BUMI MANUSIA

Memelihara Tradisi Tenun Tangan, Mencegah Hilangnya Kearifan Lokal

Floresgenuine.com-Kearifan – kearifan lokal mesti dilestarikan secara terus menerus. Tradisi tenun tangan merupakan salahsatu aset budaya yang nilainya sangat mahal. Karena itu, pelestarian tenun merupakan sebuah upaya untuk mempertahankan tradisi dan sebagai bentuk promosi budaya ke dunia luar.

Para penenun yang sampai saat ini masih setia menenun adalah pribadi-pribadi pecinta budaya dan tradisi. Menenun bagi masyarakat NTT sudah merupakan warisan leluhur yang patut dijaga dan dilestarikan dari masa ke masa. Pasalnya, memelihara tradisi merupakan upaya untuk mencegah berbagai bentuk kemajuan modern yang menggusur kearifan-kearifan lokal.

Menerima yang modern, tidak berarti melespaskan warisan budaya. Menerima yang modern dan menyesuaikannya dengan kearifan lokal adalah sebuah upaya mempertemukan yang global dan lokal. Nusa Tenggara Timur dan Flores khususnya memiliki cerita panjang sejarah kain tenun ikat atau tenun tangan ini.

Pada mulanya, kain tenun tangan atau tenun ikat dibuat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain sebagai busana penutup dan pelindung tubuh, di kemudian hari berkembang sebagai kebutuhan adat, perkawinan, kematian, dan sumber pendapatan masyarakat, terutama masyarakat di pedesaan.

Tenun ikat memiliki nilai budaya yang tinggi yang harus dikonservasi agar nilai-nilai kultural yang terdapat di dalamnya tidak hilang atau luntur. Kain tenun memiliki beragam motif dan masing-masing motif mewakili suku-suku yang tersebar di NTT. Motif tenun ikat menjadi ciri diferensiasi antarsuku. Motif tenun ikat juga menjadi symbol identitas suku.

Ketika orang Lembata, Larantuka, Ende, Maumere, Nagekeo, Ngada, Manggarai mengenakan tenun dengan motifnya sendiri, menunjukkan kepada orang lain atau suku lain bahwa mereka berasal dari suku atau etnis tertentu sekaligus menggambarkan adanya perbedaan diantara suku-suku tersebut.

Dan ada rasa bangga tersendiri ketika mereka tampil memakai kain tenun ikat hasil karya mereka sendiri. Mereka tentu merasa bangga karena memakai tenun ikat adalah sebuah ekspresi kesejatian diri mereka di tengah keberagaman budaya dan adat istiadat. Atas dasar ini pula maka setiap suku merasa perlu untuk melestarikan kain tenunnya.

BACA JUGA:  Ratusan Ribu Umat Katolik Timor Leste Sambut Kedatangan Paus Fransiskus

Hampir di semua wilayah pedesaan di NTT banyak ditemukan para penenun teristimewa kaum perempuan yang menekuni tenun tangan ini. Mereka menenun secara personal pun kolektif. Kolegialitas kelompok tenun di pedesaan nampak dalam usaha menenun bersama.

Menenun entah secara personal atau pun kelompok merupakan sebuah usaha nyata untuk mewariskan tradisi menenun kepada generasi-generasi muda dan generasi yang akan datang. Namun, disadari bahwa zaman sudah jaug berubah. Ada semacam rasa cemas terhadap makin kurang berminatnya generasi masa kini dalam menekuni dunia tenun-menenun.

Di sini, pentingnya melestarikan tradisi menenun. Tenun wajib dilestarikan karena merupakan kearifan dan kekayaan masyarakat lokal. Konservasi tenun dan mewariskan kepada generasi muda merupakan bagian dari upaya untuk tetap menjaga dan melestarikan eksistensi tenun ikat di wilayah ini.

BACA JUGA:  Buaya Sering Memangsa Manusia, Alam NTT Semakin Tak Bersahabat

Konservasi tenun mesti dipandang sebagai usaha bersama yang membutuhkan partisipasi setiap orang yang berada di NTT. Ini adalah bentuk kepedulian budaya dan sebagai upaya untuk menjadikan tenun tetap eksis dalam kancah peradaban global. Tenun juga adalah salah satu jenis pencaharian kaum ibu/perempuan.

Tenun mengandung banyak makna budaya. Semua makna yang terkandung dalam kain tenun memiliki keterkaitan dengan kehidupan masyarakat setempat. Atas dasar itu, tenun mesti dikonservasi supaya tenun tetap menjadi milik masyarakat dan tetap menjadi bagian integral dari kebudayaan yang hidup.

Sekelompok perempuan sedang menenun kain di Lembor, Manggarai Barat. (Foto : Kornelis Rahalaka/Floresgenuine)

Motif tenun pada umumnya juga berkaitan dengan simbol-simbol adat istiadat atau budaya setempat seperti bentuk rumah adat dan lain-lain. Untuk mempertahankan dan melestarikan budaya menenun, beberapa upaya harus dilakukan seperti membudidayakan kembali tanaman lokal seperti tarum, mengkudu, kusambi, koto, (kacang hutan), kunyit dan murbei.

Secara tradisional jenis-jenis tanaman di atas adalah bahan dasar untuk pewarnaan alami. Berbagai jenis tanaman tersebut harus dibudidayakan, ditanam dalam sebuah lahan khusus dan dipeliharan dan dirawat dengan baik. Jenis-jenis tanaman ini termasuk tanaman langka karena jarang ditemukan serta minimnya kesadaran masyarakat untuk menanamnya.

BACA JUGA:  Bak Penampung Hujan, Cara Warga Kedang Memenuhi Kebutuhan Air di Musim Kemarau

Selain itu, kapas yang merupakan bahan dasar untuk membuat pakaian hampir punah. Padahal, kapas merupakan bahan dasar untuk menghasilkan benang. Itu sebabnya, kapas harus ditanam atau dibudidayakan.

Dewasa ini banyak penenun menggunakan benang yang sudah jadi atau benang yang dijual di toko. Penenun ini memperoleh banyak hasil daripada kualitas tenunan. Padahal, menenun menggunakan kapas asli, hasilnya tentu jauh lebih berkualitas ketimbang menenun dengan menggunakan bahan sintetis dari toko.

Perkembangan zaman yang terus berubah memang sulit dihentikan. Hampir sulit menemukan para petani kapas yang setia membudidayakan kapas di lahan kebun mereka. Selain banyak lahan yang telah dikonversi untuk tanaman pangan dan proses untuk mendapatkan benang dari kapas pun membutuhkan waktu yang relative lama.

Bentuk lain untuk melestarikan tenun ikat yakni mempromosikan produk tenun ke dunia luar. Promosi merupakan cara untuk memperkenalkan tenun ikat NTT. Melalui promosi diharapkan dapat mendorong minat pihak luar untuk membeli atau berkontribusi dalam bentuk investasi demi melestarikan tenun tangan  khas NTT. [kis/fg]

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button