BUMI MANUSIA

Perubahan Iklim Global : Bencana Alam dan Investasi di Manggarai Barat

Beberapa tahun belakangan ini, dampak perubahan iklim gobal seperti El Nino dan La Nina kerap dialami oleh masyarakat Manggarai Barat. Dampak perubahan iklim terjadi kian masif dan membawa banyak kerugian bagi manusia dan lingkungan.

Dampak perubahan iklim telah mengakibatkan sumber-sumber mata air mengering, banjir bandang, tanah longsor, gagal tanam dan gagal panen, yang bermuara pada ancaman rawan pangan dan kelaparan.

Beragam bencana alam dan bencana sosial terjadi di banyak wilayah dan menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan kehidupan manusia dan generasi mendatang. Data bencana alam yang terjadi di Manggarai Barat menunjukkan grafik yang terus meningkat dari tahun ke tahun, baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan jumlah kerugian yang signifikan.

Bencana banjir merupakan bencana alam dengan kerugian terbesar di susul bencana erosi dan abrasi pantai. Meskipun, penyebab bencana belum diketahui secara pasti namun disinyalir, bencana tersebut bermula akibat perilaku buruk manusia yang tidak peduli pada kelestarian alam dan lingkungan hidup.

Praktik llegal logging dan pembukaan lahan tanpa mempertimbangkan topografi hanyalah salah satu akar soal terjadi bencana alam ini. Demikian, bencana abrasi disinyalir akibat makin punah atau hilangnya hutan mangrove akibat penebangan liar sebagai dampak dari kian masifnya perluasan area pembangunan di wilayah pantai.

Bencana alam dan hama penyakit diyakini akibat rusaknya ekosistem. Gagal panen dan gagal tanam kibat curah hujan yang berlebih atau kekeringan yang berkepanjangan merupakan efek buruk dari kemerosotan lingkungan hidup terutama hutan yang merupakan penyangga utama paru-paru bumi.

Kondisi kawasan hutan dari tahun ke tahun semakin merosot, baik dalam jumlah (luas) maupun jenisnya. Menurut fungsinya hutan di darrah ini terdiri atas hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, cagar alam, hutan cadangan dan taman nasional.

Luas kawasan hutan secara keseluruhan mencapai 130.155,83 hektar. Kawasan hutan terluas terdapat di Taman Nasional yaitu 22,96% dari total luas hutan. Sedangkan lokasi penanaman tanaman kehutanan terbesar ada di Kecamatan Macang Pacar.

Hasil penelitian menyebutkan, Kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) terdapat 5 tipe habitat utama yaitu hutan rumput sabana, hutan musim, hutan kabut-quasi, mengrove dan pantai pionir. Taman Nasional Komodo merupakan salah satu daerah terkering di Manggarai Barat bahkan Indonesia. Kawasan ini tercatat curah hujannya kurang dari 800 mm per tahun.

Karena itu, TNK sangat rentan terhadap bahaya El Nino. Sementara bahaya La Nina akan berdampak langsung kepada hewan komodo karena hujan diperlukan dalam proses inkubasi telur. Mengingat rumput yang sehat sangat diperlukan oleh populasi herbivora di TNK, maka El Nino akan berakibat pada minimnya rumput dan dapat membatasi jumlah populasi binatang yang menjadi makanan komodo.

BACA JUGA:  Calon Wakil Bupati, Richard Santoni : Saya Sudah Jadi ASN pada usia 18 Tahun

Pada saat mengalami El Nino, awal musim hujan mengalami penundaan sehingga curah hujan menjadi lebih sedikit. Bahaya El Nino dan La Nina di TNK akan lebih sering munculnya dengan adanya perubahan iklim global. Hal ini akan mengancam keberadaan TNK itu sendiri.

Sedangkan kelompok hutan terluas terdapat di kawasan hutan Nggorang-Bowosie yakni sekitar 27.976,83 Ha. Dan kelompok hutan terkecil terdapat di kawasan hutan Puntu I seluas 208,17 Ha. Kawasan hutan Nggorang-Bowose dan Mbeliling merupakan kelompok hutan terluas yang ada di daerah ini.

Keberadaan hutan merupakan sumber pemasok air untuk memenuhi kebutuhan di wilayah ini. Kelompok hutan ini juga merupakan penghasil utama kayu untuk bahan bangunan. Hutan bernilai penting bagi pemeliharaan kualitas hidup, sebagai sumber plasma nutfah tumbuhan dan hewan untuk kepentingan ekonomi, sosial dan spiritual bagi banyak orang di desa-desa di sekitarnya.

Kawasan hutan juga memiliki nilai penting sebagai daerah resapan air, sumber air minum dan untuk berbagai kebutuhan rumah tangga lainnya. Hutan juga penting bagi perkembangan budidaya persawahan yang bernilai ekonomi. Hutan Mbeliling dan Nggorang-Bowose merupakan hulu dari sungai-sungai yang mengalir ke Utara, Timur dan Selatan. Sungai-sungai ini dimanfaatkan oleh lebih dari 30.000 penduduk di wilayah ini.

Meskipun kawasan hutan memiliki nilai ekonomis yang tinggi, namun sejumlah ancaman terus menghadang. Proyek-proyek pembangunan yang massif dan aktivitas pemanfaatan lokal  seperti penebangan kayu ilegal adalah  ancaman serius terhadap keutuhan hutan dan mengurangi baik jumlah maupun kualitas air serta habitat bagi beragam spesies yang bergantung pada hutan.

Selain  bencana alam, bencana social pun belakangan mulai marak terjadi di wilayah ini. Praktik penebangan liar, konflik tata batas lahan antara masyarakat adat dengan pemerintah, antara masyarakat dengan perusahaan atau antar masyarakat adat adalah potret dari ketidakjelasan tata kelola hutan yang berkontribusi pada aktivitas destruktif seperti pencurian kayu dan konflik agrarian serta konflik sosial lainnya di tengah masyarakat.

Keberadaan hutan mangrove sangat penting untuk mengatasi abrasi pantai. (foto : Kornelis Rahalaka)

Data menyebutkan, terdapat 8 desa yang tanah milik warganya masuk dalam kawasan hutan lindung. Sebanyak 5 desa yang masyarakatnya tidak sepakat dengan penataan tapal batas hutan karena penetapannya dinilai tidak partisipatif. Sebanyak 19 desa yang mengalami kekurangan air bersih dari 24 desa yang berada di sekitar kawasan hutan Mbeliling serta sebanyak 12 desa tidak mengetahui status hutan Mbeliling. Data-data ini mengindikasikan bahwa masyarakat tidak dilibatkan secara langsung dalam proses penetapan tapal batas kawasan hutan.

Beragam konflik antara alam dan manusia atau manusia dengan manusia terus menerus terjadi manakala belum adanya kepastian hukum dan adanya pengakuan negara terhadap eksistensi masyarakat adat serta hak pengelolaan sumber daya alam yang ada di dalam wilayah kelolanya.

BACA JUGA:  Dinas Perizinan Mabar akan Mengintegrasikan Layanan dalam Satu Pintu Besar dengan Konsep Mal Layanan Publik

Dalam masyarakat Manggarai raya terkenal filosofi, gendangn one lingkon pe’ang yang artinya, tempat tinggal, tanah, hutan, air, dan ritus-ritus yang menyertainya merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak dapat dilepas-pisahkan. Masyarakat adat dengan wilayah kelola (teritori) merupakan satu kesatuan masyarakat adat,

Mesti disadari bahwa intervensi negara, pengusaha atau korporasi  demi kepentingan ekonomi, politik dan social maka konsepsi hukum adat dan kearifan-kearifan lokal mulai terabaikan. Konsepsi hukum adat tentang tanah bagi orang Manggarai Barat adalah konsepsi filosofis tana serong dise empo, tana pedeng dise ende, tana mbate dise ame (tanah yang diwariskan oleh leluhur secara turun temurun).

Konsepsi hukum ada Manggarai raya adalah konsepsi hubungan abadi antara masyarakat adat dengan tanah yang dimilikinya. Dan konsepsi hukum adat tentang tanah di Manggarai raya yakni konsepsi hak bersama (komunal) yakni hak bersama komunitas masyarakat adat atau yang di sebut lingko dan mengakui hak individual.

Gambaran di atas menunjukan bahwa masyarakat Manggarai Barat memiliki konsep dan kearifan-kearifan lokal yang harus dihormati oleh setiap orang maupun lembaga yang hendak berelasi dengan komunitas adat setempat. Selain memiliki konsepsi dan kearifan, masyarakat juga memiliki struktur adat yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan seluruh proses kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam.

Selain masalah di darat, berbagai masalah juga terjadi diperairan laut khususnya di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK). Kawasan ini memiliki kekayaan sumber daya alam yang besar selain untuk kepentingan kepariwisataan juga pengembangan ekonomi lainnnya. Kawasan TNK memiliki kawasan hutan yang luas dan memiliki sumber daya laut yang besar seperti berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya.

Di kawasan ini tak luput dari persoalan-persoalan yang berdampak besar pada perubahan iklim dan berpotensi mendatangkan bencana alam dan bencana sosial.

Masalah over fishing, destructif fishing, perburuan liar, kebakaran hutan, pencurian, pelepasan jangkar, kebutuhan lahan, krisis air, pengrusakan coral dan factor alam lainnya adalah ancaman serius yang dihadapi oleh TNK.

Masalah penangkapan berlebih dan pengambilan hasil laut dengan cara-cara destruktif atau tidak ramah lingkungan adalah sejumlah masalah yang harus segera dicarikan solusinya. Masalah kebakaran hutan dan perburuan liar merupakan ancaman serius karena membahayakan keberadaan TNK dan seluruh sumber daya yang ada di dalamnya termasuk binatang purba komodo.

Biasanya, para pemburu liar dalam melakukan kegiatan perburuan mereka terlebih dahulu membakar hutan untuk mempermudah mereka berburu babi hutan atau rusa yang menjadi makanan utama binatang komodo. Berdasarkan kajian dan pengamatan faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan hutan dan sumber daya alam di kawasan TNK antara lain rendahnya kesadaran masyarakat, kurangnya pengetahuan dan lemahnya pengawasan, pertumbuhan penduduk yang pesat, kemiskinan yang akut sehingga mendorong masyarakat melakukan tindakan yang destruktif.

BACA JUGA:  Hati Damai, Wisata Rohani di Bukit Doa Wato Miten Lembata

Selain itu, regulasi dan peraturan serta sistem pengelolaan di TNK yang tidak memberi ruang bagi masyarakat lokal untuk mencari kehidupan yang layak. Penerapan sistem konservasi yang ketat dan berbagai larangan yang dibuat untuk kepentingan konservasi ikut memicu praktik-praktik ilegal dan merusak serta mengancam kelestarian lingkungan.

Kerusakan lingkungan hidup di Manggarai Barat sudah cukup mengkwatirkan. Bencana banjir, tanah longsor, kekeringan, gagal panen, gagal tanam, kelaparan, rawan pangan serta bencana sosial termasuk di dalamnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) harus segera dicarikan solusi yang cepat dan tepat.

Kebijakan publik yang pro lingkungan dan keselamatan manusia hari ini dan masa depan perlu dilakukan. Untuk itu, dibutuhkan perubahan mindset atau paradigma berpikir dan bertindak dari yang instan-fragmatis, merusak dan merugikan kepada paradigma baru yang lebih berkeadilan, berkelanjutan dan bermartabat.

Pilihan pertama dan terutama yang harus dilakukan terkait pengelolaan sumber daya alam yakni  menentukan pilihan pada pengelolaan sumber-sumber ekonomi yang pro lingkungan dan masyarakat banyak. Dalam konteks Manggarai Barat, prioritas utama pengelolaan sumber daya alam yakni pengembangan bidang pertanian, pariwisata dan perikanan/kelautan. Pasalnya, hampir 87% penduduk Manggarai Barat adalah petani.

Kekeringan dapat disebabkan oleh perubahan iklim global. (Foto : Kornelis Rahalaka)

Logisnya, sektor ini yang harus diprioritas dalam pembangunan. Sumber daya riil masyarakat Manggarai Barat adalah bertani. Jika peran masyarakat ingin dioptimalkan maka sewajarnyalah sumber daya riil ini ditingkatkan, baik melalui subsidi pertanian, pengembangan kawasan kelola maupun pelatihan-pelatihan demi peningkatan pengetahuan dan keterampil bertani.

Tidaklah wajar dan adil jika sumber daya ini dipinggirkan ketika industri pariwisata yang bersifat instan-fragmatis serta berpotensi merusak lingkungan alam yang merugikan masyarakat local justru lebih diutamakan.

Dalam konteks pengelolalan sumber daya alam adaptif perubahan iklim, masyarakat Manggarai Barat dengan kearifan-kearifan lokal yang dimilikinya merupakan modal sosial yang besar untuk mencegah dan menanggulangi krisis-krisis ekologis yang sedang maupun yang akan terjadi. Pembangunan mesti lebih difokuskan pada bidang pertanian karena merupakan solusi tepat mengatasi krisis ekologi.

Sayangnya, pemerintah dari pusat hingga daerah cenderung lebih mengutamakan investasi pariwisata yang nota bene, memberikan keuntungan politik dan ekonomi jangka pendek daripada berinvestasi dibidang pertanian yang lebih menjanjikan pelestarian alam dan berkelanjutan serta menjamin potensi-potensi ekonomi jangka panjang.

Pengembangan dan pengelolaan sektor-sektor ekonomi riil yang adaptif perubahan iklim dan berkelanjutan merupakan pilihan yang tepat karenanya, harus menjadi perhatian pemerintah dan semua pemangku kepentingan. [Kornelis Rahalaka]

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button