Taman Nasional Komodo: Antara Hasrat Komersialisasi dan Kehancuran Estetika Alamiah
Oleh Heribertus Ajo *

Ketika saya membaca sebuah unggahan di media WhatsApp berjudul “PT KWE (Komodo Wildlife Ecotourism) akan membangun resort dan 619 fasilitas di Pulau Padar,” saya terperangah. Seketika, pikiran saya melayang jauh ke masa lalu, ke masa ketika saya bersentuhan dengan filsafat ekowisata untuk pertama kalinya.
Saat itu tahun 1991, saya menjadi delegasi perusahaan kami dalam konferensi Asia-Pacific Ecotourism di Kutai, Kalimantan Timur (PATA Ecotourism) dan dalam forum itu, satu hal yang ditekankan adalah: konservasi harus menjadi inti dari pembangunan pariwisata.
Kini, saya menyadari bahwa aroma penyusupan kepentingan bisnis dalam kawasan konservasi Taman Nasional Komodo (TNK) sesungguhnya bukan hal baru. Protes demi protes, bahkan gelombang demonstrasi dari masyarakat sipil, akademisi, hingga pelaku pariwisata lokal telah berkali-kali disuarakan. Namun, suara-suara itu seperti memantul pada tembok kebijakan yang dikunci oleh logika investasi dan kekuatan modal.
Fenomena ini bukan sekadar benturan antara pembangunan dan konservasi. Ini adalah krisis cara pandang, ketika sebagian elit negeri ini atau lebih tepatnya, para oligarkis pembangunan menganggap bahwa modernisasi berarti kemegahan resort, mereka percaya bahwa mempercantik alam adalah soal membangun resort, dermaga eksklusif dan fasilitas mewah lainnya.
Di mata mereka, menyulap Pulau Padar menjadi kawasan wisata mewah adalah lambang kemajuan. Padahal, yang terjadi justru pendangkalan makna alam, kerusakan ekosistem dan penghapusan spiritualitas lanskap yang selama ini menjadi ruang sunyi bagi renungan manusia terhadap kebesaran ciptaan Yang Maha Pencipta.
Salah satu bentuk kerusakan paling serius, namun jarang dibahas, adalah visual pollution atau pencemaran visual. Pulau Padar, ikon visual TNK dan simbol keindahan Nusa Tenggara Timur, kini dihadapkan pada rencana pembangunan masif yang akan mengubah wajah purbanya secara permanen. Wajah purba itu dimata dunia adalah nilai keindahan tak terkira karena dunia sudah terlalu dijejali kedangkalan artifisial.
Visual pollution bukan sekadar terganggunya pandangan mata. Ia adalah gangguan atas keheningan spiritual wisatawan. Disorientasi bagi satwa liar yang hidup dengan ritme alam. Pemusnahan makna lanskap sebagai ruang kontemplasi.
Satu bangunan beton di bukit-bukit Padar yang sunyi sudah cukup untuk mengoyak keseimbangan ribuan tahun yang diciptakan alam. Pertanyaannya, apakah mereka yang memutuskan pembangunan ini benar-benar memahami apa itu keindahan alamiah? Ataukah semuanya telah dikaburkan oleh fatamorgana keuntungan?
Sejak 1980, TNK telah diakui sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO. Seharusnya, status ini menyadarkan kita bahwa TNK bukan hanya aset nasional, tetapi titipan peradaban global. Nilai utamanya bukan pada seberapa megah infrastrukturnya, melainkan pada kealamiahan habitat Komodo, keanekaragaman hayatinya dan keheningan liar yang tak tergantikan.
Namun kini, upaya komersialisasi permanen dalam zona konservasi justru menjadi simbol dari perampasan ruang publik oleh kekuatan kapital. Pertanyaannya, apakah para ranger dan pegawai TNK benar-benar memahami hal ini? Jika mereka paham, mengapa mereka diam?
Haruskah setiap sudut Taman Nasional Komodo dikomersialkan? Apakah kita masih mampu menghargai keindahan yang alami, yang diciptakan oleh waktu dan Tuhan?
Komitmen negara terhadap konservasi TNK tampak rapuh. Dalam praktik, yang lebih diberi ruang adalah investasi, bukan perlindungan ekologis. Yang dijaga ketat bukan habitat Komodo, tetapi arus modal yang hendak masuk. Dalam konteks ini, oligarki tampak unggul.
Namun sejarah selalu memberi harapan: alam tidak bisa ditundukkan selamanya. Ketika kekuatan rakyat kecil bersatu dengan tekanan moral internasional, kekuasaan uang pun bisa runtuh oleh kekuatan etika kolektif atau alam memang punya cara sendiri, kita tidak dapat menduganya dan bahkan tak sanggup mengantisipasinya. Begitulah cara alam.
Baiklah, saya juga menyadari kompleksitas pembangunan dalam pariwisata. Tidak semua pembangunan harus ditolak. Tapi mari kita tempatkan di tempat yang tepat. Daratan Flores masih luas dan menyimpan potensi luar biasa untuk dikembangkan secara selaras alam, ayo saya ajak siapa saja kesana dan kita bedah menjadi ruang-ruang pengembangan ekowisata yang cantik.
Ingat, memaksakan kehendak pembangunan di TNK adalah bentuk pembangkangan terhadap akal sehat ekologis dan tanggung jawab moral kita terhadap dunia. Ini bukan sekadar soal resort atau fasilitas mewah, tetapi soal kesadaran untuk berhenti dari nafsu profit dan mulai mewariskan kebijaksanaan ekologis kepada keturunan kita….
Sebab sejatinya, kemajuan bukan hanya tentang apa yang kita bangun, tetapi tentang apa yang dengan bijak kita pilih untuk menjadi warisan alamiah yang berharga. *
Penulis adalah alumnus International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat tahun 2016, dengan fokus pada Economic, Tourism, and Environmental Protection. General Manager Floressa Bali Tours dan mengajar sebagai dosen praktisi di Program Studi Ekowisata Politeknik Cristo Re, Maumere