BUMI MANUSIA

Wisata “Seribu Air Terjun” Wae Lolos, Jadi Turis di Tanah Sendiri

FLORESGENUINE.com– Wae Lolos adalah nama sebuah desa di Kecamatan Sano Nggoang, Kebupaten Manggarai Barat (Mabar), Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Desa ini terletak di ketinggian 700 meter dpl, terkenal dengan panorama alamnya yang indah.

Nama Wae Lolos sendiri diambil dari nama sebuah sungai yang mengalir sepanjang waktu dengan luas wilayah mencapai 12,1 km2. Mengingat luasnya wilayah dan semakin banyaknya penduduk, desa ini dimekarkan menjadi dua yakni Desa Cunca Lolos.

Nama Desa Cunca Lolos sendiri diambil dari salah satu nama air terjun yang terletak di wilayah Desa Wae Lolos atau desa induk. Nama kedua desa ini pun kerap disalahpahami oleh sebagian masyarakat khususnya para wisatawan yang hendak berkunjung ke beberapa destinasi di kawasan ini.

Secara administrasi pemerintahan, Desa Wae Lolos berada di wilayah Kecanatan Sano Nggoang sedangkan Desa Cunca Lolos masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Mbeliling yang merupakan wilayah pemekaran dari Kecamatan Sano Nggoang pada tahun 2011 lalu.

Batas Desa Wae Lolos dan Desa Cunca Lolos hanya dipisahkan oleh jalan raya trans Flores, Labuan Bajo-Larantuka. Desa Wae Lolos merupakan pintu gerbang menuju ke Kecamatan Sano Nggoang berjarak 35 kilometer dan ditempuh sekitar satu jam perjalanan dengan kendaraan dari Labuan Bajo, Ibu Kota Kabupaten Manggarai Barat.

Pada umumnya, penduduk Desa Wae Sano bermatapencaharian sebagai petani lahan kering dan sebagian lainnya lahan basah. Berbagai tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura dapat tumbuh subur di kawasan ini. Padi, jagung, ubi, buah-buahan dan kacang-kacangan dapat tumbuh baik di wilayah ini. Berbagai jenis tanaman perdagangan seperti cengkih, vanili, kakao serta berbagai jenis buah-buahan bertumbuh subur di kawasan ini.

Wilayah Desa Wae Lolos juga kawasan hutan ulayat masyarakat adat yang cukup luas dan masih terpelihara secara baik. Kelestarian hutan, tanah dan air didukung topografi alamnya yang berbukit-bukit, berlembah ngarai dan berlereng terjal dan landau menjadikan desa ini selalu menawan dan terasa damai.

BACA JUGA:  Pembangunan, Pariwisata dan Pertanian

Desa Wae Lolos terdiri dari 6 anak kampung yakni Langgo, Mbuhet, Wae Reha, Rangat, Tembel dan Ndengo. Jarak antara kampung relative cukup jauh dengan infrastruktur jalan yang masih memprihatinkan. Jalan beraspal baik hanya sekitar satu kilometer dari Jalan Trans Flores menuju Kampung Langgo, selebihnya kondisi jalan dalam keadaan rusak parah.

Jumlah penduduk desa ini mencapai 400 Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 700 jiwa yang tersebar di 4 dusun yakni Dusun Langgo, Rangat, Tembel dan Ndengo. Secara adminsitrasi pemerintahan, Desa Wae Lolos berbatasan dengan Desa Cunca Lolos dan Desa Waktu Galang di bagian timur dan utara, sementara di bagian barat dan selatan berbatasan dengan Desa Golo Ndaring dan Desa Golo Kondeng.

Beberapa tahun terakhir ini, para wisatawan mulai ramai mengunjungi Desa Wae Lolos. Kampung Langgo adalah salah satu kampung yang banyak didatangi oleh para wisatawan. Maklum selain letaknya yang strategis yakni dekat dengan jalan utama trans Flores, Kampung Langgi merupakan gerbang utama untuk masuk mengunjungi berbagai destinasi wisata di wilayah ini.

Salah satu spot wisata air terjun di Desa Wae Lolos. Tampak anak-anak sedang menikmati air terjun.(Foto : Kornelis Rahalaka/Floresgenuine)

Memasuki Kampung Langgo, tampak hamparan perkebunan warga dan bentangan alam hutan masyarakat adat yang memanjakan mata. Kampung mungil yang terletak di atas bukit kecil ini sangat mempesona. Puluhan rumah warga tampak berdiri anggun di sisi kiri dan kanan area kampung yang membentuk setengah lingkaran dengan rumah adat yang dibangun ditengah kampong itu.

Salah satu keunikan di kampung ini yakni terdapat tempat pekuburan umum (TPU) yang berada diarea khusus di pinggir jalan masuk. Lokasi pekuburan umum merupakan tampat pemakaman bagi anggota keluarga yang meninggal dunia. Uniknya, semua anggota keluarga yang wafat, baik mereka yang beragama Katolik maupun beragama Muslim dimakamkan di satu lokasi ini.

Pesan tersirat dari pemakaman umum ini yakni melukiskan keharmonisan hidup, persuadaraan dan kekeluargaan serta penghargaan terhadap nilai-nilai keberagaman sangat kental terpeliharan di kampong ini. Toleransi antarumat beragama di kampung ini terpotret pula melalui kehadiran bangunan rumah ibadah kedua penganut agama masing-masing yang dibangun di lokasi yang relative berdekatan.

BACA JUGA:  Meretas Segi Tiga Emas Pariwisata NTT

Suasana kekerabatan yang terpancar di kampung ini pun bukan tanpa alasan. Menurut ceritra asal usul sejarah, penduduk yang berdiam di kampung ini sesungguhnya berasal dari satu suku yakni Suku Mawu. Kisah warga menyebutkan, leluhur orang Langgo berasal dari Mawu, Kecamatan Ndoso.

Leluhur pertama keturunan mereka bernama “Empat Telo”. Jejak sejarah tentangnya masih ada yakni terdapat kuburan tua yang terletak di tanah ulayat Lingko Rebong atau di daerah wilayah Kampung Tembel dan Kampung Ndengo yang merupakan dua kampung hasil pemekaran dari Kampung Langgo.

Seperti orang Manggarai pada umumnya, penduduk Desa Wae Lolos masih memelihara adat istiadat mereka yang diwariskan secara turun temurun. Filosofi gendang one lingko pe’ang adalah roh kehidupan orang Manggarai yang masih mereka pegang teguh hingga hari ini. Filosofi itu tergambar dalam beragam symbol dan ritus adat yang masih mereka lakoni hingga sekarang.

Di bagian utara tanah datar terdapat sebuah rumah adat atau mbaru gendang berdiri anggun dengan konstruksi khas Manggarai. Sementara di depan rumah adat terdapat compang, tempat sakral bagi masyarakat adat menjalankan ritual adat.

Compang merupakan altar bagi masyarakat adat mempersembahkan ritual memberi makan kepada para arwah leluhur dan semua orang yang telah meninggal dunia. Compang sendiri terdiri dari batu-batu alam yang tersusun rapih.

Kampung Langgo diapiti tiga anak sungai yakni Wae Langgo di bagian timur, Wae Reha dan Wae Lolos di bagian barat. Di sini terdapat pula sejumlah mata air yang berada di dalam kawasan hutan ulayat masyarakat adat. Kampung ini memiliki banyak sungai baik besa maupun kecil yang terus mengalir sepanjang musim. Namun, pada musim kemarau, sebagian sungai mengalami kering karena kurang debit airnya.

BACA JUGA:  Kepastian Lahan Jadi Jaminan Investasi Pariwisata di Manggarai Barat

Sungai-sungai itu akan segera kembali mengalir deras bila musim hujan tiba. Beberapa sungai kini menjadi spot destinasi wisata yang menarik para wisatawan. Tak heran, sejak dua tahun belakangan ini, Kampung Langgo mulai ramai di kunjungi oleh para wisatawan,, baik wisatawan domestik maupun mancanegara.

Menjadi Turis di Tanah Sendiri

Spot wisata air terjun di kampung Langgo (Foto : Kornelis Rahalaka/Foresgenuine)

Desa Wae Lolos pun tercatat sebagai salah satu desa wisata dari 68 desa wisata yang terdapat di Kabupaten Manggarai Barat. Penetepan Desa Wae Lolos sebagai desa wisata merujuk pada Surat Keputusan Bupati Manggarai Barat Nomor :  27/KEP/HK/2020 Tentang Perubahan Keputusan Bupati Manggarai Barat, Drs.Agustinus Ch.Dula Nomor : 90/KEP/HK/2019 Tentang Penetapan Desa Wisata di Kabupaten Manggarai Barat, tanggal 23 Januari 2020.

Banyak destinasi wisata alam di wilayah ini teristimewa wisata air terjun. Itu sebabnya, kawasan ini pula disebut sebagai destinasi wisata “seribu air terjun”. Seribu air terjun dijadikan branding pariwisata di desa ini karena di kawasan ini memiliki banyak sumber mata air yang sebagian besar terdiri dari air terjun.

Untuk mengunjungi spot-spot wisata air terjun di kawasan ini tidaklah mudah. Para pengunjung atau wisatawan harus melewati perkebunan para petani juga memasuki hutan belantara dengan topografi medan yang relatif berat. Namun, kondisi seperti ini tentu sangat diminati oleh para petualang yang ingin menikmati sensasi alam Wae Lolos.

Saat ini, warga masyarakat setempat tengah berbenah guna menjadikan Desa Wae Lolos sebagai salah satu desa wisata yang layak untuk dikunjungi oleh para wisatawan. Untuk itu, sejumlah infrastruktur seperti akses jalan setapak menuju ke beberapa spot wisata mulai dibangun meskipun masih secara swadaya.

Warga Wae Lolos bertekad membangun kampung halaman mereka sendiri secara mandiri. Mereka ingin pariwisata berbasiskan budaya dan kearifan-kearifan lokal. Mereka ingin menjadi turis di atas tanah air mereka sendiri. Mereka tak ingin menjadi orang asing di negeri mereka sendiri. [Kornelis Rahalaka]

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button