PARIWISATA

Menemukan Model Pengembangan Ekowisata Berbasis Budaya dan Kearifan Lokal

FLORESGENUINE.com- Bagaimana model pengembangan ekowisata di Labuan Bajo, Manggarai Barat? Apa kunci sukses untuk mengembangkan sektor ekowisata? Apa hambatan dalam pengembangan ekowisata? Apa pula dampak sosial ekonomi dari pengembangan pariwisata bagi masyarakat?

Pertanyaan-pertanyaan kunci di atas mengemuka dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi bekerjasama dengan Universitas Multimedia Nusantara yang berlangsung di Hotel Zasgo, Labuan Bajo, Jumat (12/7/2024).

Ketua peneliti Universitas Multimedia Nusantara, Dr. Bherta S.E  Murtiningsih, M, Hum mengatakan, tujuan FGD yakni untuk keperluan penelitian terkait pengembangan ekowisata berkelanjutan berbasis budaya dan kearifan lokal di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar).

“ Apakah program ekowisata melibatkan masyarakat lokal dan apakah pariwisata berdampak terhadap pemberdayaan masyarakat, atau justru semakin termajinalkan masyarakat dari kehidupan sosial, budaya dan kearifan-kearifan lokal mereka. Bagaimana model komunikasi berkelanjutan berbasis kearifan local dalam pengembangan ekowisata berkelanjutan?,” ungkap Bherta.

BACA JUGA:  Pelantikan 135 PPPK: Ciptakan Budaya Kerja Cerdas, Efektif dan Efisien

Beberapa pertanyaan tersebut, kata Bherta sebagai kata kunci untuk mencari dan menemukan jawaban serta solusi yang tepat sebagai model pengembangan parwisata Labuan Bajo, Flores. Melalui FGD ini diharapkan menemukan model pengelolaan pariwisata yang berbasiskan pada kebudayaan dan kearifan lokal.

Selain  itu, apakah model komunikasi yang terbangun dalam pengembangan ekowisata bersifat partisipatif atau melibatkan masyarakat atau sebaliknya bersifat top down dan hanya didominasi oleh kelompok-kelompok tertentu saja.

Menurut Bherta, hasil penelitian ini nantinya akan mencoba untuk merancang semacam model pengembangan ekowisata yang lebih berorientasi pada nilai-nilai budaya dan kearifan-kearifan lokal serta apa saja yang kira-kira perlu dikembangkan sehingga masyarakat benar-benar diberdayakan, baik secara ekonomi, budaya maupun sosial.

Penelitian ini juga bertujuan membangun semacam model interaksi ekowisata yang lebih mengedepankan pemberdayaan masyarakat, terlebih bagaimana masyarakat lokal bisa diberdayakan semaksimal mungkin yang pada akhirnya ikut menikmati hasil dari pariwisata di wilayah ini.

BACA JUGA:  Kemenparekraf Target 500 Ribu Kunjungan Wisatawan ke Labuan Bajo Flores

Banyak persoalan mengemuka dalam diskusi yang dihadiri para pelaku wisata dan tokoh masyarakat ini. Berbagai persoalan tersebut mencerminkan, betapa buruknya komunikasi dan tata kelola pengembangan pariwisata di Labuan Bajo.

Nara sumber sedang mempresentasikan materi penelitian pengembangan ekowisata Labuan Bajo. (foto : Kornelis Rahalaka/Floresgenuine)

Gabriel Pampur, seorang tour guide di Labuan Bajo mengkritik pemerintah yang lebih cenderung menghitung angka-angka tentang berapa banyak turis yang datang dan berapa devisa atau uang yang diterima oleh pemerintah dari sektor pariwisata ketimbang menghitung kualitas pariwisata dan hasil-hasil dari pembangunan pariwisata yang berdampak pada peningkatan kesejahtraan masyarakat.

Dia mengatakan, dalam pengembangan pariwisata di Labuan Bajo, khususnya terkait penataan infrastruktur di kota Labuan Bajo, pemerintah daerah dan masyarakat lokal nyaris tak pernah terlibat atau dilibatkan.

Ketika muncul masalah atau protes dari masyarakat berkaitan dengan pembangunan maka pemerintah daerah seolah lepas tanggungjawab karena tidak pernah dilibatkan dalam urusan pembangunan.

Gabriel juga mengkritik pengelolaan pariwisata yang tidak menghargai nilai-nilai budaya dan kearifan-kearifan lokal. Ia memberi contoh, permainan caci yang seharusnya dipentaskan pada waktu dan tempat tertentu karena berhubungan dengan ritus adat tertentu tapi karena demi mengejar keuntungan ekonomi, caci yang bermakna sacral itu justru dapat dipentaskan di mana saja sehingga mencederai  nilai budaya dan kearifan lokal itu sendiri.

BACA JUGA:  Total 4 Parpol Charles Ang Telah Ajukan Berkas Lamaran sebagai Balon Pilkada di Mabar

Sementara itu, terkait konsep pengembangan ekowisata yang sudah merupakan program pemerintah, namun dalam prakteknya, ekowisata masih sebatas retorika.

“ Konsepnya ekowisata tetapi banyak hutan yang dibabat atau dimusnahkan untuk pembangunan hotel atau restaurant,” kritiknya.

Simpulan sementara yang dapat ditarik dari FGD ini adalah bahwa komunikasi berkelanjutan berbasis kearifan lokal dalam pengembangan ekowisata berkelanjutan di Labuan Bajo masih sangat lemah bahkan tidak berjalan baik.

Partisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan ekowisata pun sangat minim karena konsep pembangunan bersifat top down, tanpa melibatkan masyarakat termasuk hasil-hasil pariwisata lebih menguntungkan kelompok-kelompok dominan daripada masyarakat umum . [kis/ah/fg]

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button