
Seandainya Yesus menolak hukuman salib yang ditimpakan pada-Nya, sudah pasti salib masih tetap sebagai symbol penderitaan, dalam arti yang paling ekstrim dan negatif, yakni kesengsaraan, duka-nestapa, kemalangan, keputusasaan dan segala jenis keburukan dalam pelbagai rupanya hingga saat ini.
Statusnya sebagai lambang yang menghadirkan malapetaka dan kemalangan tidak berubah. Bahkan sampai detik ini pun sebagian orang masih berpikir demikian, termasuk umat kristiani. Sejarahnya sendiri berbicara demikian dalam imperium Romawi.
Hukuman salib adalah pelaksanaan hukuman mati yang paling kejam, brutal, sadis dan tidak berperikemanusiaan. Dikatakan sadis, kejam karena orang yang mendapat hukuman ini harus melewati penyiksaan, penganiayaan mulai dari yang paling ringan sampai yang terberat hingga berujung kematian.
Umpatan, caci-maki, sumpah serapah, fitnah, celaan, tuduhan dan segala macam bahasa yang bernada kutukan ada di dalamnya.Tindakan kekerasan fisik pun turut menyertai. Singkat kata, kekerasan verbal dan fisik dialami oleh korban entah secara serentak ataupun silih bergati.
Dengan ini menjadi jelas bahwa proses menuju kematian berjalan lambat, tidak serta merta, membutuhkan waktu yang lama. Di sinilah pengalaman penderitaan yang amat mengerikan, memilukan itu sungguh nyata dirasakan oleh si korban.
Dalam peristiwa salib manusia benar-benar menjadi objek semata. Statusnya sebagai subjek yang otonom, yang menentukan dirinya sendiri ditiadakan, dibuat hilang. Dalam rumusan yang ekstrim, si korban diposisikan setara dengan barang, benda. Si korban, menurut Budi Hardiman, didehumanisasikan dan didepersonalisasikan sebagai objek.
Sebuah praktek kebiadaban yang sangat ekstrim yang dilaksanakan oleh manusia yang berakal budi, secara murni dan konsekuen. Tercatat, membekas dalam sejarah peradaban manusia. Seluruh proses itu bukan hanya diberitakan kepada khalayak ramai, tetapi lebih dari itu dipertontonkan di depan umum sebagai sebuah pertunjukan, hiburan. Seolah-olah hukuman salib dipandang sebagai suatu kewajaran.
Model hukuman ini jika menggunakan perspektif HAM modern, maka ia memang pantas dan layak dikategorikan dalam pelanggaran HAM berat. Sebab hukuman salib memenuhi unsur-unsur di antaranya: penyiksaan, pembunuhan sewenang-wenang.
Ketika film drama epic The Passion of the Christ diputar pertama kali pada tanggal 25 Februari 2004, persis pada hari Rabu Abu, awal masa prapaska, beberapa kalangan memberikan kritik justru karena menampilkan adegan kekerasan yang amat kejam, brutal dan mengerikan. Padahal Mel Gibson, sang sutradara, coba mengantar imajinasi penonton kedalam pengalaman penderitaan Yesus pada waktu itu.
Di sini jelas bahwa penonton yang sebatas menyaksikan Cuma melalui film lalu membayangkan keadaan Yesus pada waktu itu, sudah merasakan kengerian dari peristiwa itu. Apalagi Yesus yang sungguh-sungguh mengalami dan merasakannya sendiri. Betapa tidak ada kata-kata yang dapat melukiskan kekejaman yang dilakukan manusia jaman itu.
Sekali lagi, andai saja Yesus tidak menerima hukuman penyaliban, jika ditilik dari deskripsi ringkas di atas, maka segala penderitaan yang terjadi masih dipandang sebagai beban. Oleh karena dilihat sebagai beban, dengan sendirinya, an sich, salib (penderitaan) adalah buruk, negatif.
Sisi Kemanusiaan Yesus
Kalau menyimak dengan saksama peristiwa di taman Getsemani dalam Injil Sinoptik (Matius 26:3646, Markus 14:3242, dan Lukas 22:39-46), dapat dilihat dengan jelas pergolakan dengan batin Yesus yang begitu hebat. Yesus bergumul dengan dua pilihanya itu menerima atau menolak penderitaan (hukuman salib), yang oleh penulis Injil menyebutnya dengan cawan, yang akan dihadapi-Nya. Dengan demikian, pergumulan batin yang hebat itu mempunyai alasan mencukupi dengan deskripsi hukuman salib tadi.
Tentangn penderitaan-Nya, ketiga penulis Injil Sinoptik mengisahkan, Yesus sudah mengetahuinya dan Dia memberitahukannya kepada para murid-Nya sebanyak tiga kali. Pemberitahuan yang pertama dapat ditemukan dalam teks Lukas 9:22-27, Matius 16:21-28, Markus 8:31-9:1. Di sini saya kutip ayat yang dengan jelas mengatakannya: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahi Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.”(Luk. 9:22).
Pemberitahuan kedua dapat dibaca dalam teksLuk. 9:43b-45, Mat. 17:22-23, Mrk. 9:30-32. Ayat berikut menunjuk dengan cukup jelas tentang pemberitahuan Yesus perihal penderitaannya: “Anak Manusia akan diserahkan kedalam tangan manusia.” (Luk. 9:44).
Pemberitahuan ketiga bisa dilihat dalam teks Luk. 18:31-34, Mat. 20:17-19, Mrk. 10:32-34. Kata-kata Yesus berikut dengan amat jelas dan terang benderang disampaikan kepada para murid: “Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan segala sesuatu yang ditulis oleh para nabi mengenai Anak Manusia akan digenapi. Sebab Ia akan diserahkan kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, diolok-olokkan, dihina dan diludahi dan mereka akan menyesah dan membunuh Dia.” (Luk. 18:31-33).
Dengan kata lain, meskipun sebelumnya Yesus sudah mengetahui penderitaan yang harus ditanggung-Nya kelak, dan itu diberitahukan-Nya kepada para murid, namun bayangan penderitaan yang amat hebat itu pada titik tertentu membuat diri-Nya berada dalam suasana bimbang dan ragu. Bayangan penderitaan yang luar biasa hebat itulah pemicunya.
Penulis Injil Lukas melukiskan kesedihan Yesus yang amat mendalam dengan kata-kata penuh emosi: “Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi titik-titik darah yang bertetesan di tanah.” (Luk. 22:44). Senada dengan itu, penulis Injil Matius juga mengungkapkan dalam kata-kata yang amat menyentuh emosi. “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya.” (Mat. 26:38; Mrk. 14:34).
Lagi-lagi Mel Gibson melukiskan dengan amat jelas dan dramatis kegelisahan, kebimbangan Yesus pada permulaan filmnya. Pada titik ini, dapat dipahami dan diterima suasana mencekam, gelisah, takut dan ragu yang dialami Yesus.
Keraguan itu tampak dalam doa pertama yang diucapkan Yesus: “Ya Abba, Ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendai, melainkan apa yang Engkau kehendaki.” (Mrk. 14:36; Mat. 26:39).
Dengan kebimbangan dan keraguan yang dialami Yesus menunjukkan sisi kemanusiaan-Nya. Keadaan seperti ini didirasakan oleh makhluk yang bernama manusia. Dalam arti yang positif, kondisi ini dapat menuntun orang untuk membuat pilihan.
Dengan kata lain, kebimbangan dan keraguan yang dialami Yesus, pada titik tertentu, menggoda-Nya untuk membuat penawaran dengan Bapa-Nya agar menangguhkan penderitaan itu, sebelum akhirnya Dia memutuskan untuk menerimanya.
Dengan demikian dapat dikatakan, pengalaman Getsemani menjadi sangat menentukan bagi Yesus untuk membuat pilihan. Pilihan itu jatuh pada tindakan melaksanakan kehendak Bapa-Nya yaitu menerima hukuman penyaliban. Dengan jalan ini umat manusia ditebus. “Sebab di dalam Kristus dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya,”demikian Paulus Rasul (Ef. 1:7).
Manusia diperdamaikan dengan Allah (bdk. Rm. 5:10), setelah sebelumnya manusia berseteru karena ketidaktaatannya, mengingkari kesetiaannya dengan Allah (bdk. 2 Kor. 5:19). Dengan pendamaian itu Allah tidak memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan manusia terhadap-Nya. Secara lebih tegas Paulus mengatakan, “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya.” (Rm. 3:25).
Dua Jalan
Keadaan ragu yang inheren dalam diri manusia, ciptaan yang terbatas, fana, sebagai suatu sifat yang khas manusiawi, jika dihubungkan peristiwa Getsemani menegaskan suatu kondisi yang sulit karena berada dalam dua pilihan.
Kondisi demikian dalam formula biblis-teologis, memilih surga atau neraka, kebahagiaan kekal di surga atau kebinasaan abadi di neraka. Atau dalam bahasa yang sederhana, pilih kegembiraan, namun harus lewat penderitaan, dalam Tuhan atau pilih kesenangan duniawi, menikmati kemewahan semu dalam.
Kedua pilihan ini memiliki konsekuensinya. Memilih surge harus melewati jalan Allah yakni jalan lubang jarum (bdk. Mrk. 10:25), jalan salib (bdk. Mat. 16.24), jalan sempit. Memilih neraka niscaya adalah jalan iblis yaitu memenuhi keinginan daging (bdk. Gal. 5:17-21) yang tampak dalam kemegahan, kemewahan, kesenangan duniawi. Dalam arti ini, jalan menuju neraka amat lebar.
Kedua jalan itu yakni jalan surga dan jalan neraka, kalau menggunakan bahasa Rasul Paulus adalah hidup menurut roh dan hidup menurut daging. Dirumuskan secara sederhana, jalan ke surga adalah jalan yang sempit dan jalan menuju neraka adalah jalan yang lebar. Dengan kata lain, amatlah sulit jalan menuju surga dan begitu entengnya jalan ke neraka.
Sta. Faustina melukiskan perbedaan jalan ke surga dan jalan ke neraka dalam kesaksiannya sebagai berikut: “Pada suatu hari, aku melihat dua jalan. Yang satu lebar, dilapisi denganpasir dan bertaburan bunga-bunga, penuh dengan sukacita, musik dan segala macam kenikmatan. Orang menapaki jalan itu sambil menari dan bersenang-senang. Mereka sampai pada ujung jalan itu tanpa menyadarinya. Dan pada ujung jalan itu, ada suatu jurang yang mengerikan; itulah jurang neraka. Jiwa-jiwa itu berjatuhan di dalamnya; begitu mereka melangkah, langsung jatuh. Dan jumlah mereka sedemikian besar sehingga tidak mungkin untuk menghitungnya.
Dan aku melihat jalan lain, atau lebih tepat, suatu lorong sebab jalan itu sempit dan berhamparan duri serta batu-batu; dan orang yang menapak di jalan ini mencucurkan air mata dan segala macam penderitaan menimpa mereka. Sejumlah mereka jatuh di atas batu-batu itu, tetapi langsung bangkit lagi dan melanjutkan perjalanan. Pada ujung jalan itu, ada sebuah taman yang sangat indah penuh dengan segala macam kebahagiaan, dan semua jiwa itu masuk kedalamnya. Seketika itu juga mereka lupa akan segala penderitaan mereka.” (BH. No. 153).
Dengan lain perkatan, jalan salib adalah jalan penebusan, jalan keselamatan. Sebab melalui salib manusia ditebus dan diselamatkan. Sedangkan jalan yang ditawarkan dunia adalah jalan kesenangan, jalan keputusasaan, jalan kebinasaan. Di sana hanya terdapat ratapan dan kertakan gigi (bdk. Mat. 13:42; 25:30).
Tulus Menderita
Setelah melewati beberapa saat kebimbangan dan berhasil menaklukkannya, Yesus memilih jalan salib.Yesus memutuskan mengikuti kehendak Bapa yang telah mengutus-Nya ke dunia (bdk. Yoh. 6:38). Yesus mengabaikan godaan keinginan diri sendiri (keinginan daging).Yesus sungguh menyadari tugas perutusan Bapa-Nya sebagai pilihan pertama dan terutama bagi diri-Nya dan bagi nasib umat manusia. Sebab pada Yesuslah nasib manusia dipertaruhkan.
Tentang nasib umat manusia di tangan Yesus sudah diramalkan oleh Simeon saat Yesus dipersembahkan dalam bait Allah yang terungkap dalam kata-kata berikut: “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel” (Luk. 2:34).
Kesadaran akan tugas perutusan Bapa, misi keselamatan, mengubah kebimbangan, keraguan Yesus kepada ketetapan hati, kebulatan tekad untuk menjalani hukuman penyaliban. Ihwal kesadaran berpautan erat dengan ketulusan. Dengan ketulusan memaksudkan kerelaan, kesediaan, kerendahan hati, kesucian, kelurusan hati, kemurnian hati, kesetiaan, kesabaran. Dalamnya terdapat hati yang lapang, ada kelegaan.
Ketulusan merobohkan prasangka, menepikan kemarahan, menghindarikedengkian, menyingkirkan kebencian, meminggirkan kekecewaan, mengucilkan sakit hati, menghalau kekesalan, menyisihkan kejengkelan, mengesampingkan dendam, mengeliminasi permusuhan.
Secara positif ketulusan mengasuh persahabatan, merawat persaudaraan, menjaga keharmonisan, memperteguh solidaritas, mengokohkan persatuan, memelihara perdamaian, memperjuangkan keadilan, membela kebenaran, sanggup memaafkan, mampu mengampuni.
Dengan perspektif ini, Yesus tidak melihat para algojo yang menyiksa-Nya sebagai musuh. Yesus tidak memandang para ahli taurat dan kaum farisi yang terus mengawasi dan memata-matai-Nya sebagai pesaing atau lawan. Yesus memang membenci dosa, tapi Ia mencintai orang berdosa.
Sebagai contoh, spirit ini dapat ditemukan dalam kisah Zakheus dalam Injil Lukas19:1-10, kisah perempuan yang berzinah dalam Injil Yohanes 8:1-11. Lebih tegasnya Yesus sendiri berkata: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tapi orang sakit.” (Mat. 9:12). Lalu pada kesempatan lain Yesus juga mengatakan: “Aku dating bukan untuk memanggil orang benar, tapi orang berdosa supaya bertobat.” (Luk. 5:32).
Bukti autentik dan paling nyata dari kata-kata Yesus adalah saat Yesus memohon kepada Bapa-Nya untuk mengampuni semua mereka yang turut berkontribusi dalam hukuman salib yang menimpa diri-Nya (lih. Luk. 23:34). Lebih jelas lagi, Yesus menempatkan penjahat yang berada di samping-Nya dalam Kerajaan Surga, setelah dia menyatakan penyesalan dan tobat (lih. Luk. 23:43).
Penutup
Ketulusan Yesus menerima hukuman salib membuahkan hasil yang gilang gemilang. Penderitaan dalam beragam bentuknya bukan lagi menjadi beban yang mesti diratapi. Kesengsaraan tidak lagi sebagai tragedi yang terus-menerus ditangisi. Duka nestapa tak lag imenjadi momok yang menakutkan.
Dengan kata lain, buah ketulusan itu adalah adanya kelegaan menerima penderitaan, kelapangan hati menanggung pahit getirnya pengalaman hidup yang menyesakkan dada.
Ketulusan telah mengubah kebimbangan menjadi kepastian, menggantikan balas dendam dengan pengampunan, penyesalan dengan belaskasihan, kekalahan dengan kemenangan, kemalangan dengan keberuntungan, kebencian dengan cinta, kesedihan dengan kegembiraan, kesesatan dengan kebenaran, kegelapan dengan terang, kematian dengan kehidupan (lih. Doa St. FransiskusAsisi).
Dalam Yesus ada harapan, kepastian, kebenaran, kegembiraan, keadilan, solusi, kebangkitan, keselamatan, kehidupan. Dalam iblis hanya ada kesedihan, keputusasaan, kesesatan, kebohongan, kehancuran, kebobrokan, kepunahan, kemusnahan, kebinasaan, kematian.
Seturut ajaran iman katolik, penderitaan kita yang disatukan dengan penderitaan Kristus mendapat arti yang mendalam. Dan Hal itu menjadi persembahan yang berkenan di hadapan Allah demi kebaikan diri sendiri dan orang lain.
Maka dari itu, jangan takut memikul salib, penderitaan. Sebab adaYesus yang menopang kita. Dia yang senantiasa memampukan kita untuk menanggungnya. Jangan takut menjadi murid Yesus karena Dia adalah andalan kita, pengharapan kita, demikian kata Sta. Faustina. Selamat merayakan hari Jumat Agung bagi segenap umat kristiani.*
Penulis adalah alumnus STFK Ledalero, tinggal di Labuan Bajo