OPINI

Mengukur Kualitas Debat Pilpres: Rasionalitas dan Etika

Oleh; Silvester Deniharsidi*

Pilpres tahun 2024 telah mencapai tahapan krusial dengan diadakannya debat antara calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres). Debat ini memegang peran sangat penting dalam dinamika politik, karena bukan sekadar menjadi panggung performatif, melainkan juga merupakan tahapan kritis untuk menguji rasionalitas dan kualitas kepemimpinan para calon.

Dalam diskursus politik, debat menjadi arena di mana ideologi, visi, dan rencana aksi calon pemimpin diuji secara langsung oleh lawan-lawan politiknya. Mengapa hal ini harus diuji? Karena capres dan cawapres tidak hanya akan menjadi pemimpin, melainkan pula penentu arah negara dengan kompleksitasnya yang melibatkan beragam isu ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

Debat Pilpres adalah tempat di mana calon pemimpin harus mempertanggungjawabkan visi dan rencana aksi mereka kepada publik. Rasionalitas dan kejelasan dalam merespons pertanyaan, argumentasi yang kokoh, serta kemampuan beradaptasi dengan dinamika perubahan masyarakat menjadi indikator penting. Dalam kerangka ini, debat menjadi ajang transparansi di mana setiap calon harus membuktikan kompetensinya untuk menjawab tantangan dan memecahkan permasalahan yang kompleks.

Lebih dari sekadar perang kata, debat Pilpres juga menciptakan ruang untuk mengukur etika dan integritas calon pemimpin. Bagaimana mereka berkomunikasi, merespon serangan, dan menjaga norma-norma etika dalam berpolitik menjadi tolok ukur karakter mereka sebagai calon pemimpin. Dengan demikian, debat Pilpres bukan hanya sekadar pertunjukan politik, melainkan proses seleksi ketat untuk menentukan siapa yang layak memimpin negara dengan segala kompleksitas dan tantangannya.

Debat sebagai metode yang bermakna

Rasionalitas merujuk pada kemampuan atau kecenderungan seseorang atau suatu tindakan untuk berpikir, merencanakan, dan bertindak secara logis, terorganisir, dan sesuai dengan pertimbangan yang masuk akal. Secara umum, rasionalitas melibatkan penggunaan akal dan pemikiran yang sistematis untuk mencapai tujuan atau membuat keputusan.

Karenanya rasionalitas dalam debat akan menguji kemampuan seseorang dalam mempertimbangkan informasi, menganalisis dengan logis, dan mencapai kesimpulan yang masuk akal dalam setiap topik yang dibicarakan. Sehingga orang atau pendengar atau dalam konteks Pilpres, pemilih akan mudah mengukur, dengan kriterianya masing-masing, atas logika, argumentasi, ketepatan fakta, dan kemampuan menanggapi pertanyaan atau kritik dalam konteks perdebatan itu sendiri.

Oleh karena itu, debat merupakan suatu metodologi yang sangat tinggi kedudukan dalam berbagai metode mencari kebenaran. Metode debat ini juga merupakan suatu metode yang sangat bermakna secara filosofis. Hampir semua para filsuf, dalam menghasilkan karya-karyanya berangkat dari proses perdebatan yang dialogis ini.

Plato, dalam karya-karyanya seperti “Gorgias” dan “Phaedrus,” menyoroti pentingnya dialog dan pertukaran ide dalam mencari kebenaran. Bagi Plato, debat yang rasional haruslah dipandu oleh cinta akan kebijaksanaan (philosophia) dan menciptakan pemahaman yang lebih mendalam melalui pertanyaan dan jawaban yang kritis. Antara pertanyaan dan jawaban harus memiliki kualitas yang sama. Dalam proses yang dialogis, keduanya saling berkaitan. Jawaban yang baik selalu datang dari pertanyaan yang baik pula. Jawaban itu akan sangat bergantung pada pertanyaan yang baik pula.

Aristoteles, dalam “Rhetoric,” mengembangkan teori retorika yang membahas cara berbicara secara persuasif. Meskipun terkadang terlihat sebagai filsuf yang memahami rasionalitas dalam konteks retorika, Aristoteles menekankan bahwa rasionalitas dalam debat melibatkan penggunaan logika dan argumentasi yang kuat.

Mill, dalam karyanya “On Liberty,” membela kebebasan berbicara sebagai elemen penting dalam mewujudkan kebebasan individu. Rasionalitas dalam debat, menurut Mill, mencakup penghargaan terhadap kebebasan berpendapat dan pertukaran ide untuk mencapai pengetahuan yang lebih baik.

Kant, dalam karyanya mengenai “Kritik Akal Murni,” menekankan pentingnya akal sebagai panduan untuk pengetahuan dan pemahaman. Dalam debat, rasionalitas harus didasarkan pada pemikiran yang otonom dan logis, serta menghindari pengaruh emosi atau kepentingan pribadi yang dapat mengaburkan logika.

Habermas, seorang filsuf Jerman kontemporer, mengembangkan teori komunikatif yang menekankan dialog rasional sebagai dasar demokrasi. Dalam konsep “ruang publik,” Habermas melihat debat sebagai cara untuk mencapai kesepakatan yang adil melalui argumentasi rasional.

Dari semua pemikiran para filsuf ini menunjukan bahwa debat bukanlah sebuah kegiatan formalistik, tetapi suatu proses yang memiliki nilai untuk memperdalam, dan memberi pemahaman kepada pendengar agar orang yang mendengarnya memperoleh pengetahuan yang baru dan tercerahkan. Kualitas debat tidak diukur dengan panjang dan lamanya suatu proses, tetapi diukur dengan sejauhmana perdebatan itu melahirkan wacana atau diskursus baru dalam tahapan selanjutnya.

Tolok ukur penilaian rasionalitas

Rasionalitas dalam debat itu akan mencakup beberapa hal, antara lain; pertama pertimbangan logis. Rasionalitas mencakup kemampuan untuk mempertimbangkan fakta, informasi, dan argumen secara logis. Individu yang bersikap rasional mampu menyusun pemikiran mereka dengan keteraturan dan koherensi.

BACA JUGA:  Membaca Wacana “Representasi Kaum Muda” dalam Pilpres 2024

Kedua, pemikiran kritis: Rasionalitas juga melibatkan kemampuan untuk melakukan pemikiran kritis, yaitu kemampuan untuk mengevaluasi informasi, mempertanyakan asumsi, dan menyaring ide-ide berdasarkan bukti dan logika.  Ketiga, tujuan dan keputusan yang masuk akal: Orang yang bersikap rasional memiliki kemampuan untuk menetapkan tujuan yang jelas dan membuat keputusan yang didasarkan pada pertimbangan rasional. Ini berarti menghindari tindakan impulsif dan membuat keputusan yang dipikirkan dengan baik.

Keempat, konsistensi: Rasionalitas juga mencakup konsistensi dalam berpikir dan bertindak. Seseorang yang rasional diharapkan untuk menghindari kontradiksi dalam pemikiran dan tindakan mereka. Konsistensi dalam rasionalitas mencerminkan usaha untuk menciptakan keselarasan dan integritas dalam cara seseorang berpikir dan bertindak. Ini membantu memastikan bahwa individu tersebut tidak terjebak dalam paradoks atau kontradiksi yang dapat merusak kepercayaan diri, kredibilitas, dan efektivitas mereka dalam mencapai tujuan atau menghadapi tantangan. Individu yang rasional mencoba untuk menghindari kontradiksi atau ketidaksesuaian internal dalam gagasan dan konsep yang mereka pegang.

Kelima, adaptabilitas: Kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan dan memodifikasi rencana atau tindakan berdasarkan informasi baru juga merupakan bagian dari rasionalitas. Adaptabilitas dalam konteks rasionalitas mencerminkan kemampuan individu atau kelompok untuk merespons perubahan dan memodifikasi rencana atau tindakan mereka berdasarkan informasi baru yang muncul. Dalam proses pengambilan keputusan atau pelaksanaan rencana, kemampuan untuk beradaptasi menjadi elemen kunci rasionalitas karena realitasnya seringkali dinamis dan dapat berubah.

Kemampuan adaptabilitas itu mencakup pemahaman terhadap realitas yang selalu dinamis. Ini menyangkut kemampuan melibatkan pemahaman bahwa dunia, lingkungan, dan konteks dapat mengalami perubahan. Individu yang rasional menyadari bahwa rencana atau keputusan yang valid pada suatu waktu mungkin memerlukan penyesuaian ketika kondisi berubah. Hal ini mengandung kemampuan untuk menilai dan mengintegrasikan informasi baru dengan cepat merupakan tindakan yang rasional untuk memastikan keputusan atau tindakan tetap relevan.

Adaptabilitas juga mencakup fleksibilitas dalam merencanakan dan melaksanakan strategi. Seseorang yang rasional akan memiliki rencana yang dapat dimodifikasi sesuai dengan perubahan kondisi atau perkembangan yang tidak terduga. Seseorang yang rasional tidak hanya mampu beradaptasi, tetapi juga melakukannya secara efisien. Ini mencakup kemampuan untuk mengidentifikasi perubahan yang signifikan, mengevaluasi dampaknya, dan mengimplementasikan perubahan yang diperlukan tanpa kehilangan efisiensi.

Hal yang tidak kalah penting dari adaptabilitas yang rasional adalah melibatkan kemampuan untuk mengendalikan emosi dan mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan logis, bahkan ketika dihadapkan pada situasi yang menuntut perubahan.

Tolok ukur penilaian etika dalam debat

Etika dalam debat merupakan aspek penting yang menentukan kualitas komunikasi dan interaksi antara pihak-pihak yang terlibat. Berbagai ahli dan filosof telah menyumbangkan pandangan mereka mengenai etika dalam debat. Dengan demikian, etika dalam debat melibatkan prinsip-prinsip moral, keadilan, penghormatan terhadap martabat manusia, dan pengakuan terhadap kebebasan berbicara. Etika ini menciptakan dasar yang diperlukan untuk pembentukan opini, pertukaran ide, dan pembentukan masyarakat yang demokratis.

Dalam debat, hal yang sangat penting adalah etika dalam pembuatan argumen yang meyakinkan. Menurut Aristoteles, seorang pembicara (orator) harus mematuhi etika baik dalam karakter pribadi maupun dalam penyampaian argumennya. Kant juga menekankan bahwa etika dalam debat adalah kewajiban moral dan menghormati martabat manusia. Dalam konteks debat, ini dapat diartikan sebagai kewajiban untuk tidak merendahkan martabat lawan bicara dan untuk berbicara jujur dan terbuka.

Kriteria etika dalam debat mencakup seperangkat prinsip dan norma-norma moral yang mengatur perilaku peserta debat. Etika dalam debat bertujuan untuk memastikan bahwa interaksi antar peserta berlangsung dengan adil, terbuka, dan menghormati martabat manusia.

Etika dalam debat terdiri dari delapan kriteria antara lain; pertama kehormatan pada Martabat Manusia. Peserta debat diharapkan untuk menghormati martabat manusia, baik itu lawan bicara, moderator, atau pihak yang terlibat dalam diskusi. Ini mencakup menghindari tindakan atau pernyataan yang merendahkan atau menghina pihak lain.

Kedua, keterbukaan dan Kejujuran. Etika dalam debat menuntut keterbukaan dan kejujuran. Peserta diharapkan untuk menyajikan argumen dan informasi secara jujur, tanpa menyembunyikan fakta atau memanipulasi informasi untuk kepentingan pribadi.

Ketiga, penghormatan Terhadap Hukum dan Aturan. Peserta debat diharapkan untuk mematuhi hukum dan aturan yang berlaku dalam konteks debat tersebut. Ini dapat melibatkan peraturan tertentu yang ditetapkan oleh moderator atau institusi penyelenggara debat.

BACA JUGA:  Berikut Komposisi Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran di Pilpres 2024

Keempat, kemampuan untuk mendengar dan menerim. Etika dalam debat mencakup kemampuan untuk mendengar pendapat lawan bicara dengan sungguh-sungguh dan terbuka terhadap kemungkinan bahwa pendapat lawan bisa memiliki nilai atau kebenaran tertentu. Ini melibatkan sikap empati dan toleransi terhadap keberagaman pandangan.

Kelima, tidak menggunakan pernyataan Ad Hominem. Peserta debat sebaiknya menghindari menggunakan pernyataan ad hominem, yaitu menyerang pribadi lawan bicara daripada argumen yang dibahas. Fokus debat seharusnya pada substansi dan logika argumen, bukan karakter atau latar belakang pribadi.

Keenam, tidak Menggunakan retorika yang memanipulatif. Etika dalam debat melibatkan penghindaran penggunaan retorika yang manipulatif atau menipu. Peserta diharapkan untuk menggunakan argumen yang berasal dari niat yang jujur dan niat untuk membangun pemahaman bersama.

Ketujuh, sikap terbuka terhadap kritik dan pembelajaran. Peserta debat seharusnya bersikap terbuka terhadap kritik dan berusaha untuk belajar dari pengalaman debat. Ini mencakup pengakuan bahwa pemikiran dan pandangan bisa berkembang melalui pertukaran ide yang kritis.

Kedelapan, penghindaran pemecatan isu. Etika dalam debat menuntut bahwa peserta tidak memecat isu atau mengalihkan pembicaraan dari pokok permasalahan. Peserta diharapkan untuk tetap fokus pada argumen yang sedang dibahas.

Rasionalitas debat Pilpres tahun 2024

Berdasarkan kriteria baik dari aspek rasionalitas maupun etika tersebut di atas, dalam perdebatan Pilpres tahun 2024 ini mudah untuk dinilai. Berdasarkan lima kriteria rasionalitas tersebut di atas yaitu pertimbangan logis, pemikiran kritis, tujuan dan keputusan yang masuk akal, konsistensi, dan adaptabilitas, menunjukan kualitas debat dari aspek rasionalitas belum memenuhi sesuai dengan yang diharapkan.

Dari kriteria pertimbangan logis misalnya, setiap calon baik itu capres maupun cawapres masih belum terlalu nampak. Dalam hal pertimbangan logis ini, capres dan cawapres lebih banyak mengutarakan visi dan misinya. Padahal, visi dan misi itu sifatnya abstraksi yang universal. Artinya, visi dan misi itu akan selalu berujung pada penggunaan narasi yang positif. Tetapi, ketika dirunutkan pada fakta dan informasi realitas, para capres dan cawapres hanya berhenti pada narasi “hal yang buruk akan dihentikan, digantikan atau dilanjutkan”. Tetapi bagaimana konsep-konsep ini menjadi logis dalam menemukan jalan keluar, masih belum jelas.

Pada kriteria yang kedua yaitu sikap kritis, di dalamnya ada mengevaluasi informasi, mempertanyakan asumsi, dan menyaring ide-ide. Lagi-lagi semuanya hanya dijawab dengan apa yang tertuang di dalam visi dan misi. Misalnya, ketika para capres dan cawapres menarasikan, “hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah, mereka hanya akan mengatakan selanjutnya, “Ini akan dihentikan. Ini akan diubah”. Ada juga yang menarasikan hanya berdasarkan pada Undang-undang Dasar, nilai-nilai perjuangan kebangsaan, dan lain-lain. Semua narasi ini hanyalah seperti hafal belaka, ketika seorag guru mengajarkan; Ini Budi, Ini Ibu Budi, Ini Bapak Budi. Semuanya hanya membaca teks narasi yang sudah ada, bukan mengungkapkan pemikiran kritis yang logis.

Kriteria ketiga yaitu tujuan dan keputusan yang masuk akal. Saya mengambil sebuah cuplikan jawaban dari masing-masing capres. Moderator menanyakan masalah Hak Asasi Manusia (HAM). Tema yang diangkat adalah masalah Papua. Beberpa tahun terakhir trend kekerasan di Papua meningkat, sementara masalah keadilan dan HAM, masih belum terselesaikan, sehingga konflik terus berlanjut, pertanyaannya apa strategi yang anda akan siapkan untuk menyelesaikan masalah HAM dan konflik di Papua, Secara komprehensif, dijawab dalam waktu dua menit.

Dari pertanyaan ini, belum menemukan sebuah konsep keputusan yang masuk akal dari ketiga capres. Masing-masing capres, lagi-lagi terjebak dalam jawaban retoris dan menanggapi hanya dengan pilihan kata yang berbeda. Apalagi untuk memenuhi kriteria, selanjutnya yakni konsistensi dan adaptabilitas.

Saya sengaja mengangkat masalah Papua karena memiliki kompleksitas yang sangat besar dan pada isu ini sebenarnya sangat strategis untuk masing-masing capres mengeksplorasi kemampuan rasionalitasnya.

Dalam debat-debat selanjutnya, ternyata metode jawaban atau penjelasan dari masing-masing capres hampir semuanya sama. Tidak ada yang berbeda. Menarasikan fakta, yang diujung selalu dijawab “akan diselesaikan, akan kita ubah dengan yang baru dan akan kita lanjutkan”. Tidak ada yang benar-benar memberi jawaban komprehensif yang dapat menunjukan adanya kemampuan rasionalitas terhadap pengelolaan negara ini ke depan.

Selain jawaban dan penjelasan dari capres yang belum memuaskan secara rasional, juga perlu dikritisi adalah metode debat. Metode debat yang selalu diawali dari visi dan misi, tidak mencerdaskan, karena orang bisa berbicara lancar karena tinggal menghafal visi dan misi yang sudah dibuatkan oleh berbagai tim di belakangnya. Visi-misi itu sebaiknya ditempatkan di akhir. Yang harus ditempatkan di awal adalah pertanyaan-pertanyaan terkait dengan kemampuan capres dan cawapres terhadap fakta yang ada dalam kehidupan bernegara dan solusi logis (konstruktif) dari fakta yang ada.

BACA JUGA:  Paslon Prabowo-Gibran Unggul Pilpres 2024

Berikut adalah bentuk pertanyaan. Dalam perdebatan yang ada, masing-masing capres diajukan satu pertanyaan yang berbeda, yang kemudian capres lain akan menanggapi jawaban dari capres sebelumnya. Metode seperti ini, sama seperti format pertanyaan cerdas-cermat. Dimana masing-masing peserta akan bergantung pada untung-untungan. Artinya, untuk kalau pertanyaannya mudah dan sedikit susah kalau pertanyaannya sulit.

Lalu masalah yang lain adalah pertanyaannya. Pertanyaan yang diajukan kepada capres masih seperti pertanyaan sewaktu mengikuti sebuah ujian. Peserta capres adalah peserta ujian yang akan menjawab sesuai dengan pertanyaan yang diajukan. Padahal, dalam debat capres, hal yang mau diukur adalah kemampuan rasional yang komprehensif terhadap pengelolaan bernegara.

Seharusnya untuk mengukur kemampuan setiap capres, maka yang diangkat itu adalah bukan dengan pertanyaan, tetapi dengan meminta kepada capres dan cawapres untuk menjelaskan tentang apa yang diketahuinya tentang masalah Papua? Baru kemudian, ditanyakan solusi apa yang ditawarkan terhadap masalah yang diketahuinya.

Mari kita lihat pertanyaan ini “ Beberapa tahun terakhir trend kekerasan di Papua meningkat, sementara masalah keadilan dan HAM, masih belum terselesaikan, sehingga konflik terus berlanjut, pertanyaannya apa strategi yang anda akan siapkan? Untuk menyelesaikan masalah HAM dan konflik di Papua, Secara komprehensif, dijawab dalam waktu dua menit.

Dari pernyataan “Beberpa tahun terakhir trend kekerasan di Papua meningkat, sementara masalah keadilan dan HAM, masih belum terselesaikan, sehingga konflik terus berlanjut”, pernyataan seperti ini justru yang harus diuji kepada setiap capres yakni menguji pengetahuan mereka tentang Papua. Maka penyataan ini dapat diajukan kepada setiap capres dengan bentuk sebegai berikut; “Mohon saudara jelaskan, apa yang anda ketahui tentang masalah kekerasan di Papua? Dari faktor sejarahnya dan dinamikanya sampai dengan saat ini dan apakah masalah di Papua itu masuk dalam kategori HAM atau tidak? Silakan anda menjelaskannya.

Pada pertanyaan yang pertama, seperti yang diajukan dalam debat, karena yang ditanyakan adalah solusi, akhirnya orang menjawab solusi. Padahal orang itu mungkin saja dia tidak mengetahui sejarah dan dinamika konflik di Papua sampai dengan saat ini. Kalau pertanyaannya seperti  yang dimodifikasi di atas, orang akan mudah mengukur, apakah benar capres dan cawapres tersebut mengetahui masalah yang terjadi di Papua, dari aspek sejarahnya dan apakah masalah HAM atau tidak?

Ada kemungkinan, mereka tidak mengetahui sejarah persoalannya, dan masing-masing mereka memiliki pandangan dan pengetahuan yang berbeda. Serta akan ada perbedaan, yang satu akan mengatakan itu masalah HAM dan yang lain mengatakan tidak.  Dengan demikian, mudah bagi pendengar, ketika capres menawarkan solusi, pendengar akan mengukur mulai dari pengetahuannya tentang Papua sampai dengan jawabannya dalam mencari solusi.

Etika debat Pilpres tahun 2024

Untuk masalah etika dalam debat Pilpres, masing-masing calon, baik itu capres maupun cawapres semuanya berupaya untuk menyudutkan calon lain dengan memberikan penjelasan yang menjadi celah bagi capres yang lain. Misalnya, capres nomor urut satu dan tiga, menyerang paket nomor urut dua karena paket nomor urut dua adalah orang yang diduga terlibat dalam masalah HAM tahun 1998 dan wakilnya sebagai produk dari manipulasi hukum. Tetapi mereka tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana supaya hukum itu tidak akan terulang kembali. Mereka hanya akan mengatakan “akan menegakan hukum”.

Begitu pula dengan paket nomor urut dua yang menyerang paket nomor urut satu dengan menempatkan paket nomor urut satu sebagai pihak yang pernah dibantunya dalam sebuah pemilihan kepala daerah. Atau yang disampaikan oleh cawapres nomor urut dua dengan mengkritisi hal-hal yang tidak penting, seperti melihat contekan dan membuat gimik-gimik yang tidak perlu.

Jadi berasarkan dua kriteria di atas, proses membangun debat dalam ruang demokrasi masih membutuhkan suatu format dan proses pembelajarang yang panjang.

Penulis adalah aktivis sosial tinggal di Labuan Bajo, Flores, NTT

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button