FLORESIANA

Ceritra dari Komodo, dari Ritual Tarian Dewa dan “Operasi Bedah” Kelahiran

Editor : Kornelis Rahalaka

Berceritra tentang komodo seakan tak pernah habisnya. Semakin diceritrakan, kita semakin dibuat penasaran olehnya. Itulah Komodo, kawasan yang merupakan habitat asli binatang purba komodo, satu-satunya marga dinosaurus yang masih tersisa di muka bumi.

Selain binatang komodo, nenek moyang orang Komodo mewarisi pula berbagai kebudayan yang unik dan bernilai sosial tinggi. Nilai-nilai luhur itu merupakan way of life yang mewarnai kehidupan orang-orang Komodo dari masa ke masa.

Ada ceritra rakyat, ada tarian-tarian dan ada pula ritus-ritus adat yang dari terpelihara sejak dulu kala. Meskipun tradisi-tradisi lokal nan unik tersebut perlahan-lahan  hilang seiring perubahan zaman.  Para tetua adat menyebutkan bahwa jauh sebelum komodo ditetapkan sebagai kawasan konservasi berstatus taman nasional, penduduk asli komodo telah mempunyai berbagai tradisi dan adat istiadat yang tak ternilai.

Beberapa jenis tarian dan berbagai ritus adat selalu mereka jalankan dalam kehidupan sebagai komunitas adat. Salah satu tarian yang terkenal pada zaman itu yakni tarian dewa. Tarian ini, selain unik, serentak mengandung nilai magis-spiritual lantaran tarian  dewa biasa dipentaskan saat ada anggota keluarga yang menderita sakit.

Ceritra rakyat mengatakan bahwa jika ada seseorang yang sakit-sakitan dan tidak diketahui penyakitnya serta sulit disembuhkan, maka keluarga pasien biasa meminta orang-orang tertentu yang pandai menari tarian dewa untuk menari di depan orang sakit tersebut. Tarian dewa bermaksud memanggil atau mengundang para dewa dan para arwah para leluhur agar hadir untuk membantu menyembuhkan orang yang sakit.

Pada saat tarian dewa dipentaskan, konon, sang penari akan kerasukan roh-roh arwah nenek moyang atau roh dari orang-orang yang telah meninggal dunia. Roh-roh  tersebut akan masuk ke tubuh orang sakit tersebut dan roh-roh itu akan menyembuhkan segala penyakit yang diderita oleh orang sakit tersebut secara ajaib.

Sayang, tarian ini sudah tak dilakukan lagi bahkan sudah hilang samasekali, setelah orang-orang Komodo mulai mengenal rumah sakit, dokter atau perawat. Memudar atau hilangnya tarian dewa dan ritual adat lainnya sejalan dengan perkembangan peradaban, termasuk seiring dengan masuknya agama di wilayah ini.

BACA JUGA:  Mungkinkah Sejarah akan Tercipta?

Ritual-ritual adat dan beberapa tarian tradisional seperti tarian dewa dan tarian kolo kamba oleh orang beragama dianggap sebagai ajaran yang sesat bahkan dicap sebagai penyembah berhala.

“Dulu, kami punya kebudayaan lokal termasuk tarian adat, namun, berbagai ritus adat tersebut sudah hilang, karena dianggap penyembahan berhala,” ujar Haji Akbar pada suatu waktu.

Selain ritual adat dan tarian dewa, penduduk komodo juga memiliki beberapa kisah unik nan menggelitik yang mengundang rasa ingin tahu. Ada satu kisah unik nan aneh yakni mengenai proses kelahiran seorang anak manusia.

Perkampungan komodo.(Foto:dok/Floresgenuine)

Konon, menurut ceritera, proses persalinan atau melahirkan, tidak melalui proses persalinan yang normal sebagaimana dijalani oleh seorang ibu yang hendak melahirkan anaknya. Melainkan, harus melalui proses ‘operasi bedah’ ala nenek moyang orang Komodo.

BACA JUGA:  36 Orang Korban Gigitan Komodo, Habitat Asli Kian Terganggu?

Menurut ceritera yang beredar di kalangan orang Komodo, pada zaman dulu, orang Komodo belum mengenal rumah sakit, bidan, perawat atau pun dokter. Pada umumnya, orang Komodo sangat bergantung pada dukun kampung dan obat-obatan tradisional. Demikian pula proses kelahiran seorang bayi pun dilakukan dengan cara yang unik dan aneh.

Pasalnya, sang ibu yang hendak melahirkan, tidak diperbolehkan melahirkan secara normal atau alamiah, tetapi harus melalui ‘operasi bedah’ ala orang-orang Komodo. Yaitu perut sang ibu yang hendak melahirkan itu harus dibelah menggunakan ‘pisau’ yang terbuat dari kulit bambu.

Menurut kisah, biasanya, menjelang ibu atau sang istri hendak melahirkan, maka sang suami akan disuruh pergi menjauh dari kampung agar ia tidak menyaksikan proses kelahiran anaknya dan tragedi kematian yang bakal dihadapi oleh sang istri. Sang suami baru akan kembali ke rumah, setelah proses bedah perut telah selesai dilakukan dan sang istri telah merenggang nyawa.

BACA JUGA:  Menteri Parekraf : Penutupan TNK Tak Pengaruhi Target Kunjungan Wisatawan
Foto :ilustrasi

Praktik ‘operasi bedah’ ala nenek moyang Komodo ini, perlahan-lahan mulai ditinggalkan, ketika pada suatu waktu, datanglah orang-orang dari Sumba ke pulau tersebut. Dikisahkan bahwa pada suatu hari, seorang ibu hendak melahirkan buah hatinya. Saat itu, sang ibu hendak dibedah perutnya. Orang-orang Sumba yang menyaksikan adegan itu segera mencegat dan melarang agar warga tidak melakukan praktik persalinan yang tak lasim itu.

Warga Sumba pun meminta sang ibu serta orang-orang di sekitarnya agar menghentikan tindakan itu dan membiarkan ibu tersebut melahirkan  anaknya secara normal. Alhasil, sang ibu melahirkan anaknya dengan baik dan normal.

Suami yang telah pergi keluar dari kampung akhirnya pulang ke rumah dan mendapati istri bersama buah hatinya masih tetap hidup dan dalam kondisi yang sehat walfiat. Sang suami hanya bisa termangu-mangu menyaksikan sang buah hati dalam pelukan kasih sayang istri tercintanya.

Sejak saat itu, orang Komodo mulai mempraktikan proses persalinan secara normal atau alamiah. Meskipun obat-obatan tradisional masih kerap digunakan, seperti akar-akar kayu atau berbagai jenis dedaunan untuk mandi atau minum, guna menyembuhkan luka-luka atau memulihkan kembali tenaga yang terkuras.*

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button