuskupan Labuan Bajo menjadi wadah yang hidup dan dinamis dan menjadi tempat kita bertumbuh bersama dalam semangat persaudaraan dan pelayanan.

Sementara itu, Ketua MPK Keuskupan Labuan Bajo, Romo Yohanes Fakundo Selman menjelaskan bahwa MPK adalah sebuah wadah koordinasi, komunikasi dan kerjasama antara yayasan pendidikan Katolik dalam suatu keuskupan, dalam kerjasama dengan komisi pendidikan.

Ivan menjelaskan bahwa Keuskupan Labuan Bajo telah mempercayakan dirinya untuk menangani komisi pendidikan. Sementara, untuk tingkat nasional disebut Majelis Nasional Pendidikan Katolik(MNPK).

Ia menjelaskan bahwa secara umum tujuan MPK  adalah untuk memastikan bahwa pendidikan yang diberikan di sekolah-sekolah Katolik tetap berlandaskan pada nilai-nilai kristiani dan selaras dengan ajaran gereja Katolik. Secara spesifik ada lima tujuan pendidikan Katolik yaitu :

Pertama, menjaga mutu pendidikan. MPK berperan penting dalam memastikan bahwa sekolah-sekolah Katolik memiliki standar pendidikan yang berkualitas dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip iman Katolik.

Kedua, mendukung pengembangan peserta didik. MPK  membantu sekolah-sekolah Katolik dalam membantu peserta didik yang unggul secara akademik, berkarakter baik serta memiliki kecintaan terhadap bangsa dan negara.

Ketiga, membantu meningkatkan kualitas guru dan tenaga pendidik. MPK memberikan pendampingan dan pelatihan bagi para guru dan tenaga kependidikan agar mereka dapat menjalankan tugasnya dengan profesionalisme dan semangat pelayanan serta kerjasama dengan yayasan-yayasan yang ada.

BACA JUGA:  Seremonial Adat Awali Peletakan Batu Pembangunan Sarpras SMAN I Buyasuri

Keempat, mengembangkan manajemen yayasan pendidikan. MPK mendukung yayasan pendidikan Katolik dalam menghadapi tantangan dunia pendidikan termasuk dalam aspek administrasi, pengelolaan keuangan dan pengelolaan sekolah.

Kelima, membangun kerjasama dengan pemerintah dan swasta. MPK berperan dalam menjalin komunikasi dan kerjasama dengan instansi pemerintah serta pihak swasta untuk mendukung perkembangan pendidikan Katolik.

Harapannya, kedepan MPK Keuskupan Labuan Bajo terus berkembang dan memberikan kontribusinya terhadap masyarakat serta gereja lokal Keuskupan Labuan Bajo dan gereja universal.

Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga (PPO) Manggarai Barat, Yohanes Hani mengapresiasi kegiatan ini untuk membangun sinergitas antara pemerintah dengan lembaga pendidikan katolik.

Mengutip tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara, Hani menyatakan bahwa prinsip utama pendidikan yaitu ing ngarso sung tulodo artinya di depan memberikan teladan, ing madyo mangun karso yakki di samping memberikan bimbingan dan arahan dan tut wuri handayani yakni di belakang memberikan dorongan.

Menurut dia, peran sekolah katolik  sama dengan apa yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara.  Di sini sikap pemerintah daerah tidak mendikotomikan pendidikan negeri atau swasta.

“ Sekolah negeri dan swasta, semuanya anak negeri. Tidak ada perbedaan.  Kadang-kadang yang membuat berbeda itu adalah kita sendiri. Baik sekolah swasta maupun sekolah negeri memiliki hak yang sama,” tegasnya.

Dia mengimbau agar perlunya memiliki  semangat yang sama untuk memajukan pendidikan di Manggarai Barat.  Meskipun ada perbedaan tetapi semangat untuk maju harusnya sama.

“ Tidak boleh saling merendahkan, saling meninggalkan.  Kalau kita ingin hebat dan besar, jangan kecilkan yang lain,” ujarnya.

Sementara itu, Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus mengutip tema “Mendidik dengan hati, Melayani dengan Iman” merupakan sebuah tema yang beririsan langsung dengan tema pertemuan nasional Majelis Nasional Pendidikan Katolik. Tema ini juga masih berada di dalam semangat dasar dari Tahun Yubileum 2025 yakni berziarah dalam pengharapan.

“Bagi saya kegiatan ini merupakan kegiatan yang sangat penting.  Diharapkan kegiatan ini membawa manfaat yang besar bagi kita khususnya bagi penyelenggara pendidikan dalam semangat, dalam nuansa dan dalam payung kekatolikan,” ungkap uskup.

Uskup Maksi menyatakan bahwa kegiatan ini kiranya memberi kekuatan kepada kita untuk terus melangkah di tengah berbagai macam tantangan, perubahan-perubahan yang kadang tidak bisa prediksi serta dapat memberi pengaruh yang besar bagi penyelenggara pendidikan di komunitas pendidikan katolik.

BACA JUGA:  Media Sosial Bisa Menjerumuskan pada Kebiasaan Buruk

Menurut Uskup Maksi, tugas pendidikan ini bukanlah tugas yang ringan, tetapi tugas yang sangat berat karena selain para guru sibuk mendidik anak-anaknya sendiri di rumah tetapi juga harus mendidik anak orang lain di sekolah. Namun, sebagai sebuah komunitas, inilah yang disebut dengan komunitas yang berbagi yakni sharing community, share responsibility.

“ Kita membagi tanggung jawab dalam mendidik generasi muda kita. Ini adalah tanggung jawab yang sangat penting, tanggung jawab penginjilan di dalam bidang pendidikan,” ucapnya.

Menurut Uskup Maksi, jika melihat ke dalam sejarah yang panjang di Flores dapat disimpulkan bahwa pendidikan katolik adalah sebuah warisan sejarah yang tidak bisa kita abaikan atau tidak bisa kita hilangkan begitu saja. Pasalnya, pendidikan katolik adalah titik awal dari proses peradaban Flores mulai dari timur sampai di barat.

“ Kehadiran sekolah-sekolah katolik sejak awal beberapa abad yang lalu menjadi bagian bagaimana masyarakat Flores terus bertumbuh dan berkembang,” ujarnya.

Menurut Uskup Maksi, meskipun warisan pendidikan ini makin menghadapi banyak tantangan karena tugas-tugas pendidikan mungkin banyak diambil perannya oleh Negara dan dilaksanakan oleh Negara namun warisan pendidikan katolik tetap merupakan sebuah panggilan yaitu mendedikasikan dirinya dalam mendidik generasi muda.

“ Oleh karena itu, MPK keuskupan Labuan Bajo harus menjadi sebuah komunitas yang tidak terjebak di dalam komunitas teknis administrative tetapi dia harus menjadi sebuah komunitas perjumpaan dan penguat motivasi,” tandas Uskup Maksi.

Ia berharap, perjalanan ke depan MPK Keuskupan Labuan Bajo tidak sekedar sebuah perjalanan administratif, teknis rutin, tetapi sebuah perjalanan pemberdayaan motivasi, spiritualitas dan membangun kesadaran bersama, terutama tanggung jawab setiap kita di dalam pendidikan.

Menurut Uskup Maksi, mendidik dengan hati, melayani  dengan iman bukan hanya sekedar sebuah kegiatan pedagogis atau transfer pengetahuan, tetapi sebuah panggilan spiritual dan perutusan gereja yang sangat mendasar.  Krisis identitas, perpecahan sosial, digitalisme yang menusuk masuk di dalam kehidupan kita bersama, tidak hanya dihadapi secara profesional, tetapi secara profetis.

“ Profetis menjadikan pendidikan sebagai bagian dari kehidupan kita sendiri. Atau bersaksi melalui pendidikan, bersaksi tentang Tuhan itu sendiri,” imbuhnya.

Dia menyebutkan ada dua dokumen yang penting yang dikeluarkan oleh gereja berkaitan dengan pendidikan ini yakni pendidik di masa kini dan masa depan, pendidik untuk dialog antara budaya dan humanisme bersaudaraan. Bagi gereja, sekolah katolik bukan hanya tempat belajar tetapi ruang pertumbuhan rohani, pembentukan watak dan perjumpaan yang transformatif.

BACA JUGA:  Wakil Bupati Yulianus Weng : Jadikan Manggarai Barat sebagai Kabupaten Layak Anak

Ada beberapa poin penting yang bisa kita renungkan dari tema yang penting dan sangat besar ini. Pertama, mendidik sebagai tindakan cinta yang membebaskan. Pendidikan Katolik bukan hanya sekedar aktivitas instruksional atau akademik, melainkan tindakan spiritual dan pastoral yang mengalir dari jantung Injil itu sendiri. Kasih yang membebaskan sekaligus yang memanusiakan.

Tetapi kita harus menyadari bahwa ini adalah sebuah proses dibalik. Ketika kita datang dengan motivasi membebaskan dan memanusiakan, kita tidak meletakkan beserta didik kita itu sebagai obyek yang harus menerima proses itu. Sebetulnya kita juga berproses di dalam membebaskan diri kita juga sebagai pendidik, memanusiakan diri kita juga sebagai pendidik.

Mendidik dengan tindakan cinta ini dampaknya itu tidak hanya pada peserta didik, tetapi juga pada diri kita sendiri juga sebagai pendidik. Ini adalah spiritualitas dasar dari pendidikan katolik, bahwa kasih tidak pernah netral, melainkan selalu berpihak pada kehidupan dan pertumbuhan manusia sebetulnya. Membebaskan tentu punya makna yang ganda yang pertama membebaskan dari ketidaktahuan, ketertinggalan, juga dari keterasingan sosial.

Kedua, membebaskan dari ketakutan, trauma, atau hal-hal yang lainnya. Jangan sampai sekolah-sekolah kita juga menjadi sumber pengalaman traumatis para murid. proses itu harus membebaskan kita.

“ Sekolah tidak boleh menjadi tempat di mana orang mengalami ketakutan. Pendidikan Katolik bertugas menjadi jalan keluar dari segala bentuk ketakutan itu.  Proses pendidikan yang sejati bukan hanya soal logika dan metode, tetapi terutama pada relasi dan pada hati,” tegasnya.

Karena itu, pendidikan katolik dipanggil untuk menjadi subyek aktif dari cinta alat di tengah dunia yang seringkali melukai, meminggirkan, dan menyadarkan martabat anak-anak, terutama mereka yang miskin dan rentan. Guru bukan sekadar sebagai pengajar tetapi sebagai gembala dan sahabat. Melalui sentuhan hati, kesabaran dan keteladanan hidupnya guru mewujudkan dimensi pembebasan.

Seorang pendidik katolik bukanlah sekadar menerapkan profesionalisme teknis. Tetapi kesaksian profetis yang mewartakan bahwa Allah hadir mencintai dan membebaskan melalui tindakan pendidikan itu sendiri atau pengajar. Dalam visi gereja pendidikan bukanlah sekadar kegiatan profesional teknis tadi. Melainkan perutusan gereja yang mengalir dari tugas perutusan Yesus sendiri. Mewartakan kerajaan Allah melalui Pewartaan atau pengajaran.

Pentingnya  kesaksian hidup dalam seorang pendidik tidak hanya pewartaan, pengajaran, tetapi kesaksian hidup itu sendiri. Pelayanan pendidikan adalah bagian integral dari visi gereja di tengah dunia. Oleh karena itu Guru dipanggil bukannya sebagai pengajar profesional tetapi sebagai pelayan iman. *[vin/fgc]

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button