Tak banyak yang tahu pasti asal muasal kota Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur yang telah memukau para wisatawan selama berabad-abad. Larantuka, kota tua nan mungil terletak di kaki Gunung Ilemandiri itu, pada masa lalu oleh penduduk setempat menyebutnya Tanah Wutun atau bagian ujung dari sebuah daratan atau pulau.
Terletak pada lintasan perdagangan antara Malaka dan Pulau Maluku yang kaya akan rempah-rempah. Letak yang strategis ini, membuat Flores Timur pada masa itu dikenal sebagai daerah persinggahan kapal-kapal dagang dari Jawa, India, Malaka dan Cina serta bangsa asing lainnya.
Larantuka yang semula bernama ‘Lewonamang’ adalah pusat kerajaan dan yang dikemudian hari berganti nama menjadi Larantuka yang artinya tempat persinggahan atau tengah jalan. Didukung dengan kondisi alam pantai yang indah dan menarik, Larantuka aman untuk kegiatan perdagangan karena terlindung dari hempasan ombak dan amukan gelombang laut oleh hutan bakau dan nipah di sepanjang pantai. Tidak heran oleh para pedagang Pulau Flores disebut pula dengan nama Nusa Nipah.
Kedatangan Bangsa Portugis pada awal abad XV memberikan nama baru untuk Nusa Nipah yaitu Flores dan Tanah Wutun menjadi Cabo da Flores atau tanah daratan yang berada di Ujung Timur, Pulau Flores. Pada awal kedatangannya, Pulau Flores hanya dijadikan oleh Bangsa Portugis sebagai tempat persinggahan dalam perjalanan dagangnya ke kawasan Nusantara bagian Timur. Namun, setelah mengetahui bahwa di Pulau Solor banyak ditemukan pohon cendana, suatu tanaman yang selama ini sangat diburu dan dicari oleh para pedagang, timbulah hasrat Bangsa Portugis untuk menguasai daerah ini.
Lamakera, sebuah Kampung tua yang terletak di tepi Pantai Pulau Solor dijadikan sebagai pelabuhan transit bagi kapal-kapal dagang dan sebagai tempat yang strategis untuk mempertahankan diri dari serangan penduduk setempat atau bangsa asing lainnya. Pada tahun 1556, didirikan sebuah benteng di Lohayong yang diberi nama Port Hendriques. Pulau Solor dan pulau-pulau lain di sekitarnya, akhirnya dikuasai oleh Bangsa Portugis terutama untuk kepentingan perdagangan dan penyebaran agama di daerah ini.
Lewonamang atau Larantuka sebagai pusat Kerajaan Larantuka oleh para misionaris Portugis dijadikan sebagai pusat penyebaran Agama Katolik. Kala itu ribuan penduduk pun dibaptis menjadi pengikut Kristus.
Namun, pada tahun 1653, pecah perang antara Bangsa Portugis dan Belanda. Portugis akhirnya kalah dalam perang ini serentak Pulau Solor serta Benteng Port Hendriques dikuasai sepenuhnya oleh Belanda. Meski demikian, penyebaran Agama Katolik terus berjalan baik oleh misionaris Belanda maupun oleh sisa-sisa misionaris Portugis. Lebih dari itu pada tahun 1665, oleh Pater Antonio de Sao Jacinto, Raja Larantuka Ola Ado Bala berhasil dipermandikan dan diberi nama Don Franssisco Ado Bala Diaz Vieyra de Godinho. Peristiwa ini membuka lembaran baru. Larantuka menjadi sebuah Kerajaan Katolik dan tongkat kerajaan diserahkan kepada Santa Maria sebagai simbol bahwa Maria-lah yang menjadi Ratu Kerajaan Larantuka, sedangkan raja hanyalah sebagai pelayan dan menjalankan pemerintahan atas nama Santa Maria.
Untuk melanjutkan tugas penyebaran agama Katolik, maka pada tahun 1862 para misionaris mendirikan Sekolah Dasar pertama di Larantuka yang kemudian diikuti dengan mendirikan sekolah-sekolah keterampilan pertanian, pertukangan dan keterampilan khusus untuk kaum putri. Kedatangan bangsa melayu, Portugis dan Belanda serta bangsa asing lainnya diakui telah membawa pengaruh lahirnya peradaban baru di wilayah ini.
Keterbukaan menerima masukan pengaruh dari luar, telah memungkinkan masyarakat di daerah ini terdiri dari beragam suku, bahasa dan budaya. Penduduk yang beragam dapat hidup dan berkembang hingga saat ini dalam satu kesatuan wilayah pemerintahan Flores Timur. Dari Larantuka pula nama Flores dideklarasikan sebagai nama umum untuk menyebut Pulau Flores yang membentang dari Tanjung Bunga, Larantuka di ujung paling Timur hingga Labuan Bajo di ujung Flores paling barat.*