BUMI MANUSIA

Pembangunan, Pariwisata dan Pertanian

FLORESGENUINE.com- Pembangunan menurut Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 dimengerti sebagai upaya untuk meningkatkan taraf hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sedangkan pariwisata menurut Spilane (1987:21), adalah perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu pengetahuan.

Sementara itu, pertanian dalam kaitannya dengan pariwisata dilihat sebagai suatu obyek yang menarik, yang bisa dijadikan objek wisata. Telaah tentang hubungan antara pembangunan pariwisata dan pertanian memang sangat penting.

Mengapa? Karena hampir semua orang sedang “demam” dengan yang namanya pariswisata. Dan apakah hubungan keduanya saling menguntungkan atau malah saling meniadakan?  Kedua pertanyaan itu penting untuk dijawab, sebab keduanya berkaitan erat dengan masa depan petani dan dunia pertanian.

Ketika masyarakat sudah berada dibawah kekuasaan yang meligitimasi bahwa pariwisata dapat membantu masyarakat, maka masyarakat pada umumnya akan mengatakan bahwa pertanian bisa menjadi salah satu daya tarik pariwisata.

Maka konsep untuk memperkuat argumentasi ini dapat didefinisikan dengan tiga faktor yaitu harus ada something to see, something to do dan something to buy (Yoeti, 1985). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pertanian sudah pasti dapat menjadi salah satu obyek pariwisata karena memuat tiga hal tersebut sekaligus.

Wacana yang dimengerti demikian, sudah pasti membawa semua pihak untuk serentak menyetujuinya. Maka untuk menjawab, apakah hubungan keduanya adalah hubungan simbiosis mutualisme ataukah simbiosis parasitisme, tidak cukup jika diberikan hanya kepada para petani.

BACA JUGA:  Penutupan TNK, Konradus Rindu : Dari Awal Pemerintah Sudah Salah

Sebab petani sudah sekian lama melakukan aktivitas di lahan pertaniannya dan sudah sekian lama memelihara kehidupan setiap makhluk hidup melalui aktifitas mengolah lahan pertaniannya. Itu sebabnya, entah ada pariwisata atau tidak, petani tetap akan mengusahakannya.

Yang hendak dibuat oleh mereka yang mempunyai kekuasaan dan modal adalah berusaha memberi “nilai tambah” bagi aktivitas pertanian yang sudah dihidupi oleh petani sejak berabad-abad lamanya.

Namun entah disadari atau tidak, justru usaha ini membawa petani  pada sebuah posisi dilematis: bertani untuk menjadi obyek pariwisata dan bertani untuk menjawabi kebutuhan hidup. Di satu sisi, petani dituntut untuk menyediakan pangan dan memelihara kehidupan di atas tanah miliknya dan di sisi yang lain, ia harus bisa menjadi pelaku pariwisata.

BACA JUGA:  Promosi Wisata Flores NTT, ASPPI Gelar Komodo Travel Mart
Kawasan persawahan Lembor di Manggarai Barat. (Foto : ist)

Patut disadari bahwa petani sudah, sedang dan akan terus menjalani profesinya bertani sebelum adanya pariwisata. Tinggal, bagaimana pemerintah dan pemodal bersatu untuk menciptakan pengetahuan yang dapat mengubah perilaku atau motivasi petani. Termasuk bagaimana menciptakan pengetahuan petani bahwa pariwisata adalah jalan terbaik untuk keluar dari kemiskinan.

Jargon yang mengatakan bahwa pariwisata mampu membantu pertanian, namun patut juga dicatat bahwa persentasi suplay pariwisata tidak akan menghapuskan kemiskinan. Sebab, pembangunan yang menjadi dalil utama penghapusan kemiskinan dengan salah satunya mengambil wujud  pariwisata berpotensi memunculkan kemiskinan sistemik.

Masalah utama yang perlu ditinjau adalah bahwa pariwisata merupakan kedok kapitalisme yang mendapatkan keuntungan paling besar. Mereka yang bergerak dibisnis pariwisata adalah para pemodal serta pebisnis pariwisata. Sementara, negara hadir untuk memfasilitasi bahkan membiayai semua proses ini.

BACA JUGA:  Pesan Sepasang Kekasih Berbulan Madu di Pulau Strobery

Pada akhirnya, yang diuntungkan adalah para pelaku bisnis dan aparatus negara sedangkan masyarakat banyak justru mengalami ‘keterasingan’, terpinggirkan karena akses, manfaat, dan kepemilikan sumber daya pertanian dan pariwisata lebih banyak telah diambil alih oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan modal melalui proses-proses itu. (kis/fg)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button