Meskipun Korban Berjatuhan, Warga Percaya Buaya Nenek Moyangnya
Editor Kornelis Rahalaka [Labuan Bajo]
Entah berapa banyak lagi nyawa manusia yang harus melayang sia-sia, akibat dimangsa buaya muara atau crocodylus porosus.Pasalnya,meskipun banyak korban berjatuhan, namun hingga kini, belum ada upaya nyata untuk mengatasi kasus buaya muara yang memangsa warga Kedang dan sekitarnya.
Tercatat, tahun 2020 lalu, seorang warga relah kehilangan nyawa karena diterkam buaya muara. Peristiwa piluh itu terjadi di Pesisir Pantai Natu, Desa Mahal, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata.
Tragedi serupa terjadi kembali pada Selasa (12/9/2023). Seorang warga bernama Goris, asal Desa Panama, Kecamatan Buyasuri harus merenggang nyawa, setelah dirinya dimangsa seekor buaya di perairan Bean, Kecamatan Buyasuri, Kedang, Kabupaten Lembata.
Warga mengisahkan, sore itu, korban bersama dua rekan lainnya tengah mencari ikan di perairan Bean. Tak disangka, secara tiba-tiba seekor buaya menerkam korban lalu menyeretnya ke dalam perairan laut.
Korban sempat berteriak minta tolong namun tak berselang lama, korban menghilang bersama buaya ke lautan dalam. Informasi itu segera menyebar dan warga melakukan pencarian. Namun korban baru ditemukan di sekitar perairan Atanila. Saat ditemukan, korban sudah tak bernyawa. Korban pun langsung dievakuasi oleh warga ke kampung halamannya di Leunahaq, Desa Panama, Rabu (13/9/2023).
Ceritra piluh seputar kasus buaya versus manusia bukan baru kali ini terdengar oleh telinga warga. Tragedi demi tragedi kemanusiaan itu seakan terus saja terjadi di wilayah ini. Berbagai upaya memang telah dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Nusa Tenggara Timur. Namun nyatanya, peristiwa seperti ini masih terus saja terjadi.
Untuk menangani kasus gigitan buaya, pemerintah memanng tidak tinggal diam. BKSDA NTT misalnya, pada tahun 2014 telah membentuk sebuah Unit Penanganan Satwa (UPS) untuk menangani masalah ini. Tim itu pun telah dibekali berbagai kemampuan untuk penanganan satwa liar, terutama buaya sesuai prosedur operasional. Upaya ini juga merupakan bagian dari amanant Peraturan Menteri Kehutanan No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa termasuk buaya sebagai satwa liar yang dilindungi.
Namun, konflik antara manusia dan buaya kerap terjadi dan tak jarang menimbulkan korban berupa luka gigitan buaya atau bahkan berujung kematian. Konflik kerapkali terjadi karena keberadaan buaya dianggap mengganggu aktifitas nelayan, mengurangi kenyamanan kegiatan pariwisata atau ternak warga yang dimangsa buaya.
Selain alasan di atas, segelintir masyarakat masih menganggap buaya adalah nenek moyang mereka, sehingga buaya harus dijaga dan dilestarikan. Warga percaya mitos tersebut sehingga buaya yang berkeliaran di muara sungai atau di tempat-tempat tertentu dilarang untuk ditangkap apalagi dibunuh secara sembarangan.
Buaya memang merupakan salah satu satwa yang dilindungi oleh negara dan perlu dilestarikan keberadaannya. Itu sebabnya, pemerintah mengimbau masyarakat agar selalu berhati-hati dan waspada jika beraktivitas di sekitar muara sungai atau di tempat-tempat yang dianggap rawan.
Selain memberikan himbauan, pemerintah juga berusaha untuk menangkap buaya-buaya itu untuk proses penangkaran demi menghindari adanya gigitan buaya. Pemerintah mengakui kalau ada juga legenda yang berceritra tentang bagaimana manusia berinteraksi dan berhubungan dengan buaya.
Dari aspek ekologis, beberapa wilayah di Kedang khususnya memang telah menjadi area persebaran buaya muara seperti di Bean dan Weilolong, Kecamatan Omesuri. Di kedua wilayah tersebut kerap terjadi kasus gigitan buaya. Buaya-buaya itu kerap memangsa ternak warga yang dibiarkan berkeliaran di tepi pantai. Bahkan pernah terjadi warga yang dimangsa buaya.
Itu sebabnya, pemerintah meminta warga agar selalu waspada dan tidak membuang bangkai, sisa makanan, daging atau ikan di pesisir pantai karena aroma amis akan mengundang buaya datang ke lokasi itu. Namun, peristiwa gigitan buaya tak pernah sepih dari kehidupan masyarakat.
Data Konflik Buaya vs Manusia
Berdasarkan data BBKSDA NTT, tercatat sudah 42 kasus sepanjang tahun 2011 hingga 2016. dua kasus terjadi pada tahun 2011, tiga kasus pada tahun 2012, delapan kasus 2014, delapan kasus tahun 2015, 11 kasus 2016. Sementara itu, kasus buaya vs manusia juga terjadi sejumlah tiga kasus pada tahun 2017, enam kasus pada tahun 2018, Jadi, total sebanyak 34 orang korban tewas. Artinya, rata-rata ada 6 orang tewas per tahun.
Kasus buaya versus manusia itu terjadi hampir di semua kabupaten di NTT. Tercatat, di Kabupaten Malaka, selama tahun 2019 terdapat empat orang dimangsa buaya dan meninggal dunia dengan kondisi mengenaskan. Dua lelaki dan dua perempuan ditemukan pada bulan Januari dan Maret. Semua korban diterkam buaya saat beraktifitas mencari ikan, kerang atau udang di laut.
Tragedi kemanusiaan itu juga menimpah seorang warga di Desa Tanah Putih, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang. Korban diterkam buaya di perairan Haram Naibeti, Desa Nunkurus, Kecamatan Kupang Timur. Meskipun dapat menyelamatkan diri namun korban menderita luka-luka yang cukup parah. Kejadian serupa di Desa Pakubaun, Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang diterkam buaya saat mengambil air di Muara Noehaen.
Kejadian serupa pernah terjadi di muara Desa Nangalili, Kecamatan Lembor Selatan, Kabupaten Manggarai Barat beberapa tahun lalu. Seorang anak rela kehilangan nyawa setelah diterkam buaya. Peristiwa serupa terjadi di muara sungai Wae Mese, Desa Nanganae, Labuan Bajo, Manggarai Barat belum lama ini.
Pemerintah Harus Bertindak Tegas
Pemerintah daerah dalam hal ini Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) perlu bertindak tegas guna mengatasi kasus-kasus yang melibatkan manusia dengan buaya muara. Aleks Puaq Wulohering kepada Floresgenuine.com, Rabu, (13/9/2023) mendesak pemerintah agar bertindak tegas berupa melakukan penangkapan dan penangkaran terhadap satwa liar yang kerap menerkam dan membunuh manusia tersebut.
Menurut Aleks, pemerintah tidak cukup hanya memberikan himbauan kepada masyarakat tetapi harus mengambil langkah tegas dengan menangkap dan menangkar buaya-buaya buas tersebut demi menjamin keselamatan nyawa manusia khususnya para nelayan dan anak-anak.
“Pemerintah harus bertindak tegas. Terkadang masyarakat masih memandang buaya sebagai mitos yakni nenek moyang mereka sehingga mereka membiarkannya. Apakah kita harus biarkan banyak korban yang berjatuhan?”tanya Aleks retoris.
Dia juga meminta masyarakat untuk tidak terlalu percaya pada mitos-mitos yang beredar di tengah masyarakat. Seakan buaya merupakan nenek moyangnya. Pemahaman masyarakat seperti ini perlu juga diluruskan agar masyarakat tidak terjebak dengan mitos-mitos yang sulit dibuktikan kebenarannya. Ia mengingatkan bahwa buaya tetaplah hewan liar yang ganas dan bisa memangsa manusia.
Tentu saja bukan berarti manusia boleh membunuh atau membinasakan buaya-buaya tersebut. Selain karena buaya merupakan satwa liar yang harus dilindungi juga buaya merupakan bagian dari ekosistem yang wajib dilestarikan. Hanya saja, satwa liar tersebut tidak boleh dibiarkan berkeliaran sehingga dapat membahayakan manusia.
Untuk itu, ia meminta pemerintah agar di lokasi-lokasi yang diidentifikasi sebagai tempat tinggal atau tempat hidup buaya agar diberikan tanda peringatan atau larangan agar masyarakat tahu dan sadar terhadap adanya bahaya yang dapat menghilangkan nyawa manusia jika manusia tidak waspada dan hati-hati terhadap keberadaan buaya muara.*