Bulan April 2015, bersama dua rekan guru, kami menginjakkan kaki pertama kali di tanah Hewa Lewo Rotan. Tepatnya di lembaga pendidikan SMPN 3 Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur. Tujuan kedatangan kami adalah untuk melapor diri.
Dalam SK pengangkatan CPNS, kami mendapat penempatan di SMPN 3 Wulanggitangkan, Hewa. Saat itu, kampung yang berada di Pantai Selatan Wulanggitang ini begitu asing. Namun kami harus mendatangi kampung ini. Karena tugas pengabdian memanggil.
Ketika tiba di Spentig Hewa, kepala sekolah saat itu, Bapak Hen Kelen tidak ada di sekolah. Hanya ada wakil kepada sekolah saat itu. Dan kami menemui beliau. Kami menyampaikan maksud kedatangan di lembaga ini. Mendengar itu, beliau menyarankan agar kami menemui pimpinan sekolah yang saat itu sedang mengikuti pertemuan di kantor camat Wulanggitang, Boru.
Beliau memberi nomor HP Pak Hen Kelen untuk kami hubungi. Kami pun pamit meninggalkan lembaga pendidikan ini. Itulah awal pertemuan dengan sosok guru ini.
Bulan Juli, di awal tahun pelajaran 2015-2016, kami mulai mengabdi di lembaga Spentig Hewa. Sejak saat itu, sosok guru yang pertama kali menyambut kedatangan kami ini, baru kami kenal lebih jauh. Felix Pebruyanto Liwu, namanya. Biasa disapa Pak Yanto.
Di SMPN 3 Wulanggitang, Pak Yanto adalah sosok yang dituakan. Baik dari sisi usia maupun masa pengabdian. Secara usia, beliau adalah guru senior. Dan berdasarkan masa kerja, putra Hewa ini adalah guru perdana Spentig Hewa.
Ketika SMPN 3 Wulanggitang didirikan tahun 2003, Pak Yanto bersama beberapa rekan guru menjadi pendidik angkatan pertama lembaga ini. Menurut Bapak Yan Oja, kepala sekolah perdana SMPN 3 Wulanggitang, ketika dipercayakan menjadi pimpinan di lembaga pendidikan baru ini, beliau mengajukan persyaratan agar harus ada guru orang Hewa yang mengajar di lembaga ini.
Dan beliau merekomendasikan Pak Yanto Liwu untuk bersama-sama membangun taman pendidikan ini. Pak Yanto yang saat itu mengabdi di SDK Kokang, dipindah tugaskan ke SMPN 3 Wulanggitang. Sejak saat itu, Pak Yanto mengabdi hingga kini di Spentig Hewa.
Sejak SMPN 3 Wulanggitang didirikan, banyak guru yang datang ke dan pindah dari sekolah ini, tetapi Pak Yanto memilih setia mengabdi di lewo tanahnya, Hewa Lewo Rotan.
Sebagai guru senior di Spentig Hewa, suara Pak Yanto sangat didengarkan. Pak Yanto adalah solusi atas setiap permasalahan. Dan bila ada persoalan, Pak Yanto adalah problem solver.
Sembilan tahun bersama di Spentig Hewa, saya mengenal baik dan akrab dengan Pak Yanto. Dan saya bersaksi, Pak Yanto adalah orang yang sangat baik. Kebaikan itu terpancar dari sikap dan cara hidupnya.
Sabar adalah keutamaan hidup yang dimiliki Pak Yanto. Dia tidak pernah marah dengan siapa pun. Baik pada rekan kerja maupun siswa. Yang ada pada Pak Yanto hanya senyum.
Pak Yanto adalah sosok yang humoris. Kehadirannya selalu membawa keceriaan. Di mana ada Pak Yanto, di situ ada canda tawa. Ia membuat suasana yang tegang menjadi rileks.
Pak Yanto adalah figur yang selalu ingin belajar. Ia memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan selalu haus akan ilmu dan pengetahuan. Baginya, belajar bisa dengan siapa saja. Pada guru yunior pun, dia tidak segan belajar.
Pak Yanto adalah pribadi yang terbuka. Dia bergaul dengan siapa saja dan selalu menerima perbedaan. Menghadapi rekan kerja yang memiliki pandangan berbeda, Pak Yanto tidak memaksakan kehendak. Bila ada rekan guru yang berbeda sikap, Pak Yanto menghormatinya.
Dalam kebersamaan ini, banyak yang saya pelajari dari Pak Yanto. Sebagai guru muda dengan darah yang masih ”mendidih” dari Pak Yanto saya belajar sikap sabar. Terutama dalam menghadapi anak-anak dengan sikap dan tingkah laku yang ”aneh”.
Kesabaran adalah salah satu soft skill yang harus dimiliki guru. Guru akan berhadapan dengan anak didik yang berbeda karakter dan tingkah laku. Karena itu guru dituntut menjadi seorang penyabar. Guru yang penyabar akan membuat siswa merasa nyaman dan senang berada di dekatnya.
Dan Pak Yanto tidak mengajarkan definisi tentang kesabaran tetapi memberi contoh bagaimana bersikap sabar. Kesabarannya dalam mendidik menjadi teladan bagi guru-guru muda.
Di Spentig Hewa, Pak Yanto adalah ”otak” di balik kesuksesan setiap acara dan atau kegiatan. Setiap susunan acara atau kegiatan dirancang dan dipandu olehnya. Saya beruntung, sejak mengabdi di Spentig Hewa, Pak Yanto mengajak saya terlibat dalam memandu acara di sekolah.
Suatu waktu, Pak Yanto meminta saya, ”No, bantu saya pandu acara ini dulu, ya.” Sejak saat itu kami berdua saling berbagi peran; selalu bergantian memandu setiap acara di Spentig Hewa. Kalau bukan Pak Yanto yang menjadi MC, berarti saya. Kalau bukan saya yang menjadi MC, berarti Pak Yanto.
Selain di sekolah, saya juga belajar dari dan bersama Pak Yanto di organisasi profesi guru, PGRI. Awal menjadi pengurus organisasi profesi ini, ya, karena Pak Yanto.
Tahun 2016, dilaksanakan konferensi kerja PGRI tingkat cabang Wulanggitang di SMPN 3 Wulanggitang. Agenda konfercab saat itu adalah pemilihan pengurus cabang yang baru.
Pak Yanto mendorong saya masuk dalam kepengurusan menjadi ketua bidang pengembangan profesi. Awalnya saya menolak. Alasan saya, baru 1 tahun saya mengabdi di Hewa. Masih banyak guru lain yang lebih senior dan pantas menduduki jabatan tersebut. Tetapi Pak Yanto meyakinkan saya, ”No, ini kesempatan yang baik untukmu.”
Sejak saat itu kami bergiat bersama-sama di PGRI. Baik di tingkat ranting maupun cabang. Di tingkat ranting Hewa, Pak Yanto didaulat menjadi dewan penasihat. Di tingkat cabang Wulanggitang, ia dipercaya menjadi ketua bidang pengembangan karir.
Tidak hanya menjalankan tugas pokok sebagai guru, Pak Yanto juga terlibat dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan-keagamaan. Dalam urusan keagamaan, Pak Yanto masuk dalam kepengurusan mulai dari basis, lingkungan, dan paroki.
Hidup Pak Yanto selalu diabdikan untuk banyak orang. Orientasi hidupnya adalah pada pengabdian bagi sesama. Meminjam kata-kata Pater Stef Dampur, SVD, Pak Yanto adalah man for others. Hidup untuk menjadi ”manusia bagi sesama.”
Sabtu, 5 Oktober 2024, tepat saat seluruh dunia merayakan Hari Guru Dunia, sosok guru yang baik yang mengabdi di kampung nan-sunyi, Hewa ini, pergi meninggalkan kita semua. Tanpa mengalami sakit berat sebelumnya, hanya gejala sakit di dada, semua mendadak berlalu begitu cepat.
Pak Yanto, Bapak telah mendarmakan seluruh hidupmu untuk pendidikan, khususnya di taman pendidikan Spentig Hewa. Tidak hanya untuk anak murid, tetapi juga untuk rekan-rekan guru melalui organisasi profesi guru PGRI.
Semua dedikasi dan keteladanan yang telah engkau berikan adalah legacy yang akan selalu kami kenang. Selamat jalan bapak, rekan dan sahabat guru yang baik. Rest in love. [Gerard Kuma Apeutung]