POLITIK

Politik “Tender Politik”

FLORESGENUINE.com– Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebentar lagi akan digelar secara serentak di seluruh Indonesia. Praktik politik Pilkada kerapkali bernuansa “tender politik”. Masyarakat makin pintar berpolitik. Sebagian masyarakat menganggap politik sebagai ajang untuk meraup keuntungan bagi dirinya atau keluarga. Masyarakat tentu punya pandangan tersendiri soal perekrutan kepemimpinan.

Bagi sebagian masyarakat, Pilkada dapat memberi mereka secuil keuntungan berupa sejumlah uang, sembako atau sumbangan dalam bentuk lainnya. Bagi sebagian masyarakat lainnya, kandidat yang memberi bantuan adalah yang pantas menjadi pemimpin. Tidak peduli, apakah pemimpin demikian bisa memimpin mereka atau tidak. Itu lain urusan. Apakah pemimpin tersebut doyan korupsi, suka jalan-jalan ke luar daerah atau lebih mementingkan urusan kepentingan pribadi.

Sementara itu, jika ada kandidat yang bicara tentang program kerja yang baik, yang bisa menjawab permasalahan rakyat, yang miliki moralitas dan komitmen yang sangat baik namun jika tidak memberi sesuatu kepada masyarakat, maka masyarakat seketika dapat menilai dia bukan tipe pemimpin yang baik. Ini sidah menjadi fenomena umum dalam setiap proses politik di republic ini.

BACA JUGA:  Hasil Survei Charta Politika pada Pilgub NTT 2024, Ansy Lema Makin Kuat

Setiap ajang Pilkada, sebagain masyarakat menawarkan diri sebagai tim sukses. Tim sukses  juga bukan hanya untuk satu pasang calon tetapi bisa lebih atau bahkan menjadi tim sukses untuk semua calon pasangan. Motivasinya hanya satu, ingin mendapatkan sesuatu terutama uang. Tidak berlebihan kalau dikatakan modus seperti ini sebagai pratik politik “tender politik.”

Pertanyaannya, dari mana masyarakat belajar “politik dagang sapi” atau praktik politik “tender politik” ini? Tak dinyana, jika masyarakat belajar dari proses perekrutan kepemimpinan ala partai-partai politik terutama pada ajang pemilukada. Para pengurus partai politik (Parpol) misalnya, kerap memasang tarif bagi kandidat yang mau mendapatkan tiket partai politik sebagai kendaraan politiknya.

Bukan rahasia lagi, ceritra tentang jual beli partai politik khsusunya partai politik yang memiliki kurdi di DPRD bukan rahasia lagi. Ada parpol yang membandrol tarif seharga 100 juta per kursi hingga Rp. 1 miliar. Silakan hitung saja, berapa uang yang harus dikeluarkan oleh seorang kandidat untuk membeli kursi demi mendapatkan tiket dalam pertarungan politik Pilkada.

Mahar politik tersebut tentu belum termasuk pengadaan logistik, dan seabrek pengeluaran untuk kepebtingan kampanye dan lain-lain. Nilai ini belum terhitung porsi untuk membayar suara pemilih. Jika mahar politik tidak diberikan, pemilih dapat menilai seorang kandidat bukanlah calon pemimpin yang baik atau dermawan. Ujungnya, kandidat tersebut ditinggalkan atau tidak dipilih.

BACA JUGA:  Politisi PDIP Deddy Sitorus: Rencana Jokowi Hanyalah Gimik Politik

Inilah realitas politik di banyak wilayah di negeri ini. Masyarakat kerap memilih pemimpin bukan karena integritas kepribadian sang calon tapi karena praktik politik uang dan berbagai bentuk bangtuan lainnya.

Dampaknya tentu sangat serius. Calon pemimpin yang berkualitas bakal tereliminasi hanya karena tidak mampu memberikan sesuatu kepada pemilih. Praktik “tender politik” akan melahirkan pemimpin yang korup, tidak visioner, tidak punya komitmen dalam membangun daerahnya. Menghadapi politik buram semacam ini, para politisi mesti disadarkan agar menghindari praktik “tender politik’  demikian masyarakat pun perlu dicerahkan bahwa “tender politik” sangat merugikan kehidupannya sendiri. [Kornelis Rahalaka]

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button