FLORESIANA

Antara Cinta, Rasa Kebersamaan dan Keberpolitikan

Oleh Usman D.Ganggang *

Siapa yang tidak tahu tentang cinta   dan rasa kebersamaan? Begitu juga dengan keberpolitikan atau hal-hal yang terkait dengan berpolitik. Tentulah tidak ada masalah buat kita. Boleh jadi yang menjadi pertanyaan adalah manakah yang lebih utama dalam keberpolitikan, cintakah atau harga diri? Dan, kebersamaan mana yang patut kita panuti dalam menikmati cinta? Lalu, hal-hal apa saja yang perlu kita jadikan bahan masukan dalam kegiatan berpolitik, sehingga apa yang menjadi tujuan berpolitik terwujudnyatakan?

Ketiga  pertanyaan di atas, sengaja diangkat ke permukaan lantaran masih ada yang keliru menafsirkan makna kehadiran ketiga kata tersebut. Di satu sisi, orang menerima  makna denotasi, makna yang sebenarnya. Sekedar contoh, dalam keseharian, kita senantiasa disuguhi kata-kata manis seperti  I love you (saya mencintaimu), I want you belong to me (saya ingin bersamamu). Lalu, dalam menerapkannya, ada sanksi karena pada sisi lain,  cinta dimaknai sebagai makna konotasi, bukan sebenarnya atau makna kiasan.

Pertanyaannya,  mengapa kebersamaan ini selalu kau khianati? Dan ini dia, politik itu kotor, karena ujungnya, kawan jadi lawan, karena dalam berpolitik, tidak ada kawan yang abadi. Nah, jadinya kita segera berdesis, ketika kau berpolitik, demi  mencapai tujuan keberpolitikan, kenapa cinta kau utamakan sementara harga diri dicampakkan?

Tak dapat disangkal, ungkapan-ungkapan yang disebut di atas, selalu ada dan ditemukan dalam kita berkomunikasi, sepertinya selalu mewarnai kegiatan kita dalam keseharian. Katakan  saja kegiatan dalam keberpolitikan, selalu saja ada yang menggerundel lantaran ada hal yang menusuk kalbu, sehingga muncul ungkapan seperti ini: ”Ada dusta di antara kita.” Pertanyaannya, mengapa ada dusta dalam cinta termasuk cinta dalam berpolitik?

Setidaknya, ini bermula dari keburu jatuh cinta. Kata wejangan Abunawas yang pandai berolah kata itu penting disimak. Menurutnya, kalau jatuh cinta, jatuhlah ke belakang. Mengapa harus begitu? Setidaknya, Abunawas mau menyarankan kepada kita untuk selalu berhati-hati dalam bercinta, termasuk cinta dalam berpolitik. Kalau jatuh cinta, katanya, jatuhlah ke belakang!

Tentu ke belakang maksudnya, adalah kepada kita diberi ruang untuk bernafas sekaligus memilah untuk memilih. Pantaskah  seseorang  itu  untuk dirajut dalam kata bermakna seperti ‘kebersamaan dalam cinta’? Jangan sampai kita terpengaruh lantaran tampangnya yang aduhai, kekayaannya yang menggunung, sementara kehebatannya serta sepak terjangnya  ternyata ‘tong kosong, nyaring bunyinya’.

Dalam keseharian,  kita selalu berujar,”ah, teori?” Boleh jadi, karena kita terperangkap dalam premis (pernyataan yang mendasari sebuah pendapat) yang berbunyi,”mencintai sangat sering diikuti dengan keharusan untuk berada dalam kebersamaan”. Ternyata kita lupa, kerap kali kita terbuai dengan kata cinta dan bersama tadi.

BACA JUGA:  Tetaplah Bersahaja

Pertanyaannya,untuk apa kita bercinta dalam kebersamaan, terkait politik misalnya? Pastilah kita sepakat apalagi kalau bukan mewujudnyatakan rasa kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.

W.W.Broadbont dalam bukunya, How to be Loved, mengupas hubungan yang mengasyikkan antara cinta dan rasa kebersamaan itu dengan dikotomi yang cukup ekstrim. Rasa kebersamaan dalam cinta, menurutnya ada dua macam yaitu actual belonging atau kebersamaan sejati dan quasy belonging atau rasa kebersamaan semu.

Jika dicermati secara saksama, maka actual belonging atau kebersamaan sejati itu tidak lain dari nyanyian harmonis dari kejujuran dan tanggung jawab. Kejujuran dalam artian bahwa mampu berbuat tidak manipulatif. Dan tanggung jawab yang menurut Ir.Poedjawijatna, berarti mampu mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa tindakannya itu baik karena objektif, sahih karena memang benar dan akurat karena ketepatannya.

Dengan demikian, apa yang perlu dilakukan demi mewujudnyatakan kejujuran dan tanggung jawab itu? Jiwo Wangu dalam artikelnya bertajuk Kebersamaan dalam Cinta yang dimuat dalam Majalah Bulanan ANDA [edisi 78 tahun 1983:41] mengungkapkan bahwa demi adanya kejujuran dan tanggung jawab, maka dibutuhkan sarana berupa komunikasi langsung, terbuka serta adanya kemauan yang sekaligus juga tindakan untuk dapat mendengarkan.

Fakta riil di lapangan menunjukkan bahwa kebersamaan dalam cinta (baca: secara umum), melalui sarana komunikasi terkadang tersumbat. Penyebabnya, kebersamaan yang dirajut, justru kebersamaan semu. Secara kasatmata ada jalinan kebersamaan, tapi ternyata kebersamaan yang ada adalah semu,  karena ada udang di balik batu. Kelihatannya, ada proses mendengar pesan komunikator (penyampai pesan), tapi bukan berusaha mendengarkan.

Pasalnya, mendengar dengan mendengarkan itu, beda nuansa makna. Ketika melakukan kegiatan mendengar, matanya tertuju pada sang komunikator, padahal itu ‘modus’ (modal dusta), hatinya pada orang lain. Penyebab lain, tidak suka mendengarkan orang lain, tapi kalau dia yang berbicara berharap orang lain mau mendengarkan pesannya.

Kalau itu yang terjadi, berarti kita tidak mau menerima orang lain, termasuk tidak mau menerima diri sendiri. Pasalnya? Iya jelas, di sana tidak ada harmonisasi antara  kejujuran dan tanggung jawab. Maunya didengar orang lain, sementara dirinya tidak mau mendengarkan orang lain. Maunya dipuji terus dan ketika  dikritik, malah marah. Mengapa mau enaknya sendiri?  Katanya, cintanya sudah dirajut tali kasih, ternyata, diretas sendiri. Sudah ada komitmen positif dalam berpolitik  untuk seia-sekata, tapi ternyata di lapangan malah saling menjatuhkan. Iya, ternyata komitmen itu, hanya di mulut saja. Bukankah itu, namanya dusta?

BACA JUGA:  Elegi Dua Cinta

Ketika cinta itu tumbuh dan berkembang, kata-kata manis selalu hadir tepat waktu. Jarang hilang   kata ‘bertemu’ dalam kamus mereka. Dan ketika bertemu, lahirlah syair-syair indah, semuanya untuk menggoda. “Saya mencintaimu dengan tulus”, sekedar contoh.  Tapi kemudian, jika ditemui dusta, mulailah hadir syair-syair bernada dendam kesumat. Terang bulan terang di kali/ Buaya muncul disangka mati/Jangan percaya mulut lelaki/ Berani sumpah takut mati//. Kesanksian pun muncul lantaran janji tak pernah ditepati.

Nah, inilah bukti kejengkelan seseorang jika ada tanda-tanda ‘hoax’ (bohong) terkait kebersamaan dalam cinta. Sampai mati pun, dia tidak percaya kepada mereka yang bermulut manis, meskipun manisnya semanis madu. Apalagi kalau syair di atas dibalas tuntas seperti berikut  ini. /Tinggi-tinggi gunung Rinjani/Salah sedikit miring ke kiri/Tinggi-tinggi nona sekarang ini/Salah sedikit kencing berdiri//. Haem, klop kan? Bagaimana lagi lagu kebersamaan itu hadir dalam bercinta (bersama dalam cinta) termasuk dalam merajut cinta untuk berpolitik?

Itulah sebabnya, orang bijak selalu mewanti-wanti sebelum jatuh cinta dalam berpolitik. “Berbicaralah sebelum engkau berbicara; Jangan sampai” Mulutmu harimaumu”. karena itu,  “Jangan mengundang susah ketika kita senang” atau “ketika kita senang jangan mengundang susah”. Itulah sebabnya, jika kita jatuh cinta,lalu kebersamaan dalam cinta itu, telah diraih, cermatilah kalimat-kalimat yang dihadirkan dalam seseorang berkomunikasi demi meraih cintanya.

Biasanya, kalimat-kalimat berikut yang selalu hadir demi kebersamaan sejati yang diharapkan pelaku cinta. (1) Perasaanku, kata-kataku serta tindakanku adalah satu merupakan persembahan bagimu, tanpa mengharapkan sesuatu kembali sebagai balasannya. (2) Aku tidak lebih dan tidak kurang darimu, duduk sama rendah berdiri sama tinggi. (3) Aku tahu bahwa kau butuh kuterima, begitu juga sebaliknya, aku butuh kau terima secara tulus tanpa bujuk rayu yang kadang malah menyesatkan.

Lalu, bagaimana strategi kita dalam memahami kebersamaan semu atau quasy belonging itu? Yang jelas dalam kebersamaan semu, diharapkan pelakunya adalah sebuah ibarat saja, artinya hanya sebagai upaya hadirkan gema saja, atau merupakan bayang-bayang saja dari realitas yang ada di sekitar lingkungannya.

Dalam berkomunikasi, selalu menghadirkan kalimat-kalimat ambigu (bermakna ganda) dan akan nampak dalam  tindakan kesehariannya. seperti ini. (1) Tidak pernah berterus terang kepada siapa pun akan hal-hal sebenarnya sedang bergejolak dalam dirinya. (2) Berperisai diri untuk tujuan menepis kejadian-kejadian merugikan yang ditujukan kepada dirinya. Dan (3) ini dia, selalu ber-hoax ria (berbohong) kepada siapa pun.

BACA JUGA:  Berkolaborasi Majukan Manggarai Barat

Mengapa pelaku kebersamaan semu ini menghadirkan premis (pernyataan yang mendasari pendapat) selalu berambigu (bermakna bias) dalam memaparkan pesannya kepada yang dicintainya? Setidaknya, dalam relung hatinya berusaha sedapat mungkin, menyembunyikan dirinya, jangan sampai diketahui orang lain. Iya, dia menutupi  tingkah lakunya, jangan sampai diketahui orang lain. Maka tidak heran jika dalam kesehariannya selalu ada perang batin. Itu semua terjadi lantaran tidak terbuka dalam urusan berkomunikasi.

Itu pulalah sebabnya, dalam berpolitik jangan hanya mendasarkan diri pada soal cinta saja. Harus disadari bahwa untuk meraih kebahagiaan itu, bukan saja  bermodal cinta, karena bukankah masih banyak  unsur penunjang kebahagiaan  yang lainnya seperti harga diri. Premis ini hadir sekaligus menjawab pertanyaan di awal tulisan ini, “Ketika kau berpolitik, demi  mencapai tujuan keberpolitikan, kenapa cinta kau utamakan sementara harga diri dicampakkan?”

Ternyata dengan hanya bermodal cinta saja, tujuan berpolitik untuk mencapai kebahagiaan, belumlah cukup, sebab terkadang orang tidak  merasa bahagia dengan cintanya lantaran dia kehilangan harga diri dalam berpolitik.  Motto Broadbent tentang cinta yang dikutip Jiwo Mangu barangkali kita cermati untuk diambil maknanya dalam kehidupan keseharian.

Moto tersebut berbunyi,” If you are trying to make people love you, they won’t! (Jika Anda mencoba membuat orang mencintai Anda, mereka tidak akan melakukannya!)  Iya, mengapa tidak? Terlalu sering kita berusaha untuk memiliki agar dapat dicintai. Terlalu sering kita berusaha memiliki untuk bisa  diterima. “Saudara,  bijaksanakah itu?” tanya Jiwo Wungu dalam artikelnya bertajuk,”Kebersamaan dalam Cinta” yang terbit dalam Majalah ANDA edisi tahun 1983.

Nah, ketika keberpolitikan itu mengarah ke kebersamaan semu seperti  terurai di atas, maka yang diterima adalah kebersamaan cinta dalam berpolitk yang semu. Inilah yang menyebabkan ada orang yang berpremis, “Cinta itu buta” dan ”Politik itu kotor.”  Padahal yang buta dan kotor itu bukan cinta dan politiknya, akan tetapi orangnya. Sementara  politik itu, baik adanya.  Kalau tidak baik atau kotor, mengapa pula politikus terjun ke dunia politik?

Mengakhiri tulisan ini, penulis mengajak pembaca untuk bertanya,“Mestikah politik itu dicederai gara-gara kita kurang memahami kegiatan berpolitik? Seharusnya, dalam keberpolitikan, kita harus junjung tinggi kejujuran dan tanggung jawab seperti kalau seseorang mau nikah tentulah  bermula  dari kebersamaan sejati  dalam merajut cinta, sehingga ujungnya tak ada dusta di antara kita’.*

Penulis kelahiran Bambor,  Manggarai Barat- Flores, berdomisili di Kota Kesultanan Bima-NTB

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button