BUDAYA

Lefa Nuang, Tradisi Berburu Ikan Paus Nelayan Lamalera

Penulis: Melky Koli Baran

“Lefa Nuang. Musim yang sangat penting untuk kami para nelayan di Lamalera, Pulau Lembata”. Lefa Nuan, itulah musim melaut bagi para nelayan Lamalera di Pantai Selatan Pulau Lembata, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Lefa Nuang yang dimulai tepat tanggal 1 Mei setiap tahun berlangsung hingga bulan Oktober. Bukan kebetulan, tapi masa melaut turun temurun yang secara tradisional kala itu dipertimbangkan dari berbagai segi, terutama segi alam dan pergantianan musim itu dibuka di Bulan Mei dan berakhir di Bulan Oktober.

Bulan Mei dan Oktober punya makna tersendiri dalam tradisi Gereja Katolik. Bulan Mei sebagai bulan Maria dan bulan Oktober sebagai bulan Rosario. Sejalan dengan jiwa religiositas masyarakat Lamalera yang beragama Katolik. Kekatolikan yang masuk ke Lamalera 134 tahun silam itu sejalan dengan tradisi Lefa Nuan di Lamalera.

Momentum sejarah Kekatolikan yang menempatkan Lamalera sebagai gerbang iman Katolik di Pulau Lembata. P. Alex Beding SVD, imam sulung dari Lamalera menyebutnya “Bafalofe Iman.” Bafalofe artinya pintu gerbang.

Semacam pertemuan sakral antara tradisi melaut para nelayan Lamalera dengan tradisi Gereja Katolik. Seluruh proses dan isi Lefa Nuang Lamalera terhayati dan terefleksikan dalam tradisi iman Katolik.

Sejak masyarakat kampung nelayan Lamalera menerima iman Katolik sebagai satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup, setiap tahun Lefa Nuang dibuka, dilaksanakan dan diakhiri dalam dan melalui tradisi Gereja Katolik.

Setiap tanggal 1 Mei setiap tahun, Pantai Lamalera yang jadi pangkalan peledang pemburu ikan dihiasi dan diramaikan oleh kehadiran seluruh umat Katolik Lamalera, bahkan stasi dan kampung di sekitarnya. Hari itu berlangsung misa Lefa. Perayaan misa akbar yang dipersembahkan secara khusus untuk musim melaut yang berlangsung dari Bulan Mei hingga Bulan Oktober.

BACA JUGA:  Gendang Suka Banggang Gelar Sengka Para Olo Wetok Hapo Muhi dan Penti Weki Peso Beo

Misa Lefa untuk memasuki Lefa Nuan (musim melaut) menjadi perayaan iman, harapan dan cinta. Misa yang sekaligus mempersembahkan seluruh musim melaut ini ke tangan dan restu Tuhan. Keyakinan iman bahwa manusia berusaha tapi Tuhan yang menentukan. Sama seperti para rasul yang semalam suntuk sia-sia menjala ikan. Ketika jelang pagi, Yesus menyuruh menebarkan jala dan banyak ikan yang mereka tangkap. Bahkan jala mereka sampai koyak.

Keyakinan iman nelayan Lamalera di Lefa Nuan bahwa apapun ikan yang mereka tangkap adalah karunia Tuhan. Ikan paus, hiu, pari, lumba-lumba maupun jenis ikan apa saja yang mereka jumpai selama melaut di Lefa Nuan diterima dan disongsong sebagai karunia Tuhan. Mereka menyebutnya kenato. Kenato adalah kiriman untuk bekal hidup dalam semusim untuk seluruh keluarga besar Lamalera, termasuk para janda dan anak yatim piatu.

BACA JUGA:  Jelajah Nagekeo, Daya Tarik Wisata dan Warisan Leluhur

Setiap berjumpa dengan ikan apa saja di laut Sawu itu, nelayan Lamalera memaknainya sebagai rejeki pemberian Tuhan. Doa-doa permohonan dan syukur dilafalkan mengiringi aksi heroik lamafa atau juru tikam saat menikam ikan sambil meloncat indah menceburkan diri ke dalam laut.

Usai merayakan Misa Lefa tanggal 1 Mei, pastor yang memimpin misa memberkati laut, memberkati semua peledang penangkap ikan dan para nelayan. Setelah itu, dilanjutkan dengan pelayaran perdana pada tanggal 1 Mei oleh sejumlah peledang.

Lefa Nuan juga menjadi masa keramat. Semua keluarga di Lamalera, terlebih nelayan yang setiap hari ke laut dan keluarga serta sukunya harus hidup baik. Berdamai selalu dalam keluarga dan masyarakat. Tidak melakukan hal-hal tercela atau tak terpuji. Jika hidup sebaliknya, Tuhan tidak memberi kenato saat melaut. Bahkan bisa mendapatkan kecelakaan di laut.

Setiap pagi sejumlah peledang diluncurkan ke laut. Dari kampung, semua orang memantau pelayaran peledang-peledang yang beriringan dengan gagah perkasa memasuki laut Sawu. Mata keluarga di kampung terus mengikuti pergerakan peledang pemburu yang beriringan di laut hingga angin laut membawa kembali ke pantai.

Di pantai, perempuan dan anak-anak telah menanti. Sorak sorai mengiringi para pendekar laut Sawu kembali ke pantai. Satu persatu peledang ditarik beramai-ramai ke pangkalan masing-masing. Sorak sorai semakin penuh ketika menyambut hasil tangkapan hari itu.

BACA JUGA:  Mengintip Larantuka, Kota Renya yang Memukau

Memasuki malam, semua keluarga satu peledang berkumpul di rumah suku masing-masing. Doa malam mensyukuri penyertaan Tuhan sepanjang hari di laut dan mohon rejeki dan lindungan untuk hari berikutnya. Doa malam yang bertepatan dengan Bulan Maria di bulan awal dan Bulan Rosario di bulan terakhir. Selesai berdoa, berlangsung refleksi bersama. Semacam evaluasi dan analisa atas keberhasilan dan kegagalan hari itu. Tak jarang disertai linangan air mata kegembiraan dan penyesalan.

Jika sepanjang hari yang telah lewat, peledang gagal mengeksekusi ikan di laut yang diyakini sebagai kenato dari Tuhan, maka pengalaman gagal itu direfleksikan. Dicari alasannya. Adakah soal dalam diri nelayan, dalam diri keluarga atau pun suku yang jadi halangan. Jika ditemukan, maka diselesaikan secara baik. Semua membersihkan diri agar pelayaran hari selanjutnya berkenan bagi Tuhan dan sesama.

Kerja keras dan tulus serta jujur sangatlah dikedepankan. Lefa Nuan adalah masa panen sebelum memasuki musim hujan dan badai, di mana laut tidak selamanya ramah untuk menjemput kenato dari Tunan. Masa yang dijalani dengan ketulusan hati.*

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button