PARIWISATA

Pengembangan Pariwisata Labuan Bajo Flores antara Peluang dan Tantangan

FLORES GENUINE – Destinasi Labuan Bajo Flores dan sekitarnya, memiliki keterkaitan dengan entitas spasial, sosial budaya, ekonomi dan ekologi. Sumber daya alam dan budaya yang eksotis dengan keanekaragaman hayati tentu menjadi modalitas untuk membangun harmoni dalam tatanan ekosistem kepariwisataan yang berkelanjutan.

Potensi dan kapasitas sebagai destinasi pariwisata yang semakin populer umumnya selalu dihadapkan dengan dinamika tantangan kompleks yang mengancam keberlanjutan kepariwisataan.

Pertumbuhan kepariwisataan yang pesat tanpa perencanaan dan pengendalian yang matang akan mengakibatkan kerusakan ekologis yang masif, degradasi budaya, disparitas sosial, dan kesenjangan ekonomi.

Oleh karena itu, diperlukan kesadaran kolektif dalam perspektif berpikir sistem (system thinking) untuk mencermati berbagai isu dan tantangan seraya berupaya mendesain strategi manajemen, tata kelola dan kepemimpinan guna mengelola kepariwisataan yang berkarakter, berkualitas, bermartabat, tangguh, inklusif dan berkelanjutan.

Labuan Bajo, Flores, dan sekitarnya memiliki potensi dan kapasitas untuk menjadi salah satu pilihan destinasi pariwisata terkemuka di Indonesia. Keindahan alam seperti Taman Nasional, pulau-pulau kecil yang eksotis, kekayaan bawah laut dengan terumbu karang dan biodiversitas laut, kekayaan budaya dan kehidupan masyarakatnya merupakan manifestasi keutuhan kapasitas pengembangan destinasi yang memiliki dimensi spasial, sosial, budaya, ekonomi dan ekologi yang membutuhkan dukungan, partisipasi dan kolaborasi para pihak.

Melihat potensi tersebut, pada tahun 2019 melalui rapat terbatas kabinet tanggal 15 Juli 2019 di Jakarta, Pemerintah Indonesia mencanangkan pengembangan Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) di lima wilayah yaitu Danau Toba (Sumatera Utara), Borobudur (Jawa Tengah), Mandalika – Lombok (Nusa Tenggara Barat), Likupang (Sulawesi Utara), dan Labuan Bajo, Flores (Nusa Tenggara Timur).

Penetapan DPSP ini adalah pengerucutan dari sebelumnya pada tahun 2017, pemerintah menetapkan pengembangan 10 destinasi wisata prioritas atau yang disebut “10 Bali Baru”. Kesepuluh destinasi wisata tersebut yakni Danau Toba (Sumatera Utara), Tanjung Kelayang (Bangka Belitung), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Borobudur (Jawa Tengah), Mandalika-Lombok (Nusa Tenggara Barat), Bromo- Tengger – Semeru (Jawa Timur), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur), Tanjung Lesung (Banten) dan Morotai (Maluku Utara).

BACA JUGA:  Pengembangan Destinasi Wisata Parapuar, Adopsi Filosofi Gendang One Lingko Pe’ang

Penetapan DPSP ini kemudian memperkuat Perpres 32 Tahun 2018 tentang Penetapan Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores. Langkah ini merupakan bagian dari strategi untuk mendiversifikasi destinasi pariwisata di Indonesia serta menyebarkan pertumbuhan dan manfaat ekonomi pariwisata ke berbagai daerah.

Sebagai bagian dari upaya ini, pemerintah berinvestasi dalam berbagai proyek peningkatan infrastruktur dan konektivitas termasuk perluasan Bandara Komodo, peningkatan jalan, serta pengembangan fasilitas pendukung lainnya. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan nilai aksesibilitas, kenyamanan, pengalaman pariwisata holistik baik bagi pengunjung/wisatawan dan reputasi destinasi pariwisata domestik dan internasional.

Namun, meski kepariwisataan membawa berbagai manfaat ekonomi bagi Labuan Bajo Flores dan sekitarnya, kinerja pertumbuhan yang pesat membawa sejumlah masalah yang mengancam keberlanjutan kawasan ini. Salah satu masalah utama adalah ancaman terhadap kelestarian ekosistem lingkungan dan sosial budaya.

BACA JUGA:  Picnic Over The Hill Kembali Digelar di Parapuar

Peningkatan jumlah wisatawan, terutama di kawasan konservasi, seringkali berbanding lurus dengan tekanan terhadap flora dan fauna dan ekosistem lingkungan dan sosial budaya setempat. Pengunjung/wisatawan yang tidak mematuhi ketentuan aturan konservasi, interaksi yang tidak terkendali dengan satwa liar, serta pembangunan infrastruktur tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan semakin berpotensi merusak ekosistem yang rapuh.

Selain itu, pembangunan infrastruktur dan fasilitas kepariwisataan seperti hotel, resort dan properti komersial lainnya juga sering kali tidak disertai dengan perencanaan tata ruang dan lanskap yang memadai. Hal ini menyebabkan perubahan lanskap yang signifikan dan mengancam keindahan alami yang menjadi daya tarik utama Labuan Bajo Flores dan sekitarnya.

Pengembangan yang berlebihan di area yang seharusnya dilindungi berisiko merusak keserasian visual dan karakter alami kawasan tersebut. Kerusakan ekosistem laut juga menjadi perhatian serius. Aktivitas pariwisata seperti snorkeling, diving dan berlayar yang tidak dikelola dengan baik menyebabkan kerusakan terumbu karang, mengurangi kualitas air laut dan mengganggu habitat laut.

Pembangunan hotel dan resto di area perairan laut Labuan Bajo mengancam keberlanjutan ekosistem. (foto : dok/floresgenuine)

Peningkatan lalu lintas kapal, terutama kapal-kapal wisata ini berpotensi menambah pencemaran laut dan merusak ekosistem sensitif di sekitar Labuan Bajo. Hal ini juga berdampak pada keanekaragaman hayati laut yang menjadi aset penting bagi industri pariwisata. Dari sisi sosial, peningkatan jumlah pengunjung/wisatawan membawa perubahan signifikan dalam kehidupan masyarakat lokal.

BACA JUGA:  Percepat Transformasi Pariwisata Labuan Bajo, Jaminan Keselamatan Wisatawan

Komersialisasi budaya lokal demi pariwisata dapat menghilangkan keaslian dan otentisitas budaya dan mengurangi nilai-nilai tradisional dan lokalitas. Selain itu, adanya perbedaan budaya antara pengunjung/wisatawan dan penduduk lokal berpotensi menimbulkan konflik sosial. Di sisi lain, kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam industri pariwisata di Labuan Bajo dan sekitarnya, seringkali belum memadai. Kurangnya pelatihan dan keterampilan di bidang hospitality menghambat kualitas pelayanan yang diberikan kepada pengunjung/wisatawan.

Masalah sampah juga menjadi tantangan besar. Peningkatan aktivitas pariwisata menghasilkan volume dan jenis, terutama sampah plastik yang belum dikelola secara optimal. Hal ini mengakibatkan pencemaran di darat dan laut, yang tidak hanya merusak keindahan alam, tetapi juga mengancam ekosistem lingkungan perairan lokal dan kesehatan masyarakat. Secara keseluruhan, meski kepariwisataan memiliki manfaat ekonomi, Labuan Bajo, Flores menghadapi tantangan besar terkait dengan keberlanjutan.

Untuk mengatasi masalah-masalah ini, diperlukan pendekatan holistik yang menggabungkan pelestarian lingkungan, pelestarian budaya dan pemberdayaan masyarakat lokal serta ekonomi berkelanjutan. Pengembangan kepariwisataan berkelanjutan menjadi kunci agar kawasan ini tetap dapat dinikmati oleh generasi mendatang tanpa merusak nilai keindahan dan keutuhan kekayaan alam dan budaya. * [sumber : “buku putih” BPOLBF], bersambung.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button