HUKRIMNEWS

Antonius Hantam Kisahkan Haji Ishaka bukanlah Dalu Nggorang, Ia Singgung Kehadiran Belanda

Praktisi hukum Edu Gunung pertanyakan Haji Ramang Ishaka bukan keturunan asli Manggarai

FLORESGENUINE.com – Pengangkatan dan penyematan Haji Ramang Ishaka dan Muhamad Syair sebagai fungsionaris adat ulayat Nggorang menuai penolakan warga ulayat Nggorang. Bahkan sejumlah Tokoh adat dan praktisi hukum ikut menolak penyematan jabatan fungsionaris adat kepada Ramang Ishaka dan Muhamad Syair.

Sejumlah masyarakat ulayat Nggorang juga mempertanyakan asal usul munculnya jabatan fungsionaris adat yang disematkan kepada Haji Ramang Ishaka dan Muhamad Syair. Lantaran setelah melihat kiprah Haji Ramang Ishaka dan Muhamad Syair yang diduga menjadi pemicu konflik tanah di Labuan Bajo dan selalu luput dari soal jeratan hukum.

Sejumlah masyarakat ulayat Nggorang menilai, jabatan fungsionaris adat justru membuat para pihak ini menjadi kebal hukum dan merasa bebas untuk menguasai tanah-tanah di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) atas nama ahli waris ulayat Nggorang.

Maraknya kasus tanah yang melibatkan para mafia tanah di Labuan Bajo justru diduga dipicu oleh masih diakui nya dan dibiarkannya jabatan fungsionaris adat ulayat Nggorang yang menempatkan Haji Ramang Ishaka dan Syair dalam posis kunci pemangku jabatan ahli waris dalu. Padahal “dalu” itu jabatan dalam pemerintahan pada zaman sebelum reformasi Indonesia, namun bukanlah fungsionaris adat.

Praktisi Hukum di Kabupaten Manggarai Barat Edu Gunung misalnya, justru memberikan pertanyaan kritis kepada Haji Ramang Ishaka soal pemahamannya mengenai apa itu fungsionaris adat.

Hal itu dikatakan Edu Gunung lantara peran Haji Ramang dalam setiap kasus tanah yang selalu mengakui dirinya sebagai fungsionaris adat ulayat Nggorang.

“Secara filosofi, Haji Ramang mengerti tidak yang dinamakan fungsionaris adat?. Dia mengerti tidak secara filosofi?. Yang kedua, ungkapan-ungkapan adat Manggarai, secara filosofia dia paham tidak, kita ambil contoh saja makna “kapu manuk lele tuak“?. Dia paham tidak makna dari filosofis itu?,” tanya anak dari alm Dance Turuk saat ditemui di Labuan Bajo pada Sabtu, 15 Juni 2024 di kediaman nya di Wae Kesambi berdasarkan rilis yang diterima oleh media ini, Rabu (19/6/24).

BACA JUGA:  Kunjungan Wisata ke Labuan Bajo Didominasi Wisatawan Mancanegara

Dengan tegas Edu mengatakan, sesungguhnya Haji Ramang Ishaka bukanlah keturunan asli Manggarai. Silsilah keturunan Haji Ramang Ishaka justru membuka keran informasi yang mengejutkan, bahwa ayah dari Haji Ramang Ishaka, Ishaka bukanlah anak dari Dalu Bintang selaku “dalu” ulayat Nggorang.

“Kalau orang tidak dilahirkan dari budaya itu, “ici tanah” itu, dia tidak memahami. Dan itu tidak menggetarkan hatinya ketika kalimat itu “kapu manuk lele tuak” diungkapkan. Haji Ramang inikan bukan turunan Manggarai asli mereka. Bahasa mereka setiap hari itu bahasa Bima dan bahasa Bajo. Kalaupun mereka berbahasa Manggarai, ya karena mereka berbaur dengan orang Manggarai. Coba ditelusuri sejarahnya. Dan Bapak Ishaka itu, orang tua mereka dari mana?. Asal usul mereka dari mana?. Kenapa kok dia dianggap “dalu” sebagai fungsionaris adat,” tegas Edu.

Menariknya, Edu juga membeberkan, bahwa Hakumustafa bukanlah fungsionaris adat sebagaimana yang diakui oleh sebagian pihak. Menurutnya, Haku Mustafa hanyalah “Kepala Hamente (kepala kampung) atau kepala Desa“.

“Karena setahu saya. Setahu saya sebenarnya Hakumustafa ini sebenarnya bukan fungsionaria adat yang berurusan masalah tanah. Dia itu dulu hanya sebagai kepala Hamente. Atau sekarang sama dengan kepala kampung atau kepala desa,” jelas praktis hukum di Manggarai Barat itu.

Dikatakan Edu, kalau bapak Hakumustafa, dia memang itu dulu Tu,a Golo, Tu,a Golo di Nggorang. Dia dulu tinggal di Nggorang, dia sebagai Tua, Golo. Kemudian dia pindah ke Labuan Bajo bawah jabatan itu ke sini (Labuan Bajo). Jabatan itu bawah ke sini.

BACA JUGA:  Polres Mabar Terjunkan Ratusan Personel Lakukan Penjagaan pada saat Umat Muslim di Manggarai Barat Jalankan Ibadah Shalat Idul Adha 10 Dzulhijjah 1445 Hijriyah

“Saya tidak tahu bagaimana dalam prakteknya, sehingga Ishaka ini sebagai dalu dan haku mustafa ini dalu wakil. Ini namanya hantam kromo kalau dalam bahasa jawab. Artinya ala bisa karena biasa sehingga menjadi anggapan (sebagai dalu),” kata Edu.

Edu juga menepis anggapan umum selama ini yang menyebut, bahwa Ishaka lah orang yang menyerahkan tanah kepada Pemerintah Daerah (Pemda) Manggarai pada jaman dulu.

“Saya punya dokumen penyerahan tanah 6 lingko tanah Pemda dulu kepada pemerintah Kabupaten Manggarai. Itu kalau tidak salah tahun 1961 yang menyerahkan tanah itu sebagai Tu,a Golo, itu Haku Mustafa bukan Ishaka. Ada dokumen nya. Coba buka dokumen penyerahan tanah Pemda. Yang menyerahkan itu waktu itu sebagai Tu,a Golo Nggorang Bapak (adalah) Hakumustafa. Ada Bapak Ishaka kalau saya tidak salah, dia kepala Hamente,” tegasnya.

Apakah Ishaka ini anaknya Dalu Bintang?

“Setahu saya tidak ada hubungannya. Karena dia (dalu bintang) tidak ada anaknya. Kalau Hakumustafa ini  keponakan. Setahu saya, katanya Ishaka ini dulu anak dari Nggorang Reo. Dulu nama kecilnya Kongkeh. Entah bagaimana sampai di sini dipelihara oleh Dalu Bintang ini dulu. Katanya begitu. Saya tidak tahu Haji Umar Haji Ishaka bisa menceritakan sejarah itu,” ujarnya.

Pada kesempatan yang berbeda, Antonius Hantam pada Minggu, 16 Juni 2024 berdasarkan rilis yang diterima oleh media ini pada Rabu (19/6/24) menjelaskan, alasan kedaluan Nggorang tak miliki rumah adat karena belum adanya pemekaran atau “Bengkar Gendang” dalam bahasa lokal nya.

Sehingga tambah Antonius, perangkat adatnya pun tidak sama dengan Kempo, Boleng dan Mata Wae. Karena itu mereka tidak punya wewenang untuk membangun rumah adat, membuka lingko yang akhirnya nanti randang. Sehingga untuk Nggorang, Mburak dan Kenari tidak ada randang, karena tidak ada Tua Golo dan yang ada saat ini adalah ketua paguyuban yang ditunjuk.

BACA JUGA:  Ribuan Orang Ikut Prosesi Patung Bunda Maria Assumpta Nusantara

Di kisahkan Antonius, dahulu ada orang Kempo yang dipercayakan sebagai tu’a yang berkedudukan di Nggorang yang kemudian Belanda pun muncul.

“Kehadiran Belanda inilah yang justru merubah tatanan struktur adat. Belanda kemudian mengangkat Ishaka ayah dari Ramang sebagai dalu (Pemerintah saat itu) tetapi bukan tua adat. Hanya pada waktu itu tugas dalu di ex officio kan,” ujarnya.

Dikatakan Antonius, kehadiran Pius Wilhemus Papu dan Daniel Daeng Nabit selaku pembantu Bupati saat itu telah membuat kesepakatan dan menunjuk Ishaka dan Haku Mustafa sebagai Ulayat Nggorang.

“Tetapi waktu itu yang ditunjuk urutan satu itu Haku Mustafa, dan urutan dua itu Ishaka. Karena Haku itu sebenernya yang mewarisi turunan fungsionaris ulayat Nggorang sedangkan Ishaka itu sebagai pejabat Kepala Desa Golo Bilas dan sebagainya. Ishaka itu orang Pota”, jelas Antonius.

“Lalu Ramang Ishaka ini sebagai apa?. Apakah sebagai fungsionaris adat?. Tidak!. Syair, betul dia itu turunan tetapi tidak ada yang omong seperti itu di dalam adat Manggarai,” imbuh Antonius

“Yang ada itu, siapa tetua itu lalu diwariskan kepada siapa, tetapi melalui prosedur adat. Tidak hanya di cari-cari garis keturunan. Saya pernah dimintai penjelasan saat sidang kasasi perkara tanah ulayat Nggorang di Mahkamah Agung. Waktu itu saya tidak menjelaskan siapa Ramang dan Syair, tinggal mereka yang menilai diri mereka sendiri. Saya hanya bilang begini, satu wilayah persekutuan adat itu harus punya gendang, lingko dan masyarakat. Nah, kalau begitu bagaimana dengan Nggorang ini yang tidak punya gendang, lingko dan tua Golo. Bisa-bisa saja fungsionaris adat dianggap menjual tanah ulayat”, ujarnya. ***

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button