Minimnya pengetahuan petani mengenai teknik budidaya, harga jual yang tidak menentu, sulitnya mendapatkan benih unggul, panenan belum matang hingga maraknya aksi pencurian buah vanili menjelang musim panen di beberapa wilayah merupakan sejumlah persoalan krusial yang dihadapi oleh para petani vanili di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kondisi ini diperparah oleh praktik pasar yang tidak berpihak pada petani vanili. Petani bekerja keras, membanting tulang namun harganya ditentukan oleh pihak lain yaitu para tengkulak, pengepul atau pedagang. Alhasil, petani kerap dibuat furstrasi dan enggan membudidayakannya.
Padahal, vanili merupakan salah satu komoditi andalan petani karena harga vanili di pasaran internasional yang cukup menjanjikan kesejahtraan petani. Memang beberapa tahun terakhir ini, para petani vanili mulai enggan menanam vanili lantaran harga yang tidak menentu. Petani cenderung memilih menanam porang sebagai pengganti vanili yang sebenarnya sudah mereka budidayakan sejak lama.
Pengalaman tak enak menjadi petani vanili itu diungkapkan oleh Rofina Luen, seorang petani asal Kampung Cecer, Desa Liang Ndara, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat. Rofina mengaku putus asa ketika harga vanili tiba-tiba terjun bebas hingga mencapai angka Rp.3000/kg.
“Dulu, kami tanam banyak. Sekali panen bisa ratusan kilo. Kalau diuangkan, bisa jutaan rupiah. Tapi harga tiba-tiba jatuh sampai tiga ribu rupiah saja. Kami kecewa sekali, sehingga kami potong dan bakar. Sekarang, di kebun kami masih ada vanili, tapi hanya tinggal sedikit,” ceritra Rofina yang ditemui di rumahnya Sabtu pekan lalu.
Nasib petani vanili ibarat berada dalam lingkaran setan. Sebagian petani memang masih setia membudidayakan vanili meskipun harga kerap naik turun. Belum bicara soal teknis budidaya vanili yang baik agar tanaman vanili dapat tumbuh secara sehat dan menghasilkan buah yang melimpah. Masalah teknis budidaya dan akses pasar, disebut-sebut para petani sebagai hambatan utama yang dihadapi para petani vanili.
Petrus Leten, petani vanili di Kampung Mbore, Desa Tondong Belang mengaku bahwa ia dan petani vanili lainnya masih mewarisi teknis budidaya secara tradisional yakni pola budidaya sebagaimana diwariskan oleh nenek moyang mereka.
“Kami ini petani brutal. Selama ini kami asal tanam saja. Mau tumbuh atau tidak, tergantung alam,”ujar Leten di suatu siang.
Petrus berkisah, vanili sebenarnya sangat menjanjikan peningkatan kesejahtraan keluarga namun, hampir semua petani di kampung itu tidak punya pengetahuan dan pemahaman terkait teknis budidaya vanili yang baik dan benar. Akibatnya, meskipun banyak pohon vanili yang mereka tanam, namun hasilnya belum maksimal. Di atas lahan seluas kurang lebih satu hektar, telah ia tanami vanili selain cengkeh, kopi, coklat, jati, mahoni dan tanaman hortikultura.
Sementara, petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang ditempatkan di desanya tidak banyak berperan sehingga tidak bisa diharapkan. Petugas PPL yang diharapkan untuk mendampingi mereka dengan memberikan penyuluhan dan pendidikan terkait teknis budidaya tak kunjung dilakukan. Padahal, mereka sangat membutuhkan PPL untuk membantu mereka terutama dalam hal teknis budidaya tanaman.
“Tenaga PPL ada di hampir semua desa, tapi mereka tidak pernah memberikan penyuluhan tentang teknis budidaya tanaman. Bahkan ketika kita tanya soal cara mengatasi hama penyakit, mereka malah bingung dan tidak bisa menjawab. Paling-paling mereka suruh kami beli ini dan itu, tapi tidak pernah beritahu bagaimana cara budidaya atau cara pengatasi hama penyakit yang menyerang tanaman. Mereka paling hanya datang untuk ambil data lalu pergi,” ujar Leten dengan nada kecewa.
Leten pun berceritra, aksi pencurian vanili yang sempat marak di wilayah itu berangsur hilang ketika sebuah perusahaan yang bergerak dibidang rempah-rempah hadir dan menawarkan kerjasama langsung dengan petani vanili setempat. Perusahaan itu tidak hanya membeli vanili yang sudah benar-benar matang, tetapi ia juga mau membantu petani pada aspek budidaya.
“Kami senang karena ada perusahaan yang mau bekerjasama langsung dengan kami petani vanili. Kehadiran perusahaan ini dapat meminimalisir aksi pencurian dan bisa menjaga mutu vanili karena vanili harus panen matang,”ujarnya.
Berdasarkan data, sentra vanili tersebar di Indonesia mulai dari daerah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi dan Irian jaya. Kini mulai berkembang pula di Magelang, Purwokerto, Banyuwangi, Malang, Jember, Bondowoso, Lampung, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Produksi vanili ini sangat tergantung dari teknis budidaya, perawatan dan cara mengolah.
Vanili memang pernah menjadi idola, namun meredup lantaran harga jatuh di tingkat petani. Harga jatuh karena adanya permainan para tengkulak dan eksportir. Karena itu, ke depan, kualitas vanili mesti ditingkatkan dan produktivitas perlu dimaksimalkan.*