
FLORES GENUINE – Festival Golo Koe 2025 telah dicanangkan penyelenggaraannya secara meriah dalam acara launching di halaman kantor Bupati Manggarai Barat, Jumat 9 Mei 2025 lalu.
Wakil Bupati Manggarai Barat (Mabar) Yulianus Weng didampingi Uskup Labuan Bajo, Mgr Maksimus Regus memukul gong tanda penyelenggaraan festival religi tahunan ini dimulai. Tahun 2025 merupakan tahun keempat penyelenggaraan festival Golo Koe. Terhitung sejak 2022 ketika Labuan Bajo masih bergabung dengan Keuskupan Ruteng. Meski agenda-agenda utamanya sama, namun tema kegiatan setiap tahun berbeda, disesuaikan dengan fokus karya pastoral Keuskupan Ruteng.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Keuskupan Labuan Bajo, RD Frans Nala menjelaskan, tema Festival Golo Koe 2025 sesuai dengan arah dasar karya pastoral keuskupan, khususnya terkait pembangunan pariwisata di wilayah ini.
Festival Golo Koe 2025 mengusung tema, “Keuskupan Labuan Bajo: Merajut Kebangsaan dan Pariwisata Berkelanjutan yang Sinodal dan Inklusif”.
Keuskupan Labuan Bajo baru saja terbentuk menjadi sebuah gereja lokal dengan kekayaan sosial, keragaman etnis/budaya dan pluralitas agama. Dengan profil kemajemukan ini, Keuskupan Labuan Bajo ingin menjadi sebuah rumah kebangsaan yang ramah dan mozaik persaudaraan yang harmonis.
Hal ini diwujudkan dalam bentuk penyelenggaraan Festival Golo Koe yang pada tahun 2025 memasuki tahun ke-4. Keuskupan Labuan Bajo ingin menegaskan kembali karakteristik festival yang bercorak religi-budaya dan merangkul kemajemukan dan keanekaragaman sosial.
Festival ini dapat menjadi salah satu sumbangan penting gereja bagi pembangunan dan pengembangan pariwisata berkelanjutan untuk mendorong partisipasi dan keterlibatan masyarakat local yang berakar pada budaya dan spiritualitas setempat.
Tema “Merajut Kebangsaan dan Pariwisata Berkelanjutan yang Sinodal dan Inklusif” mengandung spirit dasar pengembangan pariwisata, mendorong pertumbuhan nilai-nilai kebangsaan yang humanis dalam semangat sinodal dan inklusif. Artinya, pariwisata mesti mengabdi pada kemanusiaan dan bertumbuh di atas nilai-nilai religi-budaya.
Untuk itu, Keuskupan Labuan Bajo ingin mengedepankan dimensi sinodalitas dan inklusivitas agar pariwisata tidak menyingkirkan siapa pun, tetapi mengajak semua orang untuk terlibat dan berjalan bersama mewujudkan kehidupan yang lebih baik, adil, damai dan sejahtera.
Sinodalitas dan inklusivitas itu secara konkret tampak dalam organ kepanitian yang mencakup elemen pemerintah, lintas agama, komunitas budaya, lembaga social, pendidikan dan lain-lain. Peserta dan agenda kegiatan festival akan mengungkapkan dimensi inklusivitas.
Keuskupan Labuan Bajo meyakini bahwa pariwisata sebagai wahana perjumpaan antara agama, budaya dan turisme dapat memperluas dan memperkokoh persaudaraan manusiawi dan kepedulian ekologis terhadap lingkungan. Melalui aneka dimensi perjumpaan itu, pariwisata menjadi sarana pertumbuhan iman bagi umat.
Dalam konsep sinodalitas dan inklusif, gereja memandang turisme secara positif dalam kaitan dengan penginjilan dan pembangunan berkelanjutan yang adil, partisipatif dan berdampak luas bagi kesejahteraan masyarakat lokal. *[red/fgc]