OPINI

Kekuasaan sebagai ‘Sarana Mengalirkan Berkat’

Oleh: Sil Joni*

Pertarungan untuk mendapat ‘kursi kekuasaan’ sebagai bupati dan wakil bupati Manggarai Barat (Mabar), telah digelar. Tetapi, ekspektasi perihal ‘penggunaan kekuasaan politis’ itu, rasanya tidak pernah kelar. Setiap musim kontestasi politik, publik coba ‘meletakkan aneka harapan akan hadirnya situasi sejahtera’, ke pundak sosok politik tertentu.

Ritual ‘pemilihan’ di Tempat Pemungutan Suara (TPS), boleh dipatok sebagai ‘manifestasi’ dari keinginan untuk mendapatkan ‘figur’ yang dinilai punya kapasitas politik mumpuni dalam mewujudkan ‘impian politik’ itu. Untuk edisi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Mabar, 27 November 2024, publik Mabar ‘masih menaruh kepercayaan’ kepada duet Edi-Weng dalam menahkodai ‘biduk Mabar’ menuju ‘pantai idaman’ tersebut.

Selebrasi dan ekspresi ‘syukur’ atas ‘keterpilihan’ itu, telah dihelat. Publik, terutama mereka yang merasa punya ‘andil’ dalam mengantarkan dua ‘insan politik’ itu ke altar kekuasaan, turut berpartisipasi dalam memeriahkan acara itu.

Rasanya, tidak ada lagi ‘debat’ perihal status legitimatif dari kekuasaan yang mereka dapat. Keduanya telah secara sah dan meyakinkan ‘berhasil meraih dukungan pemilih yang signifikan’ dan ditambah dengan ‘penolakan gugatan’ yang dilayangkan pasangan calon (Paslon) rival ke Mahkamah Konstitusi (MK).

BACA JUGA:  Meredam Resiko Bencana Alam

Pertanyaan kritisnya adalah ‘untuk apa palu kuasa politik’ yang digenggam itu? Bagaimana semestinya kekuasaan itu digunakan oleh kedua sosok itu? Akankah ‘kekuasaan’ itu membawa ‘berkat berlimpah’ bagi publik Mabar yang masih didera oleh aneka problem politik yang relatif suram? Apa yang mesti dibuat agar kekuasaan itu benar-benar menjadi ‘sakramen’, sarana aliran rahmat Tuhan ke Kabupaten yang berlimpah susu dan madu ini?

Sampai di sini, saya teringat sejumput ide politik filsuf Aristoteles. “Guru dari Alexander Agung’ ini  menegaskankan bahwa kekuasaan pada dasarnya adalah alat, bukan tujuan. Sebagai ‘sarana’, kekuasaan itu bersifat netral sebelum digunakan oleh pribadi tertentu.

Status netralitas dari kekuasaan itu akan berubah ketika sudah digunakan untuk tujuan tertentu. Tujuan itu bisa positif, bisa juga negatif, tergantung pada karakter moral individu yang memegangnya. Itu berarti, kekuasaan in se itu baik. Yang bermasalah adalah ‘orang yang memakai’ alat kekuasaan itu.

BACA JUGA:  Aparatur Sipil Negara Ketika Salah Memilih Hoby

Efeknya adalah penguasa yang  karakternya baik akan menggunakan kekuasaan untuk menciptakan kebaikan, membangun keadilan, dan memperbaiki kehidupan orang lain. Sementara itu, pemimpin yang buruik cenderung menggunakan kekuasaan untuk memperkuat ego, keserakahan, atau mengakumulai kapital pribadi dan keluarga.

Analogi yang tepat untuk membahasakan dua wajah dari kekuasaan itu adalah “api”. Di tangan seorang yang bijak, api bisa digunakan untuk menghangatkan dan memasak makanan, membawa manfaat bagi banyak orang. Tetapi di tangan orang yang jahat, api bisa digunakan untuk membakar dan menghancurkan, menyebabkan kerusakan dan kekacauan.

Kita berharap agar pada periode kedua ini, Edi-Weng tidak bermetamorfosis menjadi ‘penguasa yang berwajah tiran dan otoriter. Kita merindukan desain dan implementasi program politik yang efektif, visioner, dan terukur. Jabatan sebagai bupati dan wakil bupati, dipakai untuk menelurkan kebijakan politik yang pro pada dimensi kemaslahatan publik.

Sebagai publik ‘penerima berkat politik’, sudah semestinya kita ‘bangun sikap kritis’ terhadap setiap kebijakan yang ditelurkan oleh rezim Edi-Weng. Kita ingin pastikan bahwa ‘misi dan program politik mereka’, tidak tersendat dalam tahap implementasinya.

BACA JUGA:  Mgr. Budi Kleden : Jawaban Doa Umat dan Perutusan Baru (1)

Pemimpin politik dipilih untuk menolong dan menuntun publik keluar dari ‘padang gurun persoalan poltik pelik’ yang membuat hidupnya tidak berkembang. Jika level kesejahteraan publik Mabar ‘terdongkrak secara signifikan’ di bawah kendali politik Edi-Weng, maka kita patut acungkan jempol dan dendangkan kidung pujian kepada mereka.

Karena itu, mungkin untuk sementara, kita ‘kurungkan sebagian apresiasi’ kita sebelum keduanya ‘berhasil’ menuntaskan pengerjaan proyek politik kesejahteraan publik itu secara gilang gemilang.

Akhirnya, selamat bertugas kepada bupati dan wakil bupati terpilih. “Mabar bangkit menuju Mabar semakin Mantap”, bukan hanya ‘slogan politik’ yang tidak punya daya untuk ‘menendang’ bola derita publik Mabar. Sebaliknya, visi itu benar-benar menjadi ‘bintang penuntung’ ke arah mana biduk Mabar ini hendak dibawa. Tentu saja, yang kita inginkan ‘bupati dan wakil bupati’ bisa menghantar kami ke padang rumput yang sejahtera.

Penulis adalah warga Mabar, tinggal di Watu Langkas

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button