OPINI

Membaca Wacana “Representasi Kaum Muda” dalam Pilpres 2024

Oleh : Yulius Rudi Haryatno*

“Representasi kaum muda” merupakan salah satu wacana yang terus bergulir dalam diskursus politik tanah air akhir-akhir ini. Wacana ini mulai kencang terdengar setelah Gibran Rakabuming Raka (36 thn), dari generasi milenial, secara mengejutkan menjadi salah satu Calon Wakil Presiden (Cawapres), mendapingi Prabowo Subianto.

Pecalonan Gibran Rakabuming sebagai Cawapres menuai kontroversi. Kontroversi seputar pencalonannya memuncak setelah Mahkama Konstitusi (MK) memutuskan mengubah substansi Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur syarat batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun, Senin (16 Oktober 2023). MK memutuskan, meskipun berusia di bawah 40 tahun, seseorang bisa dicalonkan sebagai capres atau cawapres, sepanjang ia pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.

Keputusan MK ini dianggap by designed untuk memuluskan jalan pencalonan Gibran Rakabuming, putra sulung Presiden Joko Widodo. Pasalnya, setelah beberapa hari putusan itu keluar, Koalisi Indonesia Maju (KIM) mendeklarasikan Gibran Rakabuming sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto. Wacana “representasi kaum muda” menggema dalam keriuhan kontroversi tersebut.

Wacana “Representasi Kaum Muda”

Wacana ini digaungkan oleh kelompok pendukung Gibran Rakabuming melalui berbagai kanal media, mulai dari media sosial, TV, hingga media cetak dan online.  Dalam acara Catatan Demokrasi di TvOne, Jumat (27/10/2023), misalnya, Andre Rosiade menegaskan, “ada aspirasi dari masyarakat yang menginginkan, anak muda jangan lagi jadi objek. Kita bicara gen Z, kita perhatian sama anak muda, generasi milenial, tetapi faktanya hanya dimanfaatkan sebagai suara untuk kemenangan. Nah, di sinilah peran mas Gibran, sebagai anak muda yang punya visi, di mana Prabowo sebagai tokoh senior punya pengalaman, punya stabilitas dan rekam jejak, ditambah dengan Mas Gibran yang punya visi dan inovasi anak muda. Ini bisa memenuhi ekspektasi dan harapan seluruh warga negara Indonesia”.

Lebih gamblang lagi, Bahlil Lahadalia selaku Pembina Komunitas Relawan Prabowo-Gibran, yang juga sedang menjabat Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, mengungkapkan, “…. Mas Gibran adalah representasi anak muda. Usianya 36 Tahun. Dan jumlah pemilihnya [kaum muda] adalah 53% dari total pemilih. Dan jika para pemilih muda ini memilih pasangan Prabowo-Gibran, Insyallah, Prabowo dan mas Gibran akan menjadi presiden [dan wakil presiden]” (MetroTv, Metro Pagi Prime, Selasa, 14/11/2023).

Dari pernyataan di atas, Gibran Rakabuming sebagai calon wakil presiden 2024 disimplifikasi sebagai sosok representasi kaum muda dalam politik. Ia digambarkan sebagai simbol keaktifan kaum muda dalam ranah politik. Kaum muda tidak lagi jadi penonton dan objek dalam gelaran pemilihan umum kali ini.

BACA JUGA:  Toko Modern vs Toko Kelontong

Jika merujuk pada Foucault, wacana “representasi kaum muda” tersebut digaungkan secara simultan agar dapat berterima sebagai kebenaran atau pengetahuan oleh masyarakat (dalam Mills, 2003). Ada orientasi mempengaruhi kognisi dan persepsi masyarakat di sana. Dalam konteks kontroversi yang terjadi seputar pecalonan Gibran Rakabuming, wacana tersebut menjadi semacam argumentasi pembenaran atas keputusan kontroversial MK beberapa bulan lalu, serta menjadi instrument menepis wacana lain seperti, dinasti politik. Persepsi masyarakat seakan sedang digiring dan dipengaruhi untuk hanya fokus pada wacana “representasi kaum muda” tersebut.

Kaum Muda vs Baby Boomers

Calon wakil presiden Gibran Rakabuming merupakan simbol representasi kaum muda, dari generasi milenial (kelahiran 1981-1996). Sedangkan Prabowo Subianto merupakan representasi kelompok baby boomers (kelahiran 1946-1964). Keduanya berasal dari dua generasi yang memiliki gap dan perbedaan yang besar. Bagi Green & McClelland (2019), dalam Male Gender Expression Conflict Between Baby Boomers and Millenials, dua generasi ini memiliki potensi konflik, yang sumbernya bukan hanya dari faktor usia, tetapi juga iklim budaya yang mengembangkan cara pandang mereka.

BACA JUGA:  Lingkaran Setan Literasi Dasar

Dalam karya Schawbel (2012) tentang Millenials vs Baby Boomers: Who Would You Rather Hire? misalnya, menunjukkan bagaimana perbedaan antara generasi milenial dan baby boomers dalam pendekatan terhadap karier. Generasi milenial membutuhkan perhatian segera. Di tempat kerja, mereka mengharapkan lingkungan yang bebas berkreativitas, gerak cepat, tanpa harus terpaku pada sistem yang kaku. Sebaliknya, generasi baby boomers lebih cenderung memilih sistem terstruktur. Feedback diberikan dalam jangka waktu lama. Generasi ini bergerak dalam struktur atau regulasi yang ketat.

Lebih jauh, Philip Kotler (2022) dalam buku Marketing 5.0: Technology for Humanity menegaskan, bahwa hingga saat ini generasi baby boomers memegang peran eksekutif dalam beberapa perusahaan. Di sana mereka sering dikritik oleh generasi muda karena tidak bersedia mengadopsi teknologi baru dan mendobrak kebijakan bisnis konvensional. Sementara itu, generasi muda atau milenial merupakan generasi yang cendrung kritis, mempertanyakan segala hal. Karena itu, di tempat kerja generasi ini selalu bertentang atau bahkan berkonflik dengan generasi baby boomers.

Gerenasi muda merepresentasikan generasi yang bukan hanya bergantung pada teknologi (Kotler, 2022), tetapi juga generasi yang inovatif, kreatif, dan cendrung berpikir out of the box dalam dunia kerja. Ellen Degeneres, seorang dari generasi baby boomers, menyindir kaum milenial, dengan kecederungan seperti itu, sebagai kelompok yang suka hura-hura (Degeners, 2016).

BACA JUGA:  Keluarga adalah Seminari Kecil

Pada titik ini, kita patut bertanya, akankah capres dan cawapres dari dua generasi berbeda ini bisa berjalan beriringan dan saling melengkapi? Atau justru sebaliknya?

Merujuk pada beberapa penelitian di atas, perpaduan dua generasi berbeda ini merupakan tantangan besar bagi KIM. Keduanya tidak hanya terpaut usia, tetapi juga cara pandang dan cara kerja yang berbeda. Tentu rakyat Indonesia mengharapkan dua generasi ini bisa berkolaborasi secara efektif dan konstruktif. Perpaduan dua generasi berbeda inilah yang mesti digaungkan dalam ruang publik saat ini.

Dengan demikian, hal penting yang mesti didiskusikan ke depan adalah bukan lagi soal represetasi kaum muda, tetapi bagaimana mengkonsepkan kolaborasi antara dua generasi yang berbeda itu. Jangan sampai keberadaan cawapres hanya sebagai instrumen pragmatis semata untuk menggaet suara pemilih. Rakyat Indonesia tidak mengharapkan, ketika terpilih, wakil presiden hanya berada sebagai pelengkap legal administratif. Kebijakan dan terobosannya untuk kemajuan bangsa tidak terlihat.

Tulisan ini pada akhirnya tidak bermaksud meruntuhkan spirit dan keterlibatan kaum muda dalam politik praktis saat ini. Kaum muda merupakan simbol progresivitas dan kreatifitas. Potensi kaum muda sangat dibutuhkan dalam membangun negeri ini. Namun, sebagai kelompok produktif, kaum muda hendaknya tidak terlalu jauh terlarut dalam kepentingan politik praktis kelompok tertentu. Kaum muda harus lebih mengedepan sikap politik yang kritis dan konstruktif. Membawa gaya politik baru yang kreatif, inovatif dan kritis. Bukanya terbawa arus gaya politik lama yang syarat kepentingan dan kental klientisme.

Penulis adalah Pengajar di Fakutas Teknologi, Informasi dan Komunikasi Institut Teknologi dan Bisnis Kristen Bukit Pengharapan Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah

 

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button