Agama dan politik nampaknya sama-sama tak terelakan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ibarat ikan dan air, manusia tidak bisa terpisahkan dari masalah agama dan politik. Banyak cerdik pandai telah mencoba mendefenisikan politik, meskipun belum memberikan sebuah defenisi final yang dapat diterima oleh masyarakat umum.
Namun satu yang pasti, politik hadir di mana-mana, di sekitar kita, entah sadar atau tidak, mau atau tidak, politik ikut mempengaruhi hidup kita, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari kelompok masyarakat. Hal ini berlangsung sejak lahir sampai kematian, tidak peduli apakah kita ikut mempengaruhi proses politik itu atau tidak. Karena politik mempengaruhi kehidupan manusia maka tak berlebihan jika Aristoteles menyebutkan politik merupakan master of science.
Politik adalah gejala yang tak terelakan. Ia selalu hadir disekitar kita. Ia menstrukturkan kehidupan kita dan membatasi pilihan kita. Demikian diungkapkan Carlton Clymer Rodde, dkk (dalam buku Pengantar Ilmu Politik, Rajawali Pers, Jakarta 1993 hal.V). Di mana hakikat kehidupan social sesungguhnya merupakan proses politik dan ajang interaksi antara manusia satu sama lain.
Manakala manusia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat dan berupaya untuk mempengaruhi orang lain agar menerima pandangannya, maka kita melihat banyak orang sibuk dengan kegiatan politik. Dalam pengertian yang luas ini maka sesungguhnya, setiap orang adalah “politisi”.
Beberapa tahun terahir ini, banyak orang semakin sadar bahwa politik merupakan hal yang melekat erat pada lingkungan hidup manusia. Keterlibatan orang dalam politik, entah melalui wadah partai-partai politik maupun dalam aktivitas keseharian hidupnya merupakan bagian dari politik.
Keterlibatan dalam medan politik merupakan fenomena social yang cukup membanggakan, setidaknya hal ini menggambarkan bahwa politik tidak lagi dipahami semata-mata sebagai upaya untuk merebut kekuasaan, melainkan medium untuk memperjuangkan kehidupan umat manusia yang lebih baik dan sejahtera.
Berbicara tentang politik tak bisa dilepas-pisahkan dengan negara atau pemerintah, kekuasaan pengambilan keputusan, kebijaksanaan, pembagian sumber daya dan hukum atau tata aturan. Konsep -konsep politik seperti ini tentu saja mempunyai kelemahan, di mana konsep itu tidak membedakan kekuasaan yang beraspek politik dari kekuasaan yang tidak beraspek politik.
Misalnya, kemampuan para pastor/imam, pendeta atau kiai untuk mempengaruhi jemaah agar melaksanakan ajaran agama tidak beraspek politik. Konsep ini pun terlalu sempit karena ruang lingkup politik meliputi pula konsep-konsep lain seperti wewenang, legitimasi kebijakan umum, konflik, konsensus, ideologi dan lain-lain. Kelemahan-kelemahan tersebut kini mulai disadari terutama oleh para politisi.
Namun, demi tulisan ini sengaja menggunakan istilah “sakralisasi politik” sebagai pokok bahasan di mana politik yang berfokuskan pada kekuasaan. Dengan demikian sakralisasi politik berarti sakralisasi kekuasaan atau membuat suci kekuasaan. Dalam mana, ia merupakan suatu upaya sadar untuk mempengaruhi warga masyarakat agar menerima kekuasaan sebagai sesuatu yang suci, sakral atau tak bercela.
Sesuatu yang suci pada umumnya dikaitkan dengan agama karena agama selalu berbicara atau berhubungan dengan sesuatu yang suci atau sakral. Pemahaman seperti ini masih sangat kental dianut oleh pemerintahan purba hingga pada zaman modern ini.
Di mana, figur kepala suku dan atau raja misalnya, selalu dipandang sebagai orang-orang ‘yang suci’ karena berhubungan dengan sesuatu yang suci. Kepala suku atau seorang raja membutuhkan sikap patuh dari warga suku atau rakyat. Untuk itu, dia selalu menghubungkan dirinya dengan figur “Yang Suci”, yang Maha Besar, Maha Agung, Maha Berdaulat itu.
Tidak heran, bila pada zaman itu, para kepala suku atau raja diterima dan dihormati bak orang suci lantaran dianggap sebagai penjelmaan atau pengantara dari “Yang Suci”. Karena dia merupakan bagian dari “Yang Suci” maka kekuasaannya pun adalah suci. Maka siapapun, tak boleh membantah, melawan kekuasaan sang kepala suku atau raja. Atas cara itu, sakralisasi politik yang merupakan sakralisasi kekuasaan itu mendapat bentuknya yang paling riil.
Kesakralan politik atau kesakralan kekuasaan terungkap pula dalam perasaan-perasaan yang mengikat antara rakyat pada rajanya. Misalnya, suatu pemujaan atau kepatuhan total yang tak diterangkan oleh akal budi atau rasa takut untuk bertindak yang mengandung sifat pelanggaran terhadap hal sakral. Landasan-landasan kesucian kekuasaan atau politik tersebut diabadikan dalam mitologi-mitologi suku atau kerajaan.
Mitologi yang menjelaskan tentang bagaimana pada awal mula leluhur suku atau nenek moyang kerajaan yang merupakan penjelmaan keturunan dari “Yang Suci” menerima kekuasaan itu dari “Yang Suci” dan mewariskannya kepada penggantinya. Untuk menyegarkan kembali keyakinan akan kesucian kekuasaan, maka mitologi tadi pun selalu diceritrakan kembali dalam berbagai upacara-upacara keagamaan. Di sini agama dan politik memiliki hubungan yang sangat erat dan berlangsung sampai sekarang.
Dalam masyarakat tradisional, hampir semua sistem tatanan kehidupan dipandang sebagai ketetapan Tuhan. Bahkan di bagian dunia tertentu, pengaruh agama atas politik amat dominan. Namun, pada zaman pertengahan terjadi pergeseran, di mana, negara tidak lagi begitu penting dibanding gereja. Dalam hal ini gereja mampu memaksakan kekuasaannya terhadap raja, memecat raja bahkan tak jarang gerejalah yang menentukan kebijakan umum. Acapkali pertentangan-pertentangan politik dipecahkan melalui keputusan-keputusan penguasa gereja dan tak lagi didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan praktis dan empiris.
Memasuki zaman pencerahan, di Eropa membawa perubahan-perubahan mendasar. Perubahan itu terjadi juga dalam tataran hubungan antara agama (gereja) dan politik (pemerintah/raja). Muncul pemisahan kelembagaan antara gereja dan negara. Negara melepaskan diri dari pengaruh lembaga-lembaga religius dan penafsiran-penafsiran religius atas tindakan-tindakan politik. Dari sinilah mulai suatu proses sekularisasi politik. Suatu proses mengembalikan kekuasaan duniawi dan pengaruh agama kepada masyarakat biasa.
Zaman pun terus berubah. Banyak orang belakangan ini menyadari bahwa agama sebagai suatu kekuatan yang tak mungkin dilepaskan sama sekali dari urusan politik. Kesadaran ini menimbulkan semacam arus balik dalam proses sekularisasi politik. Dimana agama mulai dipolitisasi sedemikian rupa untuk mencapai keuntungan politik.
Para pelaku politisasi agama pada umumnya adalah orang-orang yang terikat dengan agama seperti hirarki agama, perhimpunan-perhimpunan agama, kelompok-kelompok kepentingan dari kalangan awam, sekte-sekte agama, umat beragama, partai politik baik parpol berlabel agama tertentu, partai-partai tradisional maupun partai-partai modern.
Dalam agama tertentu seorang tokoh agama dibenarkan untuk terjun langsung ke dalam politik praktis. Demikian pula tokoh-tokoh agama dalam gereja Katolik. Aspek positif dari politisasi agama melalui politik atau memperjuangkan keputusan politik yang bermuatan nilai-nilai agama. Namun tak jarang, politisasi beragama bersifat manipulatif sehingga berrkonotasi negatif.
Dalam politisasi agama, politisi memperjuangkan politik untuk kepentingan kelompok agama dan lain-lain. Sebaliknya, dalam politisasi agama yang manipulatif, sang politisi memanfaatkan unsur-unsur agama demi mencapai keuntungan politik pribadi atau kelompoknya. Dalam politisasi agama yang manipulatif ini, para politisi memakai simbl-simbol agama atau atribut-atribut agama hanya untuk menarik massa pendukung dari agama tertentu.
Ketika menjelang pemilihan umum eksekutif (Pilkada) seperti sekarang ini, para politisi atau pasangan calon (paslon) berebutan mengunjungi paroki-paroki, keuskupan, pesantren-pesantren, seminari-seminari atau biara-biara demi mencari dukungan suara.
Tokoh-tokoh agama sering dimasukan dalam komposisi dewan penasehat partai atau golongan politik tertentu dengan harapan agar jemaah bawahannya memberikan suara kepada parpol atau calon-calon yang bersangkutan. Kelompok-kelompok kepentingan agama tertentu bisa direkayasa untuk memberikan dukungan politik entah berupa doa politik bersama, pemberian sumbangan pembangunan gedung gereja, masjid, pura dan lain-lain.
Praktek-praktek mempolitisasikan agama untuk tujuan luhur yakni mewujudkan kesejahteraan umum perlu terus didorong dan dihidupkan. Sebaliknya, merekayasa agama guna menimbulkan konflik antar umat beragama atau antar politisi sesungguhnya merupakan tindakan pengkhianatan terhadap nilai-nilai luhur agama dan hakikat politik itu sendiri.
Dalam proses sekularisasi politik dan sakralisasi politik ini, menjadi jelas bahwa agama tidak bisa dibersihkan dan dilepaskan dari aktivitas politik. Agama tetap merupakan kebutuhan umat manusia sekaligus kebutuhan bagi warga negara.
Dalam “rumah politik” itulah, agama menjadi sumber inspirasi dan pemersatu semua pihak dan bukan sebagai sumber konflik dalam setiap percaturan politik. Barangkali “sakralisasi politik” patut terus ‘dihidupkan’ sebagai roh pembawa perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik hari ini dan di masa mendatang.*(fg)