
Siang itu, Selasa, 22 Juli 2025, saya bersama Inocentius Peni, rekan anggota DPRD Manggarai Barat (Mabar) berkesempatan mendampingi Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Ahmad Yohan dan utusan khusus Presiden Bidang Pariwisata, Zita Anjani berkunjung ke destinasi wisata budaya Wae Rebo, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Perjalanan ini terasa special karena bukan jalan-jalan biasa tetapi sebuah perjalanan kunjungan kerja kenegaraan. Kebetulan kunjungan kerja kali ini juga bertepatan dengan perayaan Hari Anak Nasional (HAN) sehingga kami berkesempatan merayakannya bersama anak-anak dan para guru di SDK Denge, Kecamatan Satarmese.
Tiba di Denge, kami diterima oleh para guru dan anak-anak sekolah. Kami mengikuti serangkaian kegiatan perayaan Hari Anak Nasional. Usai merayakan Hari Anak Nasional bersama anak-anak SDK Denge, kami melanjutkan perjalanan menuju kampung tradisional Wae Rebo yang berjarak sekitar 10 km.
Untuk menuju Kampung Wae Rebo, kami harus berjalan kaki. Kendaraan yang kami tumpangi hanya bisa sampai di kaki gunung, selanjutnya kami harus perjalanan kaki atau trekking menelusuri jalan setapak yang berkelok-kelok, mendaki dengan medan yang lumayan menantang.
Setiap pengujung yang hendak ke Wae Rebo harus berjalan kaki. Tidak ada pilihan lain. Maklum, medan menuju ke Kampung Wae Rebo tidak mudah. Selain harus melewati hutan belantara yang lebat, juga dikelilingi tebing yang tinggi dan curam. Tentu saja perjalanan akan menguras tenaga dan membutuhkan persiapan yang matang.
Namun, bagi pengunjung atau wisatawan yang ingin menikmati suasana alam, Wae Rebo menawarkan pengalaman wisata yang sangat menyenangkan. Di sepanjang perjalanan, pengunjung dapat menikmati desiran air dari tebing-tebing curam diiringi kicauan burung seakan menyambut setiap orang yang datang bertamu.
Perjalanan sungguh melelahkan serentak mengasyikan. Betapa tidak, bagi mereka yang sudah terbiasa mendaki gunung atau trekking ke puncak, rasanya sudah terbiasa, namun bagi para pengunjung yang baru pertamakali melakukan perjalanan ke Wae Rebo, barangkali ini sebuah pengalaman perjalanan wisata yang paling menantang.
Pengalaman seperti ini juga yang kami alami. Tak terhitung entah berapa banyak kami harus berhenti di beberapa titik untuk sekedar melepas kepenatan. Entah seberapa botol air mineral yang kami teguk untuk sekedar membasahi tenggorokan yang terasa gerah. Namun, yang pasti, kami beberapa kali terpaksa beristirahat untuk sekedar melap keringat yang mulai membasahi tubuh. Rasa letih dan haus tampak menghiasi wajah kami, namun berkat kerinduan dan tekad untuk menikmati keindahan Wae Rebo dan rindu bertemu dengan warga setempat mendorong kami untuk terus berjalan menyusuri setiap tapak jalan di bawah teduhnya pepohonan yang rindang.
Sekitar tiga jam perjalanan, akhirnya kami tiba di gerbang Kampung Wae Rebo. Rasa letih dan capek seketika terasa hilang saat menikmati pemandangan alam Wae Rebo yang mempesona. Tampak terbentang gugusan pegunungan mengeliling kampung adat Wae Rebo yang unik nan asri.
Kedatangan kami disambut sukacita oleh para tetua adat dan warga Kampung Wae Rebo. Mereka menyambut kami dengan hangat. Kami diterima secara adat Manggarai oleh beberapa tetua adat. Suasana akrab dan penuh canda mewarnai pertemuan kami siang itu.

Dalam dialog bersama warga dan para tua adat, beberapa pesan dan harapan mereka sampaikan kepada kami khususnya kepada utusan khusus Presden Parobowo Subianto bidang pariwisata. Warga berharap agar pemerintah memperhatikan kampung halaman mereka yang sudah menjadi destinasi wisata budaya terkenal.
Ibu Zita dan Bapak Ahmad Yohan menyampaikan terima kasih atas penyambutan yang luar biasa. Usai berdialog, Ibu Zita selaku utusan khusus Presiden Prabowo Subianto dan Bapak Ahmad Yohan menyerahkan bantuan untuk operasional rumah adat Wae Rebo. Usai berdialog dan menikmati keindahan alam Wae Rebo, kami pun kembali ke Labuan Bajo.
Kami pun pamit meninggalkan Kampung Wae Rebo yang pesona. Perjalanan ‘pulang’ boleh dibilang terasa lebih enteng dan waktu tempuh lebih singkat dibandingkan perjalanan ‘pergi’ karena jalan menurun. Kami akhirnya tiba di kaki gunung. Kendaraan yang kami tumpangi telah siap menyambut kami untuk selanjutnya membawa kami kembali ke Labuan Bajo.*