FLORESGENUINE.com– Masa-masa indah terlukis indah di Aur, Belutewan, Apen dan Waq Manuq Koq. Meskipun masa kecil saya tinggal menetap di Waqkio, Desa Panama, Kedang, Kabupaten Lembata, namun, saya sering datang ke beberapa tempat ini untuk mengikuti orang tua saya yang berkebun.
Wilayah ini terbentang antara Tamal Eleng hingga Waq Rian Puen, antara Paheng Waq hingga Bean. Letaknya di sepanjang dataran tinggi hingga ke dataran rendah, ke arah pantai berpasir putih indah. Wilayah yang kering dibaluti perbukitan savanna yang luas dan bebatuan cadas.
Bagi saya, wilayah ini adalah “potongan surga” yang Tuhan beri. Pertama, keindahan pantai. Ada pantai berpasir putih yang membentang dari Paheng Waq hingga Bean. Rupanya, karena terumbu karang, angin atau deburan ombak, pantai-pantai ini diubah menjadi pasir berwarna putih yang memanjakan mata.
Dari Paheng Waq, Belu Tewan hingga Bean punya pantai berpasir putih yang menawan. Ada pula pantai bertepian batu cadas yang menjulang tinggi. Tumpukan bebatu cadas alami itu tersusun rapi di tepi pantai. Sangat indah dan mempesona.
Ada pula pantai terjal yang terbentang dari Waq Rian Puen. Ada tebing curam di Wei Wuro, Wei Puhe dan Tamal Eleng. Di atasnya, tumbuh pohon pahlawa. Tempat hinggap burung-burung. Ada terowongan terjal. Semuanya hanya bisa dinikmati oleh mata.
Pantai Paheng Waq, Belutewan dan Bean adalah surganya beraneka biota laut. Waktu kecil, saya bersama orang tua sering datang ke pantai-pantai ini untuk ‘bekarang’ kerang, menangkap ikan atau menyuluh pada malam hari.
Menyuluh pada malam hari, kami menggunakan lampu pertromaks yang hanya andalkan bola lampu yang kami biasa sebut ‘kaus lampu’ tentu jangan dibayangkan seperti bola lampu listrik. Maka, kalau bola lampunya jatuh atau pecah maka tamatlah riwayat kami untuk menyuluh.
Mencari ikan di Pantai Paheng Waq, Belutewan atau Bean di era 1980-an, itu suatu aktivitas yang menyeramkan. Tidak ada perkampungan penduduk yang dekat di kawasan-kawasan tersebut. Warga hanya datang untuk mencari ikan lalu pulang ke kampung-kampung yang tersebar di kaki gunung Uyelewun. Jarak perkampungan dengan pesisir pantai sekitar 6-7 km.
Waktu kecil saya dihabiskan di beberapa kawasan pantai ini dan saya menjejakan kaki. Beberapa pantai sangat bagus untuk menyuluh saat pasang surut. Pasalnya, pasang surutnya cukup jauh ke kedalaman laut. Kawasan Pantai Belutewan, Paheng Waq dan Bean sangat cocok untuk menyuluh.
Namun, harus lebih waspada karena saat pasang naik, air laut lebih dahulu memenuhi di bagian pinggir pantai. Itu kekwatiran saya, karena saya tidak bisa berenang. Itu sebabnya, setiap menyuluh, saya sering memantau pergerakan air laut agar saya segera ke darat bila air laut sudah menuju ke darat.
Kerja kebun dan melaut adalah rutinitas kami sekeluarga. Saya masih ingat bapak saya, Blasius Bayo Rahalaka yang hobinya suka menyuluh atau bekarang di laut. Dia hapal betul, kapan air laut surut, kapan waktu yang tepat untuk bekarang.
Selain suka menyuluh, Bapak saya juga hobi berburu binatang hutan. Dulu, rusa dan babi hutan masih sangat banyak. Pada pagi atau sore hari, kita bisa saksikan gerombolan rusa yang tengah merumput di dataran perbukitan yang hijau.
Bila musim kemarau, rumput-rumput menjadi kering sehingga binatang hutan mulai jarang ditemui. Barangkali binatang-binatang hutan itu lebih memilih ‘mengungsi’ ke kawasan lain yang masih ada stok makanannya.
Inilah sepenggal kisah masa lalu, masa saya masih bocah yang hobi menyuluh atau mencari ikan-ikan di laut. Masa-masa yang menyenangkan meski masih takut air laut. Kini, saya sedang rindu untuk kembali ke “potongan surga” ini.
Surga yang berpantai indah, berpasir putih. Surga yang tandus berbatuan. Surga yang tandus itu adalah rahim orang-orang berjiwa petarung yang tak mau berpasrah diri pada kerasnya alam. Semoga suatu saat saya kembali dan tinggal di “potongan surga” ini. Adakah tempat di hatimu?
Jawabanmu kunanti di Paheng Waq dan Belutewan. Paheng Waq dan Belutewan adalah tempat pertemuan yang asyik. Krise Wayan Lelangayaq dari Loyobohor dan saya dari Panama. Kami pernah datang di pantai-pantai yang indah ini, tanggal 7 April 2024 lalu. Kami bermimpi, suatu waktu, kami kembali lagi menemukan potongan surga yang ada di bumi. [Kornelis Rahalaka]