Tidak jarang kita mendengar kisah tentang keluarga yang bahagia, damai dan selalu diliputi keceriaan serta keriangan. Namun dibalik itu, kita juga kerapkali melihat dan menjumpai keluarga yang tidak akur, sering terjadi pertengkaran dan konflik, yang disadari atau tidak, telah menanamkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.
Bahkan yang lebih menyedihkan adalah pertengkaran dan konflik itu berkepanjangan, hingga berujung pada perpisahan atau perceraian. Secara ideal, setiap orang merindukan dan mencita-citakan keluarga yang damai dan bahagia, dan berusaha menghindari konflik dan pertengkaran di dalam keluarga.
Bertolak dari cita-cita akan sebuah keluarga yang bahagia dan sejahtera, maka setiap orang yang hendak membentuk sebuah keluarga mestinya adalah orang-orang yang sudah matang secara jasmani dan rohani. Kematangan seseorang bukan pertama-tama ditentukan oleh apa yang dikatakan oleh orang lain (menurut penilaian orang), akan tetapi kemampuan individu untuk mempelajari dan memahami pertumbuhan dan perkembangan dirinya sendiri. Dengan kata lain, seseorang dikatakan matang apabila ia telah mencapai kedewasaan dalam cara berpikir, cara berucap, dan cara bertindak. Singkat kata, ada keserasian antara perkataan dan perbuatan.
Sebab, ketika seorang telah mencapai taraf demikian, maka ia akan mempertimbangkan dengan cermat semua yang telah dipelajari, baik pengalaman hidupnya bersama orangtuanya sendiri atau orangtua lainnya, maupun kisah cerita yang diwariskan turun temurun, entah lisan atau tulisan. Kemudian dengan sebuah ketetapan hati, ia mengambil keputusan untuk melangkah ke jenjang hidup berkeluarga. Dengan memutuskan untuk masuk ke dalam lembaga keluarga berarti, ia dengan sadar, tahu dan mau memasuki lembaran baru dalam hidup bersama orang lain.
Keputusan yang diambil bukan karena ikut-ikutan melihat orang lain, tidak juga karena terpengaruh ajakan orang lain, bukan karena keinginan supaya dipanggil dengan sebutan yang enak didengar seperti ‘ayah’, ‘bapa’, ‘ibu’, ‘mama’, bukan pula untuk sekadar merubah status, apa lagi cuma memenuhi kebutuhan biologis.
Keputusan itu merupakan buah permenungan dan pemahaman yang mendalam. Dengan demikian keputusan yang didasarkan atas refleksi dan pertimbangan yang matang sangat menentukan bagi pengisian lembaran-lembaran kosong yang telah disiapkan baginya, entahkah mau diukir dengan hal-hal yang baik atau sebaliknya.
Bagi siapa pun, termasuk orang katolik, perkawinan merupakan pintu masuk dalam sebuah lembaga keluarga. Perkawinan dinyatakan sah apabila pria dan wanita telah menerima sakramen perkawinan. Di dalamnya, pria dan wanita menyatakan kesediaannya untuk hidup bersama dengan dilandasi ajaran kristiani yang berpedoman pada ajaran Kristus, juga kesediaan mereka berdua mendidik anak-anak dengan penuh tanggung jawab, termasuk menanamkan nilai-nilai injil.
Keluarga merupakan sebuah ‘seminari kecil’. Merujuk pada usul asalnya, kata ‘seminari’ dari Bahasa Latin seminarium yang diambil dari kata dasar semen artinya benih, maka seminari adalah tempat persemaian benih. Di sini seseorang dibentuk, dibina, dilatih dan dididik berdasarkan lima aspek yaitu scientia (pengetahuan), sanctitas (kekudusan), sanitas (kesehatan), societas (komunitas), dan sapientia (kebijaksanaan). Diharapkan kelak seseorang akan menjadi pribadi yang memiliki keseimbangan, pribadi yang mempunyai karakter dan kepribadian yang integral.
Jika ditautkan dengan lembaga keluarga, maka keluarga menjadi tempat persemaian bagi generasi baru, tempat lahirnya generasi yang akan menentukan masa depan keluarga dan masyarakat, tempat tumbuhnya tunas-tunas muda yang siap mendedikasikan hidupnya bagi perwujudan dunia yang lebih baik.
Keluarga adalah wadah pembentukan benih (baca: generasi) baru. Seseorang dibentuk dengan pola asuh yang dilandasi kasih, dilatih melalui pembiasaan, dibina dan dididik dengan penuh kasih. Di dalam keluarga, masa depan generasi muda dipertaruhkan.
Dalam rumusan Konsili Vatikan II, keselamatan pribadi maupun masyarakat manusiawi dan kristiani erat berhubungan dengan kesejahteraan rukun perkawinan dan keluarga (GS art. 47).Pernyataan kesediaan suami dan isitri dengan penuh rasa tanggung jawab untuk melahirkan, membesarkan, dan mendidik anak-anak dalam dan melalui sakramen perkawinan menunjukkan kemauan dan niat suci mereka untuk menyediakan tempat yang pantas dan layak bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya.
Anak-anak akan dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik bila mereka menemukan kebebasan di tempat mereka dibesarkan. Kebebasan memberikan banyak kemungkinan bagi anak-anak untuk dapat melihat dan mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya dan dalam kebebasan pula anak-anak dapat menemukan jati dirinya yang sejati.
Anak-anak hanyalah titipan Sang Pencipta Agung pada orangtua. Dialah pemilik sah yang sesungguhnya. Sang Khalik hanya mempercayakan kepada orangtua untuk melahirkan, membesarkan, mendidik, membimbing, mengajar dan mendampingi anak-anak.
Oleh karena itu, orangtua yang baik dan bertanggungjawab adalah orangtua yang tahu bagaimana ia menjalankan perannya, tahu cara mendampingi anaknya, tahu cara menyampaikan perilaku dan tutur yang salah dari anaknya, tahu cara memuji perilaku dan berucap yang baik dari anaknya, dan lebih dari itu ia harus menjadi panutan bagi anak-anaknya.
Suasana keluarga yang kondusif akan melahirkan generasi muda yang optimis, energik, progresif, kreatif, inovatif, transformatif. Generasi yang memiliki kemauan yang keras untuk berusaha meningkatkan kualitas hidupnya dalam mengisi hari-hari hidupnya di dunia ini. Kita berharap agar keluarga katolik dapat mewujudkan cita-cita seperti yang telah digambarkan di atas.
Dunia membutuhkan semakin banyak orang untuk menciptakan dan mewartakan damai. Orang-orang seperti itu hanya lahir dari keluarga yang baik dan “sehat”, keluarga yang dibangun di atas dasar kasih Kristus, ‘dijiwai semangat Kristus, yang seluruh hidupnya diresapi oleh iman, harapan dan cinta kasih’ (bdk. GS art. 48).
Setiap orang katolik mesti membangun kesadaran dan menanamkan keyakinan di dalam dirinya tentang keluarga yang diinspirasi dan dihidupi oleh nilai-nilai injil seperti yang ditunjukkan oleh Keluarga Kudus Nazaret. Sebab dari situlah lahir generasi yang baik dan ‘sehat’ pula.*