FLORESGENUINE.com– Pada era sekarang ini, kemungkinan terguncangnya perekonomian rumah tangga petani akibat kegagalan panen lebih kecil dengan sistem tumpangsari ketimbang sistem monokultur.
Dalam system tumpangsari, kegagalan salah satu komoditas, dapat diatasi dengan komoditas lain. Sementara sistem monokultur, hanya bergantung pada satu komoditas saja. Itulah mengapa, walaupun pemahaman petani tentang program pertanian dari pemerintah sejak revolusi hijau cukup memadai, namun sebagian besar petani tetap memakai sistem tumpangsari.
Dari sistem ekologi, pertanian tumpangsari tentu saja paling selaras dengan karakter alam Flores. Topografi Flores yang berbukit-bukit, membuat potensi tanah menyimpan air menjadi terbatas dan tidak memungkinkan dibangunnya sumur pompa/sumur ladang. Karenanya, rata-rata petani di Flores mengolah lahannya dengan sisten tadah hujan dan model pertanian yang paling sesuai adalah tumpangsari.
Dengan sistem tadah hujan, para petani di Flores telah menerapkan pola pertanian tumpangsari di lahannya sejak berpuluh-puluh tahun. Dalam setahun, petani setidaknya dapat menanam dua kali. Pada musim tanam I, petani menanam padi atau jagung, lalu pada musim tanam II petani dapat menanam tanaman hortikultura seperti sayur, kacang dan ubi-ubian.
Tunpangsari sangat mendukung ketahanan pangan keluarga-keluarga di Flores terjaga dengan cukup baik. Sudah menjadi tradisi bahwa hasil produksi padi, tidak dijual seluruhnya, karena dipakai untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Untuk mendapatkan uang tunai, petani dapat menjual sebagian komoditas unggulan seperti jagung, padi, ubi dan kacang-kacangan. Sistem tumpamgsari juga lebih menguntungkan daripada sistem monokultur dari sistem efisiensi waktu.
Tumpangsari tidak menuntut perawatan intensif seperti sistem monokultur. Dengan begitu, petani punya waktu lebih untuk melakukan pekerjaaan lain diluar sektor pertanian. Banyak petani yang bekerja sebagia buruh, tukang kayu, pedagang makanan dan beternak. Pekerjaan sampingan ini mereka lakukan guna memenuhi kebutuhan non pangan seperti kesehatan dan pendidikan.
Dengan beragam sumber kehidupan, petani bisa mendapatkan penghidupan yang baik. Mereka menjadi kuat dari sisi ekonomi. Salah satu alasan mengapa petani tetap bertahan dengan cara tradisional adalah kesadaran bahwa input pertanian seperti bibit dan pupuk justru memberatkan petani karena harganya yang mahal.
Terlebih lagi penyediaan input-input luar seringkali nihil saat dibutuhkan. Agar menjadi mandiri, petani yang memiliki lahan sempit kurang dari 0,5 ha dapat mencoba dengan pupuk kandang atau kompos. Saat ini, pengguna pupuk kandang atau kompos masih sangat rendah dikalangan petani.
Padahal, untuk memenuhi kebutuhan pupuk, setiap petani dapat memelihara ternak seperti sapi, kambing, babi atau ayam. Peternakan menduduki peran penting dalam usaha tani mereka karena kebutuhan pupuk kandang dapat dipenuhi dari kotoran ternak mereka sendiri tanpa harus keluargan biaya untuk membeli pupuk dan pestisida kimiawi.
Selain mengusahakan pupuk kandang, para petani dapat menggunakan bibit lokal yang diwariskan secara turun temurun. Petani dapat menggunakan bibit lokal karena mudah didapat dan tidak perlu penanganan khusus. Tanaman jagung lokal, cukup diberi pupuk kandang satu kali selanjutnya hanya perlu penyiangan saja.
Dihitung dari biaya produksi pun jagung lokal lebih murah dibandingkan jagung hibrida. Jagung hibrida yang dinilai pemerintah sebagai bibit unggul dengan produktifitas tinggi, ternyata rentan terhadap serangan penyakit Demikian pula dilihat dari harga, jagung lokal pripil kering misalnya, harganya lebih mahal dibanding jagung hibrida.
Konsistem pada sistem pertanian tradisional yang selaras dengan alam dan setia pada pangan lokal membuat petani bisa mandiri dan mengusahakan penghidupan yang lebih baik bagi keluarganya. Maka benarlah pilihan sebagian besar petani di Flores, bahwa yang modern itu belum tentu lebih baik. [Kornelis Rahalaka]