BUMI MANUSIA

Mengenang Labuan Bajo Tempoe Doeloe, Merajut Riwayatnya Masa Kini

Editor Kornelis Rahalaka

Pada zaman dahulu, kisah rakyat menyebutkan bahwa pada abad XV orang-orang dari Suku Bajo telah mendatangi pesisir Pulau Flores. Suku Bajo terkenal sebagai suku pelaut. Mereka menjelajah dari satu tempat ke tempat lain.

Di Labuan Bajo, sebuah teluk yang dilindungi oleh pulau-pulau kecil, dikemudian hari menjadi surga bagi para pelaut tersebut untuk berlabuh. Pantai ini tentu aman dari amukan badai, sumber air yang mudah dijangkau serta kelimpahan ikan dan hasil laut. Teluk Labuan Bajo ini pilihan terbaik untuk berteduh dan menetap bagi siapa pun.

Tak ada catatan tertulis yang menyimpan ceritra diabad ini, namun pada abad XVII, dalam buku catatan Kerajaan Bima yang terkenal yakni “Bo Sangaji Kai” terdapat tulisan tentang kedatangan 26 orang Bajo yang membawa putri dari Kerajaan Makassar ke Kerajaan Bima.

Hingga akhir abad XVIII,  berbagai catatan yang ada, belum begitu rinci tentang desa yang bernama Labuan Bajo. Namun, kisah-kisah pelaut dari Inggris, Jerman atau Belanda tentang orang-orang Bajo, dengan perahu-perahu mereka dapat ditemukan dalam beberapa buku, mengisyaratkan hadirnya dan aktivitas mereka di Labuan Bajo. Seiring waktu, sejarah maritim Labuan Bajo terus diperkaya dengan kisah-kisah menarik bagi generasi masa kini dan masa mendatang.

Nama Labuan Bajo pertama kali dicatat dalam laporan pemerintah Belanda yang kemudian terdokumentasikan dalam buku “Koloniale Jaarboeken” pada tahun 1862. Popularitas Labuan Bajo kian meningkat karena menjadi tempat berlindung bagi para pelarian bajak laut dari berbagai wilayah, seperti Mangindao, Sulu, Galela dan sekitarnya, yang berusaha menghindari kejaran pasukan pemerintah Belanda.

Perang melawan bajak laut akhirnya berakhir pada akhir abad ini. Peta-peta tua yang digambar oleh orang Belanda, menyematkan kata “Labuan Badjak,” sebagai penanda bagi kapal-kapal yang melewati kawasan ini terhadap bahaya bajak laut.

Nama Labuan Bajo juga pertama kali tercatat dalam berita koran pada tahun 1882, sedangkan ditahun 1890-an, Labuan Bajo menjadi kota kecil yang ramai dengan para pencari mutiara dari berbagai daerah dan negara seperti Prancis, Belanda, Jerman serta wilayah-wilayah di sekitar Sumba, Timor, Rote dan lain-lain.

BACA JUGA:  Kilas Balik Sengketa Tanah Pantai Pede, Siapa yang Punya?

Diakhir abad XIX, Labuan Bajo bahkan telah memiliki penerangan listrik, sebuah kemajuan teknologi yang dimiliki oleh perusahaan mutiara asal Prancis yang beroperasi di wilayah tersebut.Semua ini menandai perjalanan panjang dan perubahan yang dialami oleh Labuan Bajo, dari sebuah tempat berlabuh orang Bajo, menjadi kota kecil yang hidup dan berkembang dengan berbagai aktivitas maritim dan perdagangan yang menarik.

Ada catatan sejarah bahwa pada tahun 1833, Nikolaus Jaques Vosmaer, seorang petugas pemerintah Belanda di Kendari melaporkan tentang perkembangan bajak laut di wilayah timur. Perang melawan bajak laut telah berhasil menghancurkan banyak pangkalan bajak laut diberbagai wilayah menyebabkan mereka menderita kekalahan. Akibatnya, para bajak laut ini bermigrasi ke satu pulau kecil di sekitar selat Alas yang dikenal dengan nama Labuan Bajo. Meskipun demikian, Vosmaer tidak mendapatkan informasi lain tentang daerah ini. Laporan ini kemudian diterbitkan pada buku kolonial Jaarboeken tahun 1862.

Pada abad XX, Labuan Bajo berubah menjadi kota perdagangan yang sungguh menarik bagi para pencari mutiara. Hasil mutiara mereka jual ke berbagai daerah terutama ke Makassar hingga ke Australia. Jadwal kapal Belanda yang melayani penumpang dari dan menuju Labuan Bajo dari berbagai wilayah juga diatur secara rutin setiap minggu.

Puluhan orang asing dan para perantau, pencari mutiara ikut meramaikan kehidupan di kota mungil dan penuh daya tarik ini. Tak hanya itu, dalam catatan sejarah, Laban Bajo menjadi kota yang sangat berpengaruh dalam penelitian, penemuan dan publikasi tentang binatang komodo yang menjadi simbol khas wilayah sejak ditemukan hingga saat ini.

Keindahan Labuan Bajo sungguh mengesankan Di mana pun pandangan mata mengarah, ada pulau-pulau kecil berbentuk piramida atau kerucut dengan balutan perbukitan yang menjulang curam dari laut dan terpisah oleh banyak selat sempit.

Sementara itu, jika dipandang dari laut, tampak gunung-gunung tertutup hutan lebat dengan hamparan padang rumput hijau yang memberikan variasi dalam pemandangan. Di sepanjang pantai, berdiri kelompok-kelompok pohon kelapa yang menutupi sebagian rumah-rumah penduduk.

Matahari sore memancarkan cahaya keemasan dari langit yang cerah dan sinar-sinar itu memberi pulau-pulau kilau ungu dicakrawala, pertunjukan warna dimulai dengan semua nuansa warna hijau lembut hingga biru ultramarine yang sebagian tercermin oleh laut. Setiap orang yang datang ke Labuan Bajo tentu saja terkesan dengan keindahan dan warna-warni alamnya.

BACA JUGA:  Nasib Petani : Era Swasembada Hingga Krisis Pangan

Labuan Bajo, kota kecil yang sunyi. Ia menjadi tempat bagi para pedagang dan nelayan beradu nasib. Suku Bajo dikenal sebagai bangsa pelaut yang ulet dan tangguh. Pada umumnya, mereka hidup di atas laut dan pesisir pantai merupakan  tempat pemukiman mereka.

Berabad-abad Suku Bajo terkenal sebagai suku pengembara yang biasa melang-lang buana ke seluruh wilayah Nusantara. Hampir di setiap pesisir pantai, kita temukan orang-orang dari suku Bajo. Mereka tinggal di rumah-rumah panggung beratapkan daun lontar. Mereka adalah pelaut ulung, bangsa pemberani yang mampu menghalau badai dan ombak gelombang dasyat.

Suku Bajo dapat kita temukan di sepanjang Pesisir Labuan Bajo. Kisah rakyat menyebutkan, mereka merupakan generasi-generasi awal yang datang dan mendiami kota ini. Selain itu, orang-orang dari suku Bajo ini juga yang sebagian besar bermukim di pulau-pulau kecil di dalam dan di sekitar Taman Nasional Komodo (TNK) yang kita kenal sekarang.

Dalam perjalanan waktu, seiring kian terbukanya akses transportasi dan informasi, Labuan Bajo yang dulu terisolir dan jauh dari pengaruh dunia luar, perlahan-lahan dipadati oleh orang-orang yang datang dari berbagai suku bangsa. Mereka membentuk komunitas-komunitas kecil berdasarkan etnis atau profesi.

Komunitas-komunitas kecil yang terbentuk itu kemudian berkembang menjadi kampung-kampung yang sampai sekarang kita kenal dengan beberapa nama seperti Kampung Ujung, Kampung Cempah, Kampung Tengah, Kampung Air atau Wae Kemiri, Kampung Gorontalo, Wae Sambi, Lancang, Wae Mata, Cowang Dereng dan lain-lain.

Memasuki awal abad ke-21, kota Labuan Bajo perlahan-lahan berubah menjadi kota yang ramai dan padat. Dinamika kehidupan warga pun berubah seiring perkembangan zaman. Labuan Bajo yang sepih dan terisolir perlahan-lahan berkembang menuju kota modern.

Setidaknya, sejak Manggarai Barat dimekarkan menjadi sebuah daerah otonomi baru tahun 2003, terpisah dari Kabupaten Manggarai, Labuan Bajo terus berbenah diri menjadi kota yang layak dan nyaman dihuni oleh orang-orang yang datang dari berbagai suku bangsa, bukan  hanya warga Indonesia tetapi juga warga negara asing.

BACA JUGA:  Memelihara Tradisi Tenun Tangan, Mencegah Hilangnya Kearifan Lokal

Kondisi kota Labuan Bajo terus berevolusi dari waktu ke waktu. Labuan Bajo yang adalah sebuah kampung nelayan kini menjadi kampung industri pariwisata bertaraf internasional. Labuan Bajo yang dulu jarang “dilirik” orang menjadi tempat berdomisili, kini justru dijejali oleh hotel-hotel berbintang lima dan restauran-sertauran mewah.

Setelah pagelaran iven New Seven Wonders of Nature, 2011 dan Sail Komodo 2013, nama Labuan Bajo kian populer di mata masyarakat dunia. Labuan Bajo menjadi daerah tujuan wisata bertaraf internasional. Selain dibanjiri oleh para wisatawan, Labuan Bajo daerah tujuan investasi yang menggiurkan.

Itu sebabnya, tanah-tanah yang dulu terkesan “liar” atau tak “bertuan” karena tak pernah digarap orang, kini mulai diperebutkan oleh berbagai pihak. Konflik-konflik tanah pun marak terjadi di mana-mana. Kawasan Batu Gosok hingga Kampung Ujung, dari Menjerite hingga Bari yang membenatng sepajang pantai bagian utara Labuan Bajo, dari Labuan Bajo hingga Golo Mori telah habis “dikuasai” oleh orang. Apakah penguasaan dan kepemilikan tanah-tanah tersebut sah atau tidak, legal atau tidak?Entahlah.

Fenomena klain mengklaim tanah di wilayah ini sudah bukan ceritra baru. Tak jarang, orang relakan nyawanya melayang, demi mempertahankan sejengkal tanah. Konflik tanah tak hanya terjadi di pesisir, tapi konflik juga mencuat di kawasan pegunungan. Kawasan Hutan Bowosie yang oleh nenek moyang adalah penyangga utama Kota Labuan Bajo, kini mulai diperebutkan oleh banyak pihak.

Tengok pula, kawasan-kawasan yang dulu hanya bisa ditumbuhi oleh savana dan semak belukar, kini telah berubah “ditumbuhi besi beton” (baca:hotel-hotel berbintang). Bukit-bukit terjal dan curam yang dulu tak pernah “dilirik” oleh manusia, kini berubah menjadi tanah terjanji yang menawarkan “susu dan madu.”

Apakah segala infrastruktur yang super modern dan super premium itu dibangun melalui proses dan prosedur yang benar? Sudahkah dilakukan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebelum pembangunan dijalankan? Entahlah.Untuk pertanyaan-pertanyaan ini, tentu hanya mereka yang memiliki otoritas-lah yang dapat menjawabnya.*

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button