FLORESIANA

Pemimpin

Oleh : Benediktus Kasman

Kita mengenal aneka kepemimpinan. Kita coba mengikuti pikiran ini: pemimpin yang ingin memecahkan soal secara rasional dan logis; problem solvers dan pemimpin yang lebih mementingkan semangat dalam membedah soal; solidarity makers.

Pemimpin yang pertama, penganut problem solvers-berpikir secara rasional dan logis. Aliran ini memecahkan masalah bertolak dari fakta, lalu diolah secara rasional, zakelik, logis dan tepat.

Barangkali itulah tuntutan manajemen negara-negara modern yang tergabung dalam IMF (International Monetery Fund)-negara-negara di luar nun jauh dari kita, toh punya tekad untuk memperbaiki keadaan pengap di tanah air dan kongkalingkong dalam ‘rumah tangga negara’ sedari kelahiran reformasi hingga memasuki usia dua puluh lima tahun lebih saat ini.

Mungkin sebagian pemimpin menerima dengan pertimbangan agar kontrak pinjaman urusan ‘perut bangsa’ yang lapar, baik yang ada di metropolis maupun di gua-gua kampung dapat terjawab.

Atau sikap menerima itu merupakan suatu konsekuensi suatu negara yang belajar menerapkan Trias Politika dan Kontrak Sosial yang menghendaki pemimpin mesti antusias terhadap kontrol susila dari rakyat yang terorganisir.

Tetapi kaum solidarity yang mementingkan semangat, amat susah akan menanggapi hal itu.

Semangat berdiskusi, anti campur urusan di dalam, gotong royong, musyawarah mufakat dan persatuan walaupun yang disatukan itu bagaikan air dan minyak, dibangkitkan dan dikobarkan terus-menerus sembari pemutarbalikan fakta dan diri sendiri berkelakuan amat feodal dan korup, nepotis serta kolusi.

BACA JUGA:  Empo Mberong

Tentang pemimpin yang tergolong jenis kedua ini-solidarity makers-mempunyai sejumlah pemimpin kecilan yang membengkak dan turut menyebarkan retorika atau slogan perubahan dalam lembaga negara, tapi kentara dari luar kepemimpinannya diktator-tiran.

Berbeda dengan problem solvers. Ia mempunyai murid-murid cilik yang cerdik dan pandai (moral, religius dan intelektual) yang coba membentangkan benang merah perubahan dalam lembaga negara separalel manajer profesional yang menerangkan bahwa kedustaan dalam diri rumah tangga negara kita telah menjadi sistem.

Mungkin juga pemimpin menyadari ‘dirinya adalah seorang public servant yang kesetiaanya bukan menyempit pada partai atau pribadi tetapi pada bangsa dan tanah air.

Kita baca makna menjadi seorang pemimpin dari kata-kata Manuel Quezon tentang kesetiaan ini: “Kesetiaan saya terhadap partai berhenti, bila mana kesetiaan terhadap tanah air dimulai”.Memang kebenaran yang dikemukakan secara terus terang amat sepahit cuka. Tapi demokratis!

BACA JUGA:  Elegi Dua Cinta

Pemimpin kita dan kita yang kusuma bangsa lebih cenderung memilih yang semanis madu ketimbang yang sepahit cuka.Tetapi kenyataan amat tidak gampang diduga, sebab dalam tubuh pemimpin kita dewasa ini, sedang berjalan dalam pro dan kontra. Rakyat menjadi bingung dan massa mengambang.

Keadaan ini mengingatkan aku akan penggalan syair biduan Gombloh yang pernah bersenandung: “…madu di tangan kananmu, racun di tangan kirimu, aku tak tahu mana yang kau berikan padaku”.

Dan wajah-wajah bakal pemimpin di negeri ini pun telah diusung ke ruang publik. Pampangan gambar para calon pemimpin di titik-titik lokasi strategis, seakan menuntun rakyat berhak pilih saat tiba momentum coblos pada Pemilu langsung.

Aku sebagai salah seorang rakyat merasa terbantu dengan kehadiran banyak wajah tergambar itu. Batinku bergolak semoga akan tampil sosok pemimpin yang menghalaukan ketidakadilan sosial dan kemelaratan yang mendera rakyat.

Tapi, kadang aku gelisah sambil menggerutu: apakah putra-putra negarawan yang nantinya memimpin negara ini? Menghadirkan pemimpin sesuai harapan semakin sulit, karena dunia selalu berubah dan opini senantiasa berubah, maka semakin tidak mudah bagi  rakyat memastikan pilihannya. Hasil akhir pilihan bisa pro-harapan, tapi bisa juga kontra-harapan.

BACA JUGA:  Indonesia dari Papua untuk Rambut Putih

Keadaan ‘membingungkan’ perihal kemudahan dan kesulitan menemukan sosok yang ‘pas’ pernah dialami seniman Michael Angelo: Michael Angelo seniman kesohor. Ia mau melukis perjamuan akhir Yesus bersama para muridNya. Ia mencari sosok Yesus dan ia temukan lalu dibawanya ke studio. Ia melukisnya maka jadilah sebuah lukisan wajah Yesus.

Kemudian ia menggambarkan wajah murid-murid. Namun, agak kesulitan menemukan sosok yang bakal jadi Yudas. Ia pergi menemukan warga sekitar, tapi tak ada yang cocok. Ia terus mencari. Dibutuhkan waktu yang lama. Suatu kesempatan, ia menemukan seseorang yang sedang diadili di ruang sidang di pengadilan. Ia memintanya untuk dijadikan Yudas. Ia membawanya ke studio. Ia mulai melukis wajah sebagai Yudas.

Sementara wajahnya dilukis, ia tiba-tiba meneteskan air mata di pipinya. Michael bertanya, mengapa Anda menangis? Ia pun menjawab: pernah saya dilukiskan sebagai wajah Yesus di studiomu ini, tapi mengapa saat ini, saya dilukiskan sebagai wajah Yudas?

 

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button