Pemanasan global merupakan ancaman serius bagi kehidupan manusia dan pembangunan di suatu daerah. Namun, banyak orang belum tahu dan belum memahami, seberapa besar ancaman tersebut dan seberapa besar beban yang dipikul oleh suatu daerah dalam mengelola pembangunan.
Kepala Bapelitbangda Lembata, drh.Mathyas Beyeng mengungkapkan hal itu saat membuka kegiatan diskusi publik bertajuk Pemanasan Global : Ancaman Kepunahan Kehidupan. yang berlangsung di Moting Ema Maria, Lewoleba, Jumad (22/9/2023). Kegiatan ini dihadiri berbagai elemen masyarakat.
Sebagai pihak yang duduk ‘di dapur’ perencanaan pembangunan daerah, Mathyas mengakui beberapa kendala yang dihadapi oleh daerah terutama masalah keterbatasan anggaran pembangunan di daerah.
“Anggaran menjadi salah satu beban terbesar dalam pembangunan, karena kita harus mengalokasikan anggaran untuk berbagai kebutuhan pembangunan di daerah ini,” papar dia.
Ia menyebutkan, sejumlah faktor pelayanan yang dihadapi dalam pembangunan Kabupaten Lembata yaitu masalah pangan yang berpengaruh pada status gizi buruk dan stunting, berbagai ancaman penyakit, infrastruktur jalan yang sedang dibangun tetapi belum tuntas, masalah sosial dan sederet persoalan lainnya.
Sementara itu, perubahan iklim sangat berpengaruh pada beragam sisi kehidupan seperti pertanian, kelautan, kesehatan dan pemukiman. Masalah lain dari aspek social yakni pertambahan penduduk, ketenagakerjaan, tingkat pendidikan dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dari tahun ke tahun terus meningkat, sementara usaha pemberdayaan PMKS masih sangat terbatas lantaran terbatasnya anggaran.
Sembilan Isu Strategis
Dia menyebutkan, dalam rencana perencanaan jangka panjang, telah terpetakan sedikitnya terdapat sembilan isu strategis yang menjadi fokus pembangunan. Dari sembilan isu strategis tersebut, perubahan iklim dan pemanasasn global telah dijadikan sebagai isu pertama yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah dalam pembangunan.
Selain itu, isu-isu lain yang tak luput menjadi perhatian yakni masalah ketahanan pangan, penyakit menular, pemberdayaan perempuan dan anak, pembangunan ekonomi inklusiaf, kebencanaan, kualitas SDM, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi serta, stunting.
“Semua isu strategis inilah yang menjiwai visi pembangunan Kabupaten Lembata dan menjiwai seluruh penganggaran daerah,” beber dia seraya mengatakan bahwa APBD Lembata belum mampu memikul semua beban pembangunan tersebut.
Meskipun demikian, ia menyatakan bahwa semua isu strategis tersebut penting untuk dikerejakan. Untuk mewujudkan isu-isu pembangunan di atas maka Kabupaten Lembata harus melakukan tiga prinsip utama yakni Kabupaten Lembata harus tangguh ekonomi dan tangguh pangan, Kabupaten Lembata harus mandiri berbasis potensi daerah baik di sektor pertanian, peternakan maupun kelautan serta Kabupaten Lembata harus tangguh menghadapi bencana, karena pulau ini kerap diterjang bencana hydrometerologi.
Menurut dia, pendekatan pembangunan yang dipilih adalah holistik tematik dan integratif. Sebab, besarnya tantangan membuat beban pembangunan semakin besar. Dalam diskusi ini, Kepala Bapelitbangda Lembata juga mengusulkan agar pihak penyelenggara dapat membangun sejumlah demplot sekolah lapang perubahan iklim karena LSM bekerja lebih fokus.
Ia memberi contoh, program ‘Pertanian Cerdas Iklim’ yang sedang difasilitasi oleh LSM Barakat dan YPPS.
“Melalui sekolah lapang pertanian cerdas iklim, kita pelajari bagaimana strategi menjahit berbagai isu strategis pembangunan Lembata ini secara integratif dan holistik,” ujarnya.
Memperkuat Pengetahuan Lokal
Sementara itu, Direktur Barakat, Benediktus Pureklolon menegaskan bahwa pemanasan global dan perubahan iklim merupakan isu kehidupan. Karena di dalamnya terkandung isu ekonomi, kesehatan, ketahanan pangan, keamanan nasional, keadilan sosial dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Ia mengatakan bahwa saat ini Barakat tengah bekerja memperkuat pengetahuan lokal masyarakat pesisir untuk sektor laut dan darat. Di darat memperkuat pertanian dan peternakan melalui kebun cerdas iklim dengan system mulsa. Sedangkan di laut, dengan memperkuat kearifan lokal yakni Muro.
Sedangkan Yayasan Pengkajian dan Pengembagan Sosial (YPPS) memfasilitaasi pertanian cerdas iklim di tiga desa di pulau Lembata menggunakan sistem mulsa yang telah dipelajari oleh para petani sejak 4 tahun terakhir. Sistem mulsa di kebun-kebun para petani dapat memberikan sekurangnya empat manfaat terutama guna mengatasi ancaman kekeringan dan kekurangan air tanah.
Penggunaan mulsa untuk mencegah erosi tanah dan melindungi humus tanah serta mengurangi penguapan air tanah ketika lahan pertanian terpapar sinar matahari yang panas. Mulsa juga dapat mencegah dan mengendalikan pertumbuhan gulma di musim hujan sehingga mengurangi beban kerja para petani serta lapukan mulsa akan menambah lapisan humus tanah baru sehingga dari tahun ke tahun tanah semakin subur.
Untuk mendukung upaya penanggulangan pemanasan global dan perubahan iklim, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lembata juga telah menyiapkan aneka tanaman untuk ditanam pada musim hujan. Namun, persoalan yang selama ini dihadapi yakni kebakaran hutan dan lahan yang masih saja terus terjadi.
Semua tantangan dan kendala yang dihadapi tentu membutuhkan kerjasama dan sosialisasi secara terus menerus dan disertai aksi-aksi nyata guna menghadapi ancaman iklim global ini.Termasuk adanya regulasi atau aturan guna melindungi dan mendukung program-program tersebut. Dan, peraturan yang telah dibuat harus dijalankan secara konsekwen.
“Jangan seperti Perda perlindungan mangrov. Perda ini sudah dibuat tapi kemudian ada ijin pengusaha untuk tebang mangrov. Hal ini, perlu ada tindakan tegas kepada para pelaku pembangunan yang menabrak aturan seperti ini,” pinta Barto, seorang peserta.
Sedangkan Ignas Laba, dari Bagian Hukum Kabupaten Lembata meminta agar perencanaan kabupaten harus dijabarkan sampai ke desa. Hal ini perlu dilakukan agar pembangunan terkait masalah iklim dapat linear hingga ke desa-desa. Ia mengusulkan agar pangkalan data di setiap desa harus dibangun sehingga seluruh rencana pembangunan berdasarkan pada data. Ia memberi contoh, pangkalan data yang dibangun di Desa Posiwatu oleh YPPS.
Sementara itu, Kepala Desa Lamawolo menegaskan bahwa semua yang berbicara di dalam diskusi ini adalah pelaku pembangunan. Karena itu, semua peserta berkewajiban untuk turut berkontribusi sekaligus menjadi pelaku bagi upaya pemulihan bumi melalui aksi-aksi adaptasi dan mitigasi.
Diskusi yang berlangsung sehari itu, bermaksud membuka ruang untuk berbagi pengetahuan stakeholders pembangunan terkait ancaman pemanasan global dan perubahan iklim serta inisiatif-inisiatif mitigasi dan adaptasi.
Kegoatan ini diprakarsai oleh Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) sebagai salah satu anggota Consortium for Knowledge Management Brokering (C4Ledger) dalam program VCA di Indonesia.*