BUMI MANUSIA

Kisah Pilu Penjual Tuak Putih di Kota Pariwisata Super Premium

Editor : Kornelis Rahalaka

Jarum jam baru menunjukkan Pkl. 10.00 pagi Waktu Indonesia Tengah (Wita), namun terik mentari sudah menusuk sampai di ubun-ubun. Sebuah sepeda motor beat tiba-tiba berhenti di bawah pohon asam yang rindang. Seorang perempuan tua bergegas turun dari kendaraan itu. Dia lalu menyandarkan motor tua itu hingga posisi sedikit miring ke samping kiri.

“Beli tuak putih pak,” perempuan itu menawarkan tuak putih kepada Floresgenuine.com. Perempuan berambut pirang itu lantas memperkenalkan nama dirinya sebagai Yuni Nikma (58). Setiap hari, ibu satu anak ini bekerja sebagai pedagang tuak putih keliling kota Labuan Bajo yang dikenal sebagai kota pariwisata super premium.

Langkah kami pun terhenti sejenak, menyapa balik perempuan yang mengaku berasal dari Cilacap, Jawa tengah itu. Sambil menawarkan minuman tuak putih, ia pun berkisah tentang lika liku hidupnya sebagai penjual tuak putih yang sudah ia geluti selama sepuluh tahun terakhir ini. Dari manakah tuak putih ia dapatkan?

“Suami saya kerjanya iris tuak dan saya yang membawahnya jual keliling kota ini,”kata Ibu Yuni lirih.

Sebelum merantau ke Labuan Bajo, ia menetap di kampung halamannya di Cilacap, Jawa Tengah. Di kampung halamannya, ia bekerja sebagai guru agama. Selain mengajar, ia juga terlibat sebagai aktivis sosial yang mendampingi anak-anak di luar jam pelajaran. Seiring perjalanan waktu, ia memutuskan untuk pergi merantau ke Labuan Bajo.

Singkat ceritra, setelah tiba di Labuan Bajo, ia berkenalan dengan Darius Tangi (67), pria asal Bajawa yang dikemudian hari menjadi suaminya. Sehari-hari suaminya bekerja sebagai penyadap tuak dari pohon lontar yang kebetulan banyak tumbuh di sekitar tempat tinggal mereka di kawasan Padang SMIP atau di komplek Balai Latihan Kerja (BLK), Labuan Bajo. Sementara itu, sang istri  yang bertugas mengemas lalu berjualan keliling kota.

Di gubuk reyot yang terletak tidak jauh dari kompleks BLK itulah Ibu Yuni bersama suaminya mengais rezeki untuk menghidupi keluarga dan anak semata wayang mereka. Saat ditemui pada Minggu pekan lalu, istrinya Yuni sedang menanak nasi sedangkan suaminya Darius sedang menyadap tuak yang hanya beberapa meter dari gubuk mereka yang reyor.

Berjualan Tuak Putih Keliling Kota

Ibu Yuni dan suaminya Bapak Darius pun berceritra bahwa mereka sudah hampir sepuluh tahun menumpang tinggal di atas tanah milik pemerintah daerah (Pemda) Manggarai Barat. Maklum saja karena mereka tidak punya uang untuk membeli tanah dan membangun rumah tinggal, apalagi harga-harga tanah yang melambung tinggi.

BACA JUGA:  Mgr Paulus Budi Kleden, SVD : Pariwisata Religi Tidak Semata Pertumbuhan Ekonomi

“Kami sudah lama tinggal di sini. Kami kwatir kalau sewaktu-waktu kami digusur. Kami hanya bisa berharap, pemerintah biarkan kami tinggal sementara di sini,” ujar Ibu Yuni dengan mata berkaca-kaca sambil mengaku jika digusur maka mereka bingung mencari tempat tinggal di tempat yang lain.

Ibu Yuni dan Bapak Darius mengaku sebagai orang kecil dan miskin, mereka hanya ingin hidup mereka aman dan nyaman agar mereka bisa mencari nafkah guna menghidupi keluarga mereka.

“Kami ini orang kecil yang untuk mencari makan saja sudah susah,”sambung Darius dengan raut wajah tegar.

Memang usaha yang mereka geluti sebagai penjual tuak cukup membantu perekonomian rumah tangga mereka. Namun, sebagai penjual tuak, pekerjaan ini tidak gampang mandatangkan uang.

Banyak hambatan dan kendala yang mereka hadapi terutama karena pohon lontar tidak terus menerus menghasilkan tuak putih. Itu sebabnya, ketika tidak ada tuak putih, Bapak Darius beralih profesi sebagai nelayan. Ia terpaksa turun ke laut untuk mencari ikan sedangkan sang istri lebih banyak tinggal di gubuk sambil merawat beberapa jenis tanaman yang mereka budidayakan di lahan yang terbatas.

Ibu Yuni berceritra bahwa selama ia menjalani pekerjaan sebagai pedagang minuman khususnya tuak putih, ia kerap mendapat perlakukan kasar dari orang-orang tertentu yang mungkin tak ingin usahanya berkembang maju.

“Mungkin mereka iri atau cemburu, saya tidak tahu. Ya, namanya juga bisnis, jadi mungkin ada yang tidak mau disaingi,”ungkap dia dengan nada sedih.

Ia lalu berkisah bahwa suatu waktu ia ditangkap oleh oknum aparat keamanan di suatu lokasi wisata. Saat itu, seperti biasa, ia berjualan tuak putih di tempat wisata tersebut. Lokasi itu memang sangat ramai dikunjungi para wisatawan,meski belakangan lokasi itu pun sudah ditutup oleh si pemilik tanah.

Ia mengaku pernah ditangkap dan diinterogasi oleh oknum aparat keamanan tersebut. Ia dituduh menjual minuman keras (miras) tanpa izin dari pemerintah atau pihak yang berwenang. Setelah ia telusuri, ia menduga kalau penangkapan dirinya itu terkait dengan persaingan bisnis bukan semata-mata lantaran ia melanggar aturan perundang-undangan.

Kasus itu pun berlanjut hingga ke kantor polisi. Mendengar istrinya diamankan oleh aparat, suaminya pun bereaksi untuk menyelamatkan istrinya. Ia lalu mendatangi Polres setempat untuk memberikan penjelasan dan meminta solusi terbaik karena tuak putih merupakan satu-satunya sumber penghidupan keluarganya.

BACA JUGA:  Lebih Dekat PadaMu, Ya Tuhan

“Saya langsung datang ke polisi. Saya tanya mengapa istri saya dilarang berjualan. Tuak putih itu bagi kami adalah sumber hidup dan budaya kami tidak melarangnya. Tuak putih itu adalah bagian dari budaya kami yang diwariskan turun temurun. Setiap urusan adat termasuk setiap pejabat yang datang kami terima dengan tuak putih,” Bapak Darius memberikan penjelasan.

Ibu Yuni sedang menanak nasi di gubuknya di Padang SMIP.(Foto:Kornelis Rahalaka/Floresgenuine)

Setelah melalui diskusi panjang, akhirnya pihak keamanan meminta Bapak Darius dan Ibu untuk mengurus surat-surat izin adminstrasi kepada pemerintah setempat dalam hal ini Dinas Kesehatan dan Deperindag. Setelah melalui pemeriksaan laboratorium, tuak putih dinyatakan layak untuk dikonsumsi dan dijual oleh Ibu Yuni dan suaminya.

Tuak putih merupakan minuman yang sehat karena kandungan alkoholnya rendah dan berkhasiat untuk menyembuhkan beberapa jenis penyakit seperti kolesterol dan membantu memperlancar ibu-ibu saat melahirkan. Selain itu, tuak putih dari pohon koli atau lontar juga tidak memabukkan meskipun dikonsumsi dalam jumlah yang relatif  banyak. Tuak putih juga, sebut Bapak Darius berbeda kandungan alkoholnya dengan sopi, arak atau moke yang dihasilkan melalui proses penyulingan.

Meskipun keluarga kecil ini hidup penuh kesederhanaan namun,mereka mampu menyekolahkan anak mereka hingga ke jenjang perguruan tinggi hingga mencapai sarjana. Ibu Yuni mengatakab, anak mereka akan segera diwisuda pada bulan Desember mendatang. Itu sebabnya, kini pasangan suami istri ini terus bekerja keras, mengumpulkan uang guna membiayai wisuda anaknya yang tengah mengenyam pendidikan di Jawa Tengah.

Mengaku Tidak Mampu Membeli Tanah

Ibu Yuni pun mengaku bahwa keluarganya hampir tidak mungkin membeli tanah selain karena pendapatan yang kurang,harga-harga tanah pun melambung tinggi. Jangankan untuk membeli tanah atau membangun rumah, untuk mendapatkan tempat untuk jualan saja mereka mengaku sangat kesulitan.

Pondok kecil yang pernah dibangun untuk tempat jualan di Pantau Pede, baru-baru ini sudah dibongkar oleh pemerintah atau kejaksaan. Padahal, menurut Ibu Yuni, Pantai Pede adalah satu-satunya tempat tersisa yang bisa digunakan oleh warga untuk berjualan.

“Kami ini serba salah. Mengapa kami digusur? Ke mana kami harus berjualan? Pemerintah harusnya omong baik-baik. Musyawarah baik baik dengan penjual. Kalau dibongkar, ke mana kami harus menjual? Bukankah Pantai Pede itu tempat umum untuk rekreasi? Banyak warga yang bilang, mereka siap bayar retribusi atau pajak, yang penting tidak digusur begitu saja,” ujar Ibu Yuni dengan nada kesal.

Ia lalu berceritra bahwa beberapa tahun lalu, ia ikut berdemonstarsi menolak pembangunan hotel di Pantai Pede. Kala itu ia bersama sejumlah pastor dan para aktivis berdemonstrasi  untuk mempertahankan Pantai Pede tetap sebagai ruang publik.

BACA JUGA:  Penjabat Gubernur : Prospek Investasi di NTT Sangat Terbuka

“Waktu itu  saya ikut demo bersama pastor-pastor. Mereka sampai potong ayam buat upacara adat. Saya tidak tahu, kalau sekarang ditutup untuk umum. Lalu kami harus ke mana lagi,”keluh dia

Menurut Ibu Yuni, masyarakat kecil seperti dirinya, mesti diperhatikan oleh pemerintah.  Banyak masyarakat atau pedagang yang bersedia membayar iuran atau pajak kepada pemerintah, asalkan pemerintah menyediakan tempat untuk mereka berjualan.

Sementara itu, menurut dia, lokasi pasar-pasar yang ada di Labuan Bajo seperti di Batu Cermin tidak bisa lagi menampung para pedagang seperti dirinya. Itu pula yang membuat dia terpaksa memilih untuk berjualan keliling kota.

Meskipun hidup serba kekurangan dan terus dihantui rasa waswas dan cemas bilamana sewaktu-waktu mereka diusir dari tanah Pemda, pasangan suami istri tampak tetap tegar merajut hari-hari hidup mereka.

Bapak Darius Tangi sedang memanjat pohon lontar untuk menyadap air nira.(Foto:Kornelis Rahalaka/Floresgenuine)

Bapak Darius mengaku selama tinggal di lokasi tanah Pemda, beberapa fasilitas publik yang dibangun oleh pemerintah seperti gedung Balai Latihan Kerja (BLK) dan Gedung Olahraga (GOR) mulai terjamin keamanannya.

“Tanpa kami, gedung-gedung itu mungkin banyak yang sudah rusak karena tidak ada yang menjaganya,” ujar Bapak Darius seraya mengaku kerap mengusir orang-orang yang sengaja melempari gedung-gedung itu dengan batu hingga berantakan.

Ia pun mengatakan, mereka tidak tahu sampai kapan mereka tinggal di atas tanah milik Pemda dan kapan mereka digusur keluar dari lokasi itu. Namun, yang pasti, sampai kini, Bapak Darius dan Mama Yuni terus merajut hari-hari hidup mereka dengan menjual tuak putih keliling kota.

Aktivitas menyadap tuak pun terus dilakoni oleh Bapak Darius. Setiap pagi dan sore, ia memanjati pohon-pohon lontar tersebut untuk mengambil nira. Sehari ia mampu memanjat 13 pohon koli untuk menyadap tuak. Setelah membawa turun tuak putih, Mama Yuni lah yang kemudian mengemasnya dalam botol-botol aqua lalu menjualnya keliling kota.

Hidup rukun dan harmonis tampak mewarnai perjalanan hidup kedua pasangan suami istri ini. Canda dan senyuman selalu terpancar di wajah mereka seolah tak ada beban yang harus mereka pikirkan. Namun, sesungguhnya di ruang hati yang paling dalam, terpatri guratan rasa galau, bingung dan cemas jika sesewaktu gubuk reyot, tempat mereka meletakan kepala harus dibongkar atas nama super premium.*

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button