PARIWISATA

Air Liur Binatang Purba Komodo Mengandung Bakteri Mematikan?

Oleh Kornelis Rahalaka [Labuan Bajo]

Selama ini, ada mitos yang beredar bahwa air liur binatang purba komodo mengandung bakteri yang mematikan. Mitos seperti itu belum dibuktikan sepenuhnya benar. Namun, yang pasti, semua hewan termasuk manusia sebagai organisme yang sehat dan normal tentu miliki bakteri.

Pada air liur manusia misalnya, terdapat staphylococcus epidermidis. S. Aureus, streptococcus viridan,Escerichaetacoli, Enterobacter spp dan Spirochaeta spp (Suharto 1993).  Air liur terdiri atas air protein, lipid dan senyawa anorganik dengan suhu yang konstan merupakan medium yang sangat baik bagi pertumbuhan bakteri  (Pelezar dan Chan 1988).

Dalam kondisi sehat, bakteri ini tidak menimbulkan penyakit sebaliknya, beberapa bakteri dalam saluran pencernaan bahkan berperan penting untuk menghasilkan  beberapa vitamin tertentu, misalnya vitamin K. Apabila kondisi atau daya tahan tubuh turun, maka beberapa jenis bakteri akan menjadi patogen dan dapat menjadi ancaman bagi tubuh manusia.

BACA JUGA:  Manfaat Statistik untuk Bangun Pariwisata yang Inklusif dan Berkelanjutan

Bagaimana dengan binatang komodo? Seperti halnya manusia, air liur pada manusia, air liur komodo juga mengandung bakteri. Apalagi sifat komodo sebagai scavenger, dan tidak pernah menggosok gigi, maka bakteri yang ada di air liur komodo menjadi lebih beragam jenisnya. Sisa-sisa makanan seperti bangkai yang merupakan makanan komodo adalah lahan subur bagi bakteri- bakteri tersebut.

Menurut penelitian para ahli, paling kurang terdapat 57 spesies bakteri terdapat pada air liur komodo. Diantara 57 spesies tersebut, 54 diantaranya potensial menjadi patogen (Don Gillespie et al dalam Claudio 2002). Penelitian terakhir menemukan, adanya bakteri pasteuralla multocida yang mungkin dapat menyebabkan septicemia, namun demikian hasil penelitian ini masih dalam dugaan.

Laporan itu menyebutkan ada perbedaan antara jenis bakteri komodo yang ada di kebun binatang dan yang ada di alam liar di dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK). Hal ini disebabkan karena jenis makanan dan lingkungannya yang berbeda pula. Hal ini tentu saja menarik bagi para peneliti untuk mengidentifikasi jenis-jenis bakteri. Komodo yang ada di alam liar tentu saja sifat imunologi yang ditimbulkan berbeda-beda.

Namun, ada pertanyaan, apakah bakteri-bakteri tersebut yang menyebabkan tubuh satwa yang dimangsa komodo mengalami keracunan? Disebutkan, beberapa bakteri memang dapat berkembang dan menghasilkan racun  intravena selama masa inkubasi tertentu. Namun pengalaman dilapangan menunjukkan bahwa satwa yang terluka akibat gigitan komodo biasanya akan roboh (mati) dan menjadi makanan komodo dalam kisaran waktu dua sampai tujuh hari, sejak mangsa tersebut digigit.

BACA JUGA:  Strategi Pengembangan Parekraf, BPOLBF Terbitkan Buku Putih
Seekor komodo sedang memburu mangsanya (foto.dok)

Apakah robohnya mangsa akibat infeksi primer atau akibat gigitan komodo ataukah infeksi sekunder? Belum bisa dipastikan. Namun, luka apapun apalagi luka besar yang merobek jaringan jika tidak segera mendapat perawatan akan menimbulkan infeksi dan berpotensi menimbulkan kematian. Atau kematian juga terjadi lantaran korban mengalami pendarahan yang hebat.

Demikian, juga, struktur dan jumlah gigi komodo tidak dapat diragukan lagi. Ia mampu menimbulkan luka yang besar yang dapat mengancam jiwa. Terlepas dari sejauhmana hasil-hasil penelitian membuktikan dampak dari bakteri-bakteri komodo, sebaiknya setiap orang patut berwaspada ketika berinteraksi dengan binatang purba komodo. Karena bagaimanapun binatang komodo tetaplah satwa liar yang berbahaya.*

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button