Ketika Kerbau dan Kuda Tidak Lagi Jadi Perekat Relasi Sosial
Oleh Kornelis Rahalaka [Labuan Bajo]
Dalam tradisi perkawinan adat orang Manggarai, di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NT), belis atau orang Manggarai menyebutnya paca merupakan salah satu unsur penting dalam proses perkawinan adat.
Pada zaman dulu, paca berupa hewan peliharaan yakni kerbau atau kuda. Sedangkan seberapa banyak jumlah kerbau atau kuda untuk paca, sangat ditentukan oleh hasil musyawarah antara kedua pihak yakni antara keluarga anak rona atau keluarga laki-laki dan keluarga anak wina atau keluarga perempuan.
Paca bagi orang Manggarai bukan sekedar alat transaksi semata melainkan ia mempunyai nilai sosial dan spiritual yang tinggi. Paca lebih sebagai alat pemersatu dan perekat relasi sosial antara kedua keluarga besar yakni keluarga anak rona dan anak wina.
Namun demikian, seiring perubahan zaman, paca mengalami pergeseran nilai. Pergeseran nilai dan makna paca itu terjadi setidaknya dipicu oleh dua faktor utama yakni uang sebagai alat transaksi yang sah dan kian berkurangnya keluarga-keluarga yang memelihara hewan kerbau. Berkurangnya peternak kerbau juga sebagai dampak dari semakin sempitnya ruang untuk penggembalaan ternak. Banyak lahan pengembalaan yang sudah berubah menjadi pemukiman penduduk.
Paca yang sejatinya merupakan alat bukti perekat dan pemersatu relasi sosial antara anak wina dan anak rona akhirnya mengalami kemerosotan makna spiritualitasnya.Paca hanya dilihat sebagai alat transaksi semata. Padahal, paca dalam tradisi orang Manggarai, memiliki nilai moral-spiritual dan perekat kekerabatan antara keluarga besar anak wina dan anak rona. Keadaan ini menimbulkan kesan bahwa paca lebih sebagai alat jual beli dalam relasi perkawinan.
Pergeseran nilai paca itu diungkapkan oleh Maksimus Wanggut, seorang budayawan Manggarai pada suatu wawancara dengan Floresgenuine,com beberapa waktu lalu. Ia mengaku paca telah kehilangan nilai spirituilnya lantaran paca cenderung dilihat hanya sebagai alat transaksi. Padahal, dibalik itu, paca memiliki nilai, kesetaraan, keseimbangan dan keadilan. Ia mampu menjadi perekat relasi sosial yang harmonis antara kedua keluarga besar dan masyarakat luas.
Ia mengisahkan, pada zaman dulu, paca biasanya dalam bentuk hewan yakni kerbau dan kuda. Pada umumnya, jumlah paca yakni sekitar 10 ekor kerbau atau kuda. Banyaknya paca sangat tergantung pada kesepakatan dalam musyawarah antara keluarga anak rona dan anak wina.
Kesepakatan terkait jumlah paca biasa disepakati bersama dalam suatu acara adat yang oleh orang Manggarai menyebutnya dengan istilah lonto leok bantang cama (duduk bersama untuk musyawarah mufakat). Paca berfungsi sebagai alat pemersatu dan perekat relasi sosial terutama antara keluarga besar anak rona dan anak wina, paca juga menandakan bahwa pihak anak rona sanggup dan siap menjamin kesejahtraan hidup sang anak wina atau sang istri yang akan ia nikahkan.
Sedemikian pentingnya paca maka tidak heran, hampir sebagian besar keluarga Manggarai beternak kerbau dan kuda. Selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga, kedua jenis hewan itu juga sebagai belis.
Namun, memasuki era 1980-an, ketika arus lalulintas perdagangan antar pulau semakin terbuka aktivitas perdagangan terhadap kedua jenis hewan itu pun terus meningkat. Akibatnya jumlah kerbau dan kuda semakin berkurang dan banyak keluarga peternak tidak lagi memelihara kedua hewan tersebut. Kedua jenis hewan tersebut pun diganti dengan uang sebagai paca. Alhasil, paca mengalami pergeseran nilai yang sangat signifikan.
Hubungan relasi antara anak rona dan anak wina sangat baik dan harmonis. Biasanya, orang Manggarai memperlakukan anak rona dengan baik. Meskipun pada masa lalu, terkadang terjadi, pihak anak rona mesti tinggal bersama keluarga anak wina jika anak rona belum mampu membayar sejumlah paca sesuai dengan kesepakatan.
Untuk hal tersebut dikenal dengan sebutan gogong mata olo, dongge mata one. Arti harafiah yakni tempat atau alat dari bambu untuk menyimpan makanan babi. Ungkapan tersebut merupakan eufemisme atau simbol bahwa anak laki-laki rela tinggal bersama keluarga perempuan untuk bekerja melayani keluarga perempuan sampai pihak laki-laki melunasi belis atau paca yang telah mereka sepakati bersama.
Dalam menentukan besaran paca, orang Manggarai biasanya tidak membeda-bedakan orang seturut strata social dalam masyarakat. Dulu, penetapan jumlah paca tidak berdasarkan strata sosial masyarakat. Besaran paca tidak diukur dari apakah keluarga tersebut kaya atau miskin, bangsawan atau rakyat jelata melainkan berdasarkan kesepakatan yang dibangun diatas landasan musyawarah mufakat.
Hanya, zaman sudah jauh berubah. Paca telah mengalami kemerosotan nilai sosial dan spiritualnya. Perlahan-lahan, paca mengalami pergeseran nilai. Paca mengalami reduksi makna. Paca cenderung dilihat hanya sebagai alat transaksi semata. Kini, menurut Maksimus Wanggut, sebagian besar orang Manggarai mulai meninggalkan prosedur perkawinan adat.
Hal ini juga terjadi, tak terlepas dari peran agama katolik sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Manggarai. Intervensi institusi gereja katolik, sadar atau tak sadar, telah ikut melegitimasi kemerosotan nilai spiritual paca itu sendiri.Hal ini tampak dari kecenderungan gereja yang mendahulukan ritual perkawinan gereja ketimbang perkawinan adat Manggarai.
Dalam sejumlah kasus, sebut dia, kerap ditemukan konflik antara perkawinan adat dan perkawinan gereja. Konflik muncul ketika urusan terkait adat belum tuntas dijalankan, Paca yang seharusnya menjadi landasan perkawinan adat, serta merta digantikan dengan sakramen perkawinan dalam perkawinan gereja katolik. Tak heran, keadaan ini dapat memunculkan konflik dan pertentangan antara keluarga anak rona dan anak wina. Konflik itu bahkan tak jarang pula berujung pada perceraian.
Pergeseran nilai spiritual seolah terus berlangsung dan semakin terasa sekarang ini ketika para pemimpin gereja kurang mempedulikan proses perkawinan adat. Pemimpin gereja misalnya mesti menanyakan kepada para tetua adat perihal proses perkawinan adat sebelum ritual perkawinan gereja dijalankan. Hal ini penting dilakukan demi menghindari konflik dikemudian hari.
“Bila proses adat sudah selesai dan dinyatakan tidak ada masalah, barulah gereja katolik mengesahkan perkawinan itu sesuai ritus gereja Katolik. Tidak boleh dibalik,”tandas Wanggut yang mengaku prihatin atas konflik yang dialami oleh beberapa keluarga katolik.
Menurut dia, ritual perkawinan katolik hanya untuk melegitimasi proses perkawinan adat yang sudah dijalankan oleh keluarga anak rona dan anak wina. Dulu, proses perkawinan yang ideal seperti ini yang dilakukan oleh para pimpinan gereja katolik. Pimpinan gereja baru akan memberikan sakramen perkawinan kepada pasangan suami-istri, jika urusan adat sudah beres. Jadi, di sini gereja sesungguhnya hanya melanjutkan dan ikut mengesahkan perkawinan adat yang sudah dijalankan oleh kedua belah pihak yakni antara anak rona dan anak wina.*