Ketika Joko Widodo tampil sebagai kandidat calon presiden dalam Pemilu 2014, dia mengusung ide yang amat elegan, brilian yakni revolusi mental. Gagasan ini pun mendapat tanggapan yang luar biasa dari seluruh warga masyarakat Indonesia, yang pada waktu itu, menginginkan perubahan ke arah yang semakin baik.
Ditambah lagi, Joko Widodo, yang pada waktu itu pula adalah Gubernur DKI Jakarta, acapkali menampilkan diri sebagai sosok yang merakyat dengan kesederhanaannya, blusukan-blusukan-nya, ucapan-ucapannya yang menunjukkan keberpihakannya terhadap warga masyarakat biasa, dan dalam kondisi tertentu mengabaikan protokoler yang kaku agar dapat bertemu dan berbincang dengan warga biasa, semakin membuat simpatik banyak orang.
Respons yang begitu antusias itu ditunjukkan dan dibuktikan dengan dukungan suara pemilih yang memenangkan Joko Widodo berpasangan Jusuf Kala sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2014-2019. Singkat kata, konsep pembangunan revolusi mental dan sosok Joko Widodo yang sederhana, merakyat, sukses menggugah nurani pemilih untuk mengantarkannya ke puncak kekuasaan.
Pada awal pemerintahannya, tanda-tanda harapan akan perubahan dapat dilihat dalam:
Pertama, cara Presiden Joko Widodo merekrut pembantu-pembantunya masuk dalam kabinet kerja. Berdasarkan catatan tempo.co, para calon menteri dipilih melalui proses yang ketat dan hati-hati dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan(PPATK), misalnya. Standar pemilihan yang ditetapkan adalah memiliki kemampuan operasional, kepemimpinan dan manajerial yang baik (tempo.co 26/10/2014).
Kedua, Jokowi memiliki konsep pembangunan yang amat kokoh secara konseptual, yang dirincikan dalam 9 agenda prioritas. Kesembilan agenda prioritas itu dikenal dengan nama program nawacita. Program ini dianggap sebagai cara jitu menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi dan berpribadian dalam kebudayaan (kompas.com 21/5/2014). Dengan kata lain, Jokowi coba mengimplementasikan sila kelima Pancasila yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia melalui program nawacita.
Ketiga, Jokowi mengumandangkan slogan Jokowi-JK adalah Kita. Dengan menyebut ‘Kita’, di dalamnya terdapat kesetaraan, senasib, seperjuangan. Di dalam ‘kita’ perbedaan dilihat sebagai harmoni, bukan ancaman. Di dalam ‘kita’, tidak cukup hanya sebatas simpati tapi lebih dalam dari itu, empati. Unsur mengutamakan kepentingan diri dan kelompok tidak mendapat tempat di dalam ‘kita’.
Dalam ‘kekitaan’ tidak ada relasi saling merendahkan, saling menghina, saling bermusuhan, saling membunuh, saling meniadakan. Dalam formula filosofis, di dalam ‘kita’, tidak ada lagi saling mengobjekkan. Tidak ada lagi aku-engkau, sebab aku-engkau telah melebur menjadi kita. Aku melihat ‘yang lain’ sebagai ‘aku yang lain’.
Model relasi itu, dalam aliran filsafat eksistensial (Martin Buber, Gabriel Marcel, Emanuel Levinas), disebut relasi intersubjektif. Di dalamnya mereka saling memberi arti, saling mengandaikan. Dirumuskan secara sederhana, ada rasa saling menghargai, saling menerima, saling memahami di antara sesama manusia.
Dengan lain perkataan, ‘kekitaan’ mendeskripsikan suatu kondisi yang tidak ada jarak antara pemimpin dengan rakyatnya. Apapun yang dialami dan dirasakan rakyat turut pula dialami dan dirasakan oleh pemimpinnya. Meminjam bahasa Konsili Vatikan II, kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan rakyat adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan pemimpinnya juga.
Dalam falsafah Bangsa Indonesia, deskripsi tentang ‘kekitaan’ dalam arti yang lebih luas dan dalam, sesungguhnya dirangkum dan dipadatkan dalam Pancasila. Di sini dapat disebutkan beberapa seperti persatuan, kebersamaan, gotong-royong, saling menolong, kepedulian, belarasa.
Awal yang baik
Presiden Jokowi memulai pemerintahannya dengan bersikap responsif terhadap keluhan dan kondisi masyarakat terutama yang mengalami bencana. Dia terjun langsung ke lokasi kejadian untuk mengetahui secara langsung peristiwa yang sebenarnya, bukan hanya menunggu laporan sambil duduk manis di belakang meja. Terjun langsung ke lapangan itulah yang kemudian dikenal dengan blusukan.
Pembangunan mulai dari pinggiran yang termuat dalam program nawacita diejawantahkan Presiden Jokowi. Wilayah di Indonesia Timur termasuk Papua dan NTT mendapat perhatian Jokowi. Dalam periode pertamanya, menurut catatan kompas.com., Jokowi mengunjungi Papua 12 kali (kompas.com 30/8/2022). Bahkan Jokowi berani mengambil risiko dengan melakukan kunjungan ke Nduga, sebuah wilayah yang bukan hanya secara geografis, sulit, tapi juga dapat mengancam keselamatan jiwanya karena kondisi keamanan yang kurang terjamin (detik.com 7/12/2018).
Sikap yang demikian menjadikan Jokowi sebagai figur pemimpin yang dinanti-nanti kedatangannya oleh warga masyarakat. Buktinya, adalah warga selalu antusias dan tengggelam dalam euforia penyambutan Jokowi. Mereka mengabaikan keruwetan protokoler yang bisa saja mempersulitnya bahkan berani menerobos pengawalan ketat hanya untuk bisa berjabatan tangan dengan Jokowi.
Lebih dari itu, mereka mengesampingkan rutinitas pekerjaannya (kesibukan harian), mereka pun rela berdesak-desakan, menahan panas teriknya matahari hanya untuk melihat Jokowi dari dekat. Moment itupun diabadikan dengan berselfie ria bersama sebagai bukti tak terbantahkan dan pengalaman mengharukan yang diperteguh oleh pemberitaan media yang bernada sanjungan, puja-puji.
Ringkasnya, dalam periode awal pemerintahannya, Presiden Jokowi memberi kesan positif bagi para pendukungnya. Kesan baik tentang Jokowi pun mendapat atensi dari beberapa akademisi dan aktivis yang selanjutnya mendukung Jokowi dengan masuk ke dalam kabinetnya atau menjadi staf khusus, misalnya. Kesan baik itu pula yang membuatnya memperoleh kepercayaan rakyat dengan terpilih kembali memimpin Indonesia pada periode kedua.
Akhir yang Menggeramkan
Seiring perjalanan waktu, Presiden Jokowi yang dahulunya menjadi pemimpin idaman rakyat, mulai berubah. Tanda-tanda yang membalikkan semua kesan baik tentang Jokowi sebagai pemimpin yang berjiwa reformis mulai pelan-pelan ditinggalkannya sendiri di awal periode kedua.
Tanda-tanda itu dapat dibaca dalam beberapa peristiwa. Di sini saya hanya menyebut beberapa di antaranya:
Pertama, Presiden Jokowi merangkul partai-partai yang sebelumnya sangat kritis terhadap kebijakan dan programnya. Alhasil, tak ada lagi partai yang beroposisi. Dalam bahasa Ignas Kleden, oposisi yang dilembagakan, praktis tidak ada lagi. Dengan demikian harapan ditumpukan pada kebaikan Presiden Jokowi dan lingkungannya semata yang tidak mungkin salah dalam membuat kebijakan dan menjalankan program-programnya dan tidak mungkin pula menyelewengkan kekuasaannya.
Kedua, dalam hal perekrutan calon pembantunya (menteri), Presiden Jokowi pun tidak lagi melibatkan KPK dan PPATK untuk meminta pertimbangan. Dia lebih memilih memanfaatkan hak prerogatifnya sebagai presiden walaupun tidak benar-benar bebas murni dari intervensi partai politik yang mendukungnya.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dalam hal intervensi partai politik terkait calon menteri, di belakang layar selalu ada kasak-kusuk, ada ruang negosiasi untuk menempatkan siapa yang sesuai dengan kemauan (kepentingan) keduanya (presiden dan partai politik).
Ketiga, Presiden Jokowi memperkuat posisinya dengan menempatkan orang-orang dari TNI-POLRI (atau pensiunan TNI-POLRI) di lingkaran kekuasaannya, termasuk di kabinet kerja II, misalnya. Model ini dapat ditafsir sebagai cara Presiden Jokowi mengamankan (mengokohkan) kekuasaannya. Dalam sistem tata kelola (manajemen) institusi TNI-POLRI hanya dikenal satu komando (mempunyai garis komando yang jelas). Apapun yang menjadi perintah atasan, hanya dijalankan oleh bawahan tanpa perlu bertanya. Dengan demikian jawaban “siap, komandan!” mendapat implementasinya yang murni dan konsekuen.
Keempat, mulai disebarkannya isu tiga periode. Setelah mendapat protes dari berbagai elemen bangsa, isu tersebut bergeser menjadi perpanjangan masa jabatan presiden (tentang poin ini lihat tulisan saya, “Pendidikan Karakter Minus Keteladanan, Poskupang.com 4/3/2022). Adalah relawan Jokowi yang menggaungkan isu tersebut yang selanjutnya mendapat dukungan dari beberapa menteri seperti Bahlil Lahadalia dan Zulkifli Hasan.
Kelima, kalau diperhatikan dengan saksama, setelah cengkeraman kekuasaannya dirasa cukup kuat (merasa kuat dengan posisinya), Presiden Jokowi mulai melakukan cawe-cawe (baca: intervensi dengan cara amat cerdik. Sebab jika ditanya, jawabannya selalu normatif).
Masih segar dalam ingatan kita, prahara Partai Demokrat, misalnya. Partai Demokrat terbelah dalam dua kubu yakni kubu Moeldoko yang menempatkannya sebagai ketua umum hasil kongres luar biasa dan kubu Agus Harimurti Yudhoyono sebagai ketua umum hasil kongres ke-5 (sindonews.com 9/3/2021).
Pada waktu itu, cawe-cawe Presiden Jokowi masih ilam-ilam. Walaupun dibantah oleh pihak istana, namun polemik terkait cawe-cawe Presiden Jokowi berlangsung terbuka di tengah masyarakat dan disoroti pelbagai media.
Dalam kaitan dengan cawe-cawe, kompas.com mencatat, Presiden Jokowi memulai cawe-cawenya dengan mengundang para ketua umum partai politik ke istana (kompas.com 28/12/2023). Lagi-lagi Presiden Jokowi membantah peristiwa itu sebagai bentuk cawe-cawe dirinya.
Cawe-Cawe yang Vulgar
Namun, dalam pertemuan dengan para pimpinan media nasional dan sejumlah podcaster di Istana 29 Mei 2023, dalam catatan Kompas.com, Presiden Jokowi dengan tegas mengaku akan cawe-cawe dalam Pemilu 2024. Alasan yang dikemukakan begitu luhur dan mulia yakni demi kepentingan bangsa dan negara, untuk kepentingan pemilu yang demokratis, baik dan aman tanpa meninggalkan polarisasi, bentuk tanggung jawab moral sebagai presiden.
Jadi perihal cawe-cawe yang sebelumnya dibantahnya sendiri, justru kini diakui oleh Presiden Jokowi sendiri. Dalam konteks ini dapat dikatakan, Presiden Jokowi membantah dirinya sendiri. Dengan bahasa yang lebih ekstrim, Presiden Jokowi adalah sumber masalah. Sebab apa yang diucapkannya menjadi bahan perdebatan di tengah masyarakat, menimbulkan pro dan kontra, polemik, kegaduhan secara politis.
Selanjutnya, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya memberi kesempatan kepada calon presiden dan wakil presiden yang berusia di bawah 40 tahun, namun yang sudah berpengalaman sebagai pejabat negara atau kepala daerah, banyak pihak menilai Presiden Jokowi turut cawe-cawe.
Sebab anaknya, Gibran akan menjadi calon wakil presiden yang berpasangan dengan Prabowo sebagai calon Presiden. Lagipula pada saat putusan itu dikeluarkan, Ketua MK dijabat oleh Anwar Usman yang adalah paman Gibran. Di kemudian hari, keduanya terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2024-2029.
Cawe-Cawe Lagi
Dugaan sebagian besar pengamat, akademisi dan aktivis terkait cawe-cawe Presiden Jokowi dalam Pilkada pun semakin menguat yang dapat dilihat dalam upaya perubahan batas usia calon kepala daerah dalam UU Pilkada, walaupun pengajuan permohonan perubahan batas usia tersebut diajukan Partai Garda Republik Indonesia (Garuda) ke Mahkamah Agung.
Permohonan itu pun dikabulkan Mahkamah Agung dalam putusan nomor 23 P/HUM/2024, yang intinya syarat usia bagi calon Gubernur dan Wakil Gubernur paling rendah 30 tahun dan 25 tahun untuk calon Bupati dan Wakil Bupati atau calon Walikota dan Wakil Walikota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih (hukumonline.com 31/5/2024). Selanjutnya, MA memerintahkan KPU untuk merubah aturan penentuan usia perserta pilkada yang di kemudian hari dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Rentetan tindak-tanduk yang disebutkan di atas memicu protes dari sejumlah masyarakat termasuk akademisi, pengamat, aktivis dan lebih-lebih mahasiswa. Mereka turun ke jalan melakukan demonstrasi. Mereka geram dengan perilaku-perilaku yang mengabaikan moralitas dan nilai-nilai demokrasi dalam penyelanggaraan negara.
Nikmatnya Berkuasa
Mahfud MD menulis, kekuasaan itu enak sekaligus memabukkan dan membuat ketagihan adalah fakta. Orang yang berkuasa bisa menikmati berbagai fasilitas dan kemudahan. Semua keperluannya bisa dipenuhi, ditemani pengawal dan ajudan, dijemput sambil dielu-elukan dengan meriah serta dihormati secara berjongkok kalau berkunjung ke suatu tempat. Maka itu, banyak orang yang mabuk dan kecanduan kekuasaan. Untuk dapat mempertahankan kekuasaan, orang-orang yang mabuk kekuasaan kerapkali bertingkah aneh-aneh tanpa risih (koran sindo, 16/3/2013).
De facto, dapat disaksikan pula, baik secara langsung maupun tidak langsung, ataupun mendengar cerita orang, mereka yang berkuasa itu memperoleh privelese, mendapat perlakuan yang istemewa, memperoleh akses yang gampang hampir dalam pelbagai urusan bahkan aturan pun bisa saja dilanggar hanya demi memudahkan, memperlancar urusannya.
Mabuk kekuasaan, kata Mahfud MD, atau ungkapan lain yang senada, kekuasaan yang membutakan, membuat orang yang berkuasa itu irasional. Segala daya upaya dikerahkan olehnya untuk melanggengkan kekuasaannya. Intrik-intrik penuh kecerdikan pun dilakukan hanya demi meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Dalam hal mabuk kekuasaan, telah dicatat dalam sejarah dunia, termasuk dalam sejarah bangsa ini, pemimpin-pemimpin yang terjerumus di dalamnya. Di level internasional, ada Hitler (Jerman), Musolini (Italia), Kadaffi (Libia), Fidel Kastro (Kuba), misalnya. Di Indonesia, ada Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Soekarno pun tergelincir di dalamnya, empat tahun sebelum lengser, dengan dinyatakannya sebagai Presiden seumur hidup melalui ketetapan MPRS No. III/MPRS tahun 1963 (kompas.com 21/11/2021).
Mengapa Jokowi?
Dalam tulisan ini, pembaca mendapat kesan yang amat hiperbola dalam mendeskripsikan figur kepemimpinan Jokowi dalam tulisan ini. Seakan-akan cuma Jokowi sendiri yang dapat tergoda oleh keenakan kekuasaan. Padahal perihal keterlenaan dalam berkuasa bisa saja dialami siapa pun dalam pelbagai tingkatan, bidang termasuk pemimpin agama. Lalu saya dianggap tidak peduli terhadap figur-figur pemimpin yang ada di daerah, termasuk yang paling rendah sekalipun seperti di level RT, pimpinan dinas (unit), yang juga terbuai oleh kekuasaan.
Sekali lagi, saya tidak mempunyai maksud yang demikian. Saya memiliki beberapa alasan mengapa Jokowi mendapat atensi lebih dalam tulisan ini.
Pertama, Jokowi adalah Presiden yang sedang berkuasa saat ini. Sesungguhnya pengalaman Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto dapat menjadi model pembelajaran yang kasat mata dan sempuna baginya. Jokowi pun dapat belajar pada pemimpin dunia lainnya yang terbuai oleh kekuasaan dan akhirnya harus diturunkan dengan cara yang tidak terhormat bahkan melalui pertumpahan darah, perang saudara.
Kedua, sebagai orang nomor satu di republik ini, Jokowi, dengan segala wewenang dan pengaruh yang ada padanya, jika dia mau, dapat melakukan banyak hal lagi yang lebih baik bagi bangsa ini dalam periode kedua sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam periode pertama masa kepemimpinannya. Lebih dari itu, dia juga dapat mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu padu dengan mengerahkan segala sumber daya demi memajukan bangsa ini agar setara dengan negara maju lainnya. Rakyat akan berada di belakangnya, mendukungnya demi mewujudkan cita-cita: kebaikan bersama.
Ketiga, Jokowi mengusung gagasan revolusi mental. Dengan ide revolusi mental yang amat brilian yang digaungkannya sendiri ketika mulai menjalankan pemerintahannya, justru dilawan pula oleh Jokowi sendiri terutama di penghujung masa baktinya. Apakah konsep ini hanya trik Jokowi untuk mendulang suara dalam Pilpres, menarik simpati rakyat? Apakah gagasan ini diusung hanya supaya kelihatan hebat? Apakah buah pemikiran itu lahir dari kepeduliannya untuk sungguh-sungguh memihak orang yang lemah dan terpinggirkan? Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bersifat dugaan. Sebab yang paling tahu adalah Presiden Jokowi sendiri.
Keempat, Jokowi memulai kariernya dari orang biasa (lahir dari orang yang biasa-biasa saja, tukang mebel). Dengan latar belakang itu, dalam pikiran banyak orang, tentu berkeyakinan bahwa Jokowi mengenal dengan amat baik kehidupan rakyat jelata pada umumnya. Kemudian berbekal pengetahuan dan pengenalan yang baik itu, Jokowi melakukan terobosan melalui kebijakan-kebijakan dan program-program yang berpihak pada rakyat terutama orang kecil, lalu mempertahankan sikap dan keberpihakannya hingga akhir masa jabatannya.
Kelima, oleh karena Jokowi berada di puncak kekuasaan (Presiden), dengan sendirinya sorotan mata seluruh rakyat Indonesia tertuju padanya. Apa pun ucapannya, perilakunya, sikapnya, penampilannya, akan selalu direkam, dicatat, diingat dan tersimpan dalam memori rakyat Indonesia, menjadi bagian dalam sejarah Indonesia. Lebih dari itu, Jokowi juga akan menjadi model bagi pemimpin-pemimpin di level lokal (mengikuti apa yang dibuat Jokowi).
Keenam, perbuatan yang dilakukan Presiden Jokowi justru persis di era reformasi yang di dalamnya terdapat beberapa tuntutan seperti penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, belum tuntas dipenuhi. Apakah Presiden Jokowi lupa atau sengaja melupakan tuntutan itu termasuk seluruh perjuangan kaum reformis bahkan hingga mempertaruhkan nyawanya? Sekali lagi hanya Jokowi yang tahu.
Kesan yang Buruk
Dalam setiap Pemilu, Pilkada, selalu saja ditemukan pelbagai modus dalam upaya memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, mulai dari cara yang paling elegan, santun, adab, religus, sampai pada cara yang paling kotor, busuk, jijik, bar-bar, biadab.
Pada suatu kesempatan kita mengangkat topi bagi mereka yang mempraktikkan cara-cara yang terhormat seperti naik ojek saat pergi mendaftar, mengunjungi tokoh agama, mengadakan kegiatan amal, taat pada konstitusi dengan tidak lagi merubah undang-undang agar sesuai kepentingan dan sejenisnya.
Namun, di lain waktu, kita juga menggeleng-geleng kepala, seolah tidak benar-benar yakin, terhadap mereka yang menjalankan praktik kotor dan di luar akal sehat seperti bagi-bagi uang (sudah dianggap biasa), saling jegal hanya demi kekuasaan. Lebih dari itu, mereka menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya.
Terhadap mereka yang terobsesi dengan kekuasaan, kata-kata Prabowo dalam pidato penutupan Kongres keenam Partai Amanat Nasional di Jakarta pada Sabtu 24 Agustus 2024, terasa amat tepat. Berikut kata-katanya: “Mereka-mereka yang terlalu haus dengan kekuasaan dan kadang-kadang kekuasaan itu hendak dibeli, hendak diatur oleh kekuatan-kekuatan lain, kekuatan-kekuatan di luar kepentingan rakyat. Nah, ini yang bisa mengganggu dan bahkan merugikan suatu bangsa.” (tempo.co 26/8/2024).
Dengan lain perkataan, meskipun ada banyak praktik yang amat terhormat, namun jauh lebih banyak praktik-praktik yang di luar akal sehat (kurang ajar) dalam meraih kekuasaan dan mempertahankannya. Cara-cara yang biadab itulah yang akhirnya memberi kesan kotor, busuk, jijik, terhadap kekuasaan terutama bagi orang-orang sederhana dan berpengetahuan rendah.
Penutup
Kekuasaan, pada hakekatnya sendiri, adalah baik. Kekuasaan merupakan sarana yang memberi jalan atau ruang kepada orang yang dipercayakan untuk dapat membantu sesamanya (menolong banyak orang), dan terlebih lagi mengangkat derajat orang-orang miskin papa, terpinggirkan, terkucil dari keterpurukannya. Dalam formula yang sederhana, kekuasaan adalah alat, bukan tujuan.
Sebagai alat, kekuasaan dimanfaatkan untuk mewujudkan tujuan hidup bernegara seperti yang termuat dalam UUD 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian kekuasaan sebagai amanah, kepercayaan, menemukan kedalaman maknanya.
Namun di sisi lain, kekuasaan juga dapat menjadi momok yang menakutkan, candu yang memabukkan. Hal ini hanya dapat terjadi, sekali lagi, hanya dapat terjadi bila mereka yang berada di tampuk kekuasaan lebih memfokuskan perhatian pada kepentingan diri dan kepentingan kelompoknya. Dengan demikian ungkapan Raja Prancis, Louis XIV: “Negara adalah aku” pun terasa amat relevan, aktual dan tepat dilekatkan bagi mereka.*
Penulis adalah alumnus STFK Ledalero, tinggal di Labuan Bajo